Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan sekitar 50 ribu hektare lahan hutan di kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatra Utara, mengalami peralihan fungsi lahan hutan menjadi lahan tanaman hutan industri. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan tanah adat, tapi juga kehilangan tanaman endemik kemenyan yang sudah puluhan tahun menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Hal itu dipaparkan Roganda saat konferensi pers di Medan, 6 November 2020, bersama Walhi Sumut, Bakumsu, KSPPM, dan LBH Sumut.
Dia menjelaskan, 50 ribu hektare hutan tersebut dulunya adalah hutan kemenyan yang kemudian ditanami menjadi hutan eukaliptus. Kawasan yang telah diambil alih menjadi konsesi perusahaan itu dulunya juga merupakan kawasan hutan adat. Artinya, hutan adat itu dulunya dikelola dan manfaatnya dirasakan masyarakat adat, terutama dari hasil kemenyan. Namun, akibat lemahnya sistem kepemilikan lahan, masyarakat adat tidak mampu mempertahankan tanah adat yang telah mereka kelola selama berpuluh tahun itu.
“Hal ini terjadi dengan perampasan kawasan-kawasan hutan adat dan intimidasi yang terjadi pada masyarakat,” kata Roganda menjawab pertanyaan HMS. Masyarakat juga semakin lemah ketika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, memberikan izin agar tanah adat itu diusahakan untuk lahan tanaman industri, seperti eukaliptus.
Kawasan hutan kemenyan yang mengalami peralihan fungsi lahan itu berada di Kabupaten Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Tobasa yang merupakan satu hamparan dan tidak terputus.
Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan, aspek lingkungan yang diakibatkan adanya konsesi lahan hutan tidak pernah lepas dari kerusakan lingkungan. “Masalah dasar yang tidak pernah terselesaikan sampai sekarang itu ialah laju deforestasi, tercemarnya air di sekitar Danau Toba, dan terganggunya sumber pangan dan sumber kehidupan, seperti kemenyan yang digantikan dengan eukaliptus,” katanya.
Menurutnya, deforestasi telah terjadi di 11 kabupaten di Sumut dan seharusnya menjadi perhatian pemerintah. “Sudah saatnya pemerintah kembali mengevaluasi hal ini agar dampaknya tidak semakin parah. Setidaknya tidak lagi mengeluarkan izin konsesi dan memastikan hutan yang tersisa tidak ditebang lagi,” kata Dana Prima Tarigan.