Suatu malam dua pekan lalu, dari Pulau Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau, terlihat lampu-lampu yang menyala di seberang pulau, di sebuah lokalisasi yang dulu terkenal sebagai tempat singgahnya apek-apek Singapura. Keesokan harinya HMS menyeberang ke pulau kecil bernama Pulau Amat Belanda itu, atau lebih sering disebut Pulau Mat Belanda alias Pulau Babi.
Sama seperti yang terlihat dari seberang pulau pada malam hari, siang hari pun pulau itu memang sepi. HMS hanya melihat beberapa orang yang sibuk menjemur rumput laut di pelantar, seorang perempuan yang membersihkan sisik ikan, seorang nenek yang hanya diam menatap dari balik jendela, serta beberapa orang lagi yang duduk santai sambil berbincang di halaman rumah.
Menurut Cala bin Sajan (60), Ketua RT 03/RW 04 di Kelurahan Sekanak Raya, Kecamatan Belakang Padang, nama resmi pulau itu adalah Pulau Amat Belanda. Konon dahulu ada seorang penghuni pulau bernama Amat yang parasnya mirip orang Belanda. Cala sendiri tidak pernah melihat orang bernama Amat itu sejak dia masuk ke Pulau Amat Belanda sekitar 30 tahun yang lalu.
“Dari kecamatan sepakat menamai pulau ini Pulau Amat Belanda,” katanya kepada HMS. Sedangkan nama Pulau Babi, yang juga sering digunakan warga untuk menyebut pulau itu, menurut Cala karena dahulu ada warga yang memelihara babi di sana.
Ketika HMS bertanya tentang pramuria yang saat itu tidak terlihat sama sekali, Cala mengatakan mereka sudah meninggalkan Pulau Amat Belanda. Ada yang pindah ke kota lain, ada juga yang akhirnya nikah siri dengan pelanggannya. Beberapa dari mereka menetap di pulau itu dan berkeluarga.
“Tahun 2000 masih banyak. Setelah itu mulai merosot,” katanya. Kalaupun masih ada, menurut Cala, tidak lebih dari sepuluh pramuria. Padahal, pada masa jayanya, tempat itu sangat ramai pengunjung. Tidak hanya apek-apek Singapura, bajak laut juga sering menghabiskan uang di sana. “Dulu sampai 700-an [pramuria]. Terlambat sedikit, langsung lewat [tidak kebagian pramuria] itu,” kata Cala.
Hampir semua rumah panggung di Pulau Amat Belanda dibangun memanjang, termasuk rumah Cala dan sebuah bekas bar yang kini dijaga oleh Muchayat (54). Bekas bar itu terdiri dari satu ruangan yang cukup luas dan 24 kamar yang berhadap-hadapan dengan ukuran 3 kali 3 meter. Di ruang tamu masih ada beberapa speaker, lampu disko, meja, dan sofa. Menurut Muchayat, tempat itu kini digunakan oleh teman-teman dekatnya saja. “Kalau suntuk, top-up listrik, pasang musik, minum di sini,” katanya.
Muchayat merawat bekas bar tersebut, dan mendapat kiriman uang dari seorang warga Singapura berusia 65 tahun yang dulu membeli bar itu.
Sekarang hanya tersisa satu bar yang masih aktif di Pulau Amat Belanda. Itu pun tidak ada lagi pramuria yang memangkal di sana. Kalau ada yang memesan, pramuria akan didatangkan dari Kota Batam dan hanya akan menginap sehari atau dua hari.
Ketika HMS menanyakan alasan tuan-tuan dari Singapura memilih Pulau Amat Belanda, yang fasilitasnya tidak lengkap, sebagai tempat liburan dan hiburan, Muchayat menduga karena mengunjungi pulau itu ibarat “pulang kampung” bagi mereka. Suasana di pulau itu memang sungguh tenang. (Donella Bangun, calon reporter HMS)