“Saya asli anak kampung. Ke sekolah itu berjalan kaki 20 kilometer kalau lewat jam 6, karena sulitnya kendaraan waktu itu,” kata Kolonel Pnb. Andi Wijanarko, Komandan Pangkalan Udara Raja Haji Fisabilillah (Danlanud RHF).
Dalam kesehariannya, ia biasa disapa Komandan. Di lingkungan kemiliteran ia dikenal tipikal berkepribadian tenang, bersahaja, dan segera akrab dengan teman bicaranya walau baru dikenalnya. Gajaknya rendah hati, ramah, dan mudah tergelak. Pria berperawakan tinggi ini senantiasa menjaga pengejawantahannya melalui hobinya bersepeda. Hal itu terlihat dari penampilannya yang bugar dan energik. Riak langkahnya pun terlihat cekatan dan sigap tatkala menjamu HMStimes.com di ruangannya di Markas Komando Pangkalan TNI Angkatan Udara di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, 29 Juli 2020.
Berbekal kemandirian, pria kelahiran Sragen, sebelah Timur Solo, Jawa Tengah, ini berhasil menyelesaikan pendidikannya di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI), Magelang, pada tahun 1996. Sekarang dia menyandang pangkat Kolonel Penerbang (Pnb).
Tekad kemandirian tertanam dalam dirinya setelah melihat orang tuanya yang hidup sederhana di salah satu desa di Kecamatan Sragen. Semasa menginjakkan kaki di SD, ia bersama keluarganya pindah ke salah satu desa di bawah lereng Gunung Lawu, Kabupaten Sragen. Mereka pindah karena ayahnya seorang karyawan di pabrik karet di desa itu. Ia tak merasa asing dengan wilayah Tanjung Pinang yang memiliki perkebunan karet tatkala ia ditugaskan menjabat Danlanud RHF menggantikan pejabat lama, Komandan Pnb Elistar Silaen bulan September 2019 lalu. Andi Wijanarko kecil dibesarkan dan dididik mandiri oleh kedua orang tuanya di lingkungan perkebunan karet. Tak heran, budi bahasanya tampak santun selama berwawancara dengan HMS.
Sejak duduk di bangku SD hingga SMP, ia bercita-cita menjadi insinyur. Sambil tertawa lepas ia mengatakan, menjadi seorang tentara tidak pernah terlintas dalam pikirannya kala itu. Namun, memasuki bangku SMA, tiba-tiba ia berubah pikiran ingin menjadi seorang tentara setelah ia melihat salah satu tetangganya lulusan AKABRI. Baginya, untuk masuk menjadi AKABRI waktu itu adalah hal yang sangat sulit, terlebih melihat fisiknya yang kurang mendukung. Tetapi berkat kesabaran, kegigihan, serta kemandirian yang telah ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya selama tiga setengah tahun di AKABRI.
Dari genealogis, Andi Wijarnako tidak memiliki garis keturunan militer, baik dari garis keluarga ayah dan ibunya maupun dari garis keluarga istrinya. Dalam keluarga besarnya dialah yang pertama kali masuk kemiliteran.
Selain berpikir untuk melanjutkan kuliah dengan penghasilan orang tuanya yang pas-pasan, dukungan orang tuanyalah yang membuat ia kini berhasil. Saat itu, setamat SMA, ia menyimpulkan tekadnya untuk mengikuti tes masuk AKABRI. Dengan percaya diri, ia memberanikan diri untuk mengikuti seleksi. Hanya sekali tes, ia pun dinyatakan lulus masuk AKABRI di Sekolah Penerbangan TNI Angkatan Udara (Sekbang) tahun 1993.
Komitmen untuk memperbaiki nasib keluarganya menjadi kekuatan dalam dirinya dalam mengikuti pendidikan selama tiga setengah tahun. Selama pendidikan, suka duka ia jalani dengan sabar, termasuk menahan rindunya terhadap sanak keluarga dan kampung halaman demi masa depan dan perbaikan nasib keluarganya. Ia menyelesaikan pendidikannya itu tahun 1996. Ia tidak bisa lupa momentum ketika melihat ayahnya menangis bahagia saat menghadiri dan mendampingi dirinya ketika acara pelepasan wisuda.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 ia kembali melanjutkan pendidikannya ke jenjang penerbangan. Di situlah pertama sekali ia menyetir pesawat ketika mengikuti seleksi masuk Sekbang. “Tak ada sikap lagi saya selain berteriak. Teriak saya,” katanya bersemangat menceritakan pengalaman pertama kali menjadi pilot pesawat. Mengagumkan sekali, apalagi ketika ia dibawa terbang oleh instrukturnya melakukan atraksi ketangkasan membawa pesawat di udara.
Dua tahun kemudian, ia menyelesaikan pendidikannya di Sekbang jurusan helikopter dan diwisuda pada tahun 1998. Begitu menyelesaikan jurusan penerbangan, ia memulai tugas pertamanya di Skuadron Udara 6 Lanud Atang Sendjaja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tahun 1999. Bagi Andi Wijanarko, Lanud Atang Sendjaja adalah tempat pertama ia mengenal dunia luar. Dia mengetahui pulau-pulau di Indonesia dan mengenal daerah-daerah di Indonesia setelah 6 tahun ditempa di lingkungan AKABRI, Magelang, dan Sekolah Penerbangan TNI AU, Kalijati, Subang, Jawa Barat. Di Skuadron Udara 6, ia menangani helikopter dan pesawat latih secara spesifik. Grob G 120 TP adalah salah satu jenis pesawat buatan Jerman yang paling ia sukai sepanjang ia mengendarai pesawat latih. Sedangkan untuk jenis helikopter ia menyukai jenis Super Puma dan helikopter yang pernah digunakan dalam pembuatan film Red Tails. Semasa bertugas di Papua, ia kerap menggunakan helikopter Super Puma.
Masa masih bersekolah di Sekbang, ia berkenalan dengan Rika Novitasari, seorang putri asal Yogyakarta. Tahun 2000, ia menikahi Rika yang kini menjabat sebagai Ketua PIA Ardhya Garini Cabang 13/Daerah I Lanud RHF, Tanjung Pinang. Ia memiliki dua orang anak, satu orang putri dan satu orang putra.
Kesetiaan Rika Novitasari sejak ia masih menjadi siswa di sekolah penerbangan membulatkan hatinya untuk memilih Rika sebagai pendamping hidupnya. Manakala ia meninggalkan keluarga, ia memercayai tumbuh kembang anak-anaknya kepada istrinya. Sewaktu masih aktif sebagai penerbang helikopter, kesempatan bersama keluarga relatif singkat, paling lama satu minggu. Setelah itu, ia berangkat ke Papua, Aceh, Kalimantan, dan daerah lainnya selama berbulan-bulan. Kembali ke rumah, lalu tinggal hanya satu minggu, kemudian berangkat lagi. Bagi dia, Rika adalah istri yang militan. Jauh sebelum memutuskan untuk menikah, ia telah memberitahukan konsekuensi menjadi istri seorang tentara. Untungnya, Rika adalah perempuan yang kuat. Bahkan, ketika anaknya pernah masuk rumah sakit, Rika tak memberitahukan kepadanya. Istrinya sudah terbiasa menghadapi situasi sulit walaupun tanpa ia dampingi.
Sebelum ditempatkan di Tanjung Pinang, ia pernah menduduki sejumlah jabatan, seperti penerbang helikopter dari tahun 1997 hingga tahun 2007 di Bogor. Lalu ia dipindahtugaskan ke Yogyakarta tahun 2007 hingga tahun 2014 sebagai Komandan Skuadron Pendidikan sekaligus instruktur penerbangan. Di Yogyakarta ia mendidik dan membina calon-calon penerbang. Dua tahun sesudah itu, ia dipindahkan ke mabes di Jakarta sebagai staf operasi bidang pelatihan dalam negeri dan pelatihan antarnegara. Kemudian ia kembali ke Yogyakarta sebagai Kepala Dinas Personil dari tahun 2016 akhir sampai tahun 2017. Ia menjadi dosen di Sekolah Staf Angkatan Udara (Seskoau) Bandung tahun 2019. Setelah itu, ia pun bertugas di Lanud RHF Tanjung Pinang, Kepri.
Sejumlah penghargaan pernah diraihnya. Di antaranya, Raksaka Darma pascabertugas di Papua, dua kali mendapat penghargaan pascamengajar, bintang kesetiaan, dan penghargaan bakti sosial pascatsunami di Aceh.