Pemerintah Provinsi Sumatra Utara dituntut segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan sesuai dengan pidato Presiden Jokowi pada Mei 2019 dan 11 Maret 2020. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Gubernur Sumut juga dituntut agar transparan dan jujur terkait dengan tanah eks HGU PTPN II seluas 5.873,6 ha yang sudah dimohonkan Gubernur kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dilepas.
Tuntutan itu disampaikan ratusan masyarakat petani yang tergabung dalam Komite Rakyat Bersatu (KRB) saat mendatangi kantor Gubernur Sumatra Utara di Jalan Diponegoro, Medan, 24 September 2020.
“Segera hentikan okupasi maupun eksekusi terhadap masyarakat sebelum ada kesimpulan dan penyelesaian yang pasti. Pemerintah daerah juga harus transparan dalam memublikasikan tanah yang sudah dilepaskan oleh Kementerian BUMN dengan melibatkan semua elemen masyarakat untuk menghindari keterlibatan mafia tanah,” kata Tao Mindoana Simamora dari KRB dalam orasinya.
Massa juga memprotes tingginya konflik agraria antara perusahaan negara dan perusahaan asing dengan masyarakat karena proses penyelesaiannya di kantor BPN tidak tuntas.
Kepala Subbagian Hubungan Antar Lembaga Biro Humas Dan Keprotokolan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara, Salman, yang dihubungi HMStimes.com, mengatakan pemerintah daerah sudah melakukan pertemuan dengan perwakilan pengunjuk rasa. Kedua belah pihak sepakat mengadakan pertemuan kembali, karena hari ini Gubernur Sumut tidak bisa berjumpa secara langsung dengan pengunjuk rasa. “Dalam dua hari ke depan akan kita jawab jadwal pertemuan ulang dengan perwakilan massa,” ujar Salman.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sumut, Abyadi Siregar, kepada HMS mengakui pihaknya sangat banyak menerima laporan dari masyarakat tentang persoalan agraria dan pertanahan hingga persoalan pembuatan sertifikat tanah yang dikerjakan BPN. Ombudsman Sumut merespons laporan tersebut dengan melakukan koordinasi dan penilaian, bahkan pemanggilan terhadap lembaga yang mengurus persoalan pertanahan. (Franjul Sianturi, calon reporter HMS)