Halomoan Naibaho (60), mengumpulkan potongan kayu bekas bangunan dan membakarnya untuk memasak nasi. Bukan di dapur rumah, melainkan di emperan dekat parit di depan Taman Budaya Sumatra Utara (Sumut) di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Medan, Rabu pagi, 26 Agustus 2020.
Tanpa mengenakan alas kaki, seraya menunggu nasinya masak, Halomoan merapikan kardus-kardus dan cangkir minuman plastik bekas di bagasi becak dayungnya untuk dijual kepada pengumpul barang bekas. Setidaknya dari “usaha sampingan” itu dia bisa mengumpulkan uang Rp5.000 sampai Rp10.000 per hari.
Dia terpaksa menyambi karena penghasilan dari becak dayung tidak lagi dapat diandalkan. Menurut bapak tiga anak ini, akhir-akhir ini penghasilannya sebagai penarik becak tidak seberapa. Apalagi dengan semakin menjamurnya ojek daring, becak dayung tidak lagi dilirik masyarakat, kecuali oleh ibu-ibu yang menaruh rasa iba kepadanya.
Sudah hampir sebulan pula Halomoan tidak lagi tidur di rumah sejak istrinya mengusirnya karena tidak mampu membayar uang kontrakan sebesar Rp3 juta per tahun. Istrinya marah karena uang untuk membayar kontrakan terpaksa dikeluarkan dari tabungan ibu mertuanya. “Tunggu dapat dulu Rp3 juta, baru aku dibolehkan pulang ke rumah. Ini belum terkumpul. Bagaimana mau mengumpulkan, orang pun sudah tidak mau lagi naik becak dayung, makanya aku cari botot sajalah,” katanya.
Halomoan Naibaho melewati hari-harinya di emperan dan menjadikan becak dayung itu sebagai rumahnya. Di becak itu dia merebahkan badan ketika lelah. “Terpaksalah aku tidur di becak ini. Kalau capek, kuganti posisiku kayak gini. Kalau sudah capek lagi, kuganti lagi kayak gini,” katanya sambil mempraktikkan bagaimana dia tidur di dalam becak dayungnya yang sempit itu.
Becak dayung itu ibarat rumah berjalan. Dia berpindah ke mana dia ingin mencari uang. Kadang dia mangkal di kawasan Jalan Setia Budi, Padang Bulan. “Kalau lelah, aku berhenti dan tidur di atas becak,” katanya.
Beberapa penarik becak mesin kadang kala berbelas kasihan kepada Halomoan dan membagikan lauk-pauk saat makan siang. Bahkan, beberapa orang yang melintas memberi dia beras dan uang seadanya untuk menyambung hidup.
Saat ditanya HMStimes.com apakah dia tidak ingin mengganti becak dayungnya menjadi becak mesin, Halomoan bertanya balik, “Dari mana uang kucari membeli becak mesin? Uang kontrakan pun belum dapat sampai sekarang.”