Tubuhnya kurus dimakan usianya yang sudah renta, tetapi suaranya masih lantang dengan logat Batak yang khas. Sejak empat bulan lalu ia sudah berada di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, meninggalkan tanah kelahirannya, Kota Pematangsiantar di Sumatra Utara. Namanya Imran Siregar, 62 tahun, yang kerap disapa Ompung. Ompung jauh-jauh datang ke Batam untuk menemui anaknya yang sukses berbisnis jual beli ponsel, yaitu Putra Siregar, pemilik toko ponsel PStore, yang kini ramai diberitakan pers nasional dan diperbincangkan “netizen yang mahabenar.”
Pada Kamis, 30 Juli 2020, HMStimes.com bertemu pria tua tersebut saat menyambangi gerai utama milik Putra Siregar, yang terletak di Jalan Laksamana Bintan No. 1, Sei Panas, Kota Batam. Suasana toko cukup ramai meskipun pemiliknya sedang diterpa masalah setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus kepabeanan. Di sana Ompung tampak sibuk mondar-mandir membantu petugas parkir mengatur kendaraan pengunjung. Menurut warga sekitar, beberapa waktu belakangan ini pria tua berambut putih itu memang selalu terlihat aktif. Ia baru akan berhenti setelah toko mulai sepi, kemudian beranjak ke pos jaga sekuriti kompleks untuk sekadar menghabiskan waktu, mengobrol bersama sejumlah warga di sana.
“Ah, entahlah, aku saja tak tau kapan dia [Putra Siregar] pulang. Satu toko itu, sudah capek mulutku ini rasanya bertanya kapan anakku si Putra Siregar pulang, tak ada yang tau. Tetapi jangan salah, kenapa dia sudah berminggu-minggu tak pulang? Kenapa orang tuanya berbulan-bulan ditinggalkannya di toko? Pasti dia tau kalau aku pasti dijaga sama orang-orang di sini,” katanya, menjawab pertanyaan warga tentang kepulangan Putra, sesaat baru tiba di pos jaga.
Kesepian tersorot jelas dari mata dan cara bicara si Ompung. Wajar saja, karena sudah berminggu-minggu si anak sulungnya, Putra Siregar, yang cukup populer sebagai pengusaha dan Youtuber itu, tak kunjung pulang, tanpa ada kabar. Sudah pasti dia rindu kepada anaknya, apalagi esok harinya merupakan perayaan Iduladha. Namun, kata Ompung, rencana kepulangan anaknya untuk sungkeman saat perayaan Iduladha dan memecahkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) di Batam, terpaksa kandas karena penetapan status Putra sebagai tahanan kota. “Aku berdoa yang baik-baik untuk dia, karena dia orang baik. Begini, setelah kami total [hitung] semua, uang anakku keluar untuk kurban ini saja lebih kurang Rp2,7 miliar. Ada uang klen [kalian] segitu? Entah dari mana uangnya itu. Dialah yang paling banyak kurban se-Indonesia Raya ini, rekor MURI. Ah, banyak kali pun duitnya,” kata Ompung, yang diwawancarai HMStimes.com.
Sambil menerawang, berusaha mengais serpihan memori Putra kecil yang kini menjelma menjadi pengusaha ponsel yang sukses, Ompung bercerita panjang lebar kepada HMS.
Sebelum mencapai kesuksesan dan aktif sebagai Youtuber seperti sekarang, Putra Siregar telah melalui berbagai pengalaman yang penuh warna dan belum banyak diketahui orang. Putra Siregar lahir di Pematangsiantar, November 1994, dari pernikahan Imran Siregar alias Ompung dengan istri pertamanya. Ibu kandung Putra meninggal saat Putra masih kecil. Setelah itu, Ompung menikah lagi dan memiliki dua orang anak dari istri keduanya, yang diberi nama Putri Siregar dan Arif Siregar. Persoalan hidup pun semakin berat, sehingga membuat Putra terpaksa diasuh oleh bibinya, Normalawati. Ompung mengaku dirinya tidak sanggup mengurusi Putra. Sebab saat itu, ia hanya seorang pekerja bengkel. Kehidupan ekonominya berjalan tidak terlalu baik. Hal itu membuatnya takut jika si sulungnya, Putra, nantinya tidak terurus bila harus dipaksa ikut mengarungi hidup bersamanya.
“Jadi pertama kalinya dulu, Putra itu sebenarnya aku tarok [titip] dia di rumah kakakku satu-satunya di Kampung Bedibih [nama daerah di Siantar]. Namanya Normalawati, kalau orang-orang manggil dia Kak Gotek. Pikiran saya waktu itu, cemmana [bagaimana] kasih makan dia, ngurus dia. Karena itulah saya serahkan dia ke kakak kandung saya sendiri. Tetapi masih tetap saya kunjungi dan urus. Pokoknya saya pesan ke kakak saya, apa saja yang kurang permintaan Putra, tinggal bilang, pasti saya usahakan dananya,” kata Ompung.
Dalam asuhan kakak si Ompung itu, Putra kecil tumbuh sebagai remaja yang cukup pandai dalam pelajaran sekolah. Dia terbilang jago dalam pelajaran berhitung. Di sisi lain, bakat berdagangnya juga menonjol. Ompung mengaku sering dikabarkan oleh Normalawati bahwa anak sulungnya tersebut sudah terbiasa dengan dunia wirausaha. “Kerja apa saja dia dulu, aku tidak tau. Tapi katanya [Normalawati], dia itu suka kalau misal ada orang punya buah, dijualkannya, terus dia dapat untung. Begitulah orangnya,” katanya.
Tidak lama Putra dititipkan di sana. Pasalnya, rumah ukuran sederhana yang dibelikan oleh Ompung atas kesepakatan bersama dengan Normalawati dijual oleh kakak kandungnya itu. Hasil penjualannya dibagi-bagi untuk kebutuhan hidup keluarga. Alhasil, karena tidak ada pilihan lain, Putra kecil pun harus rela ikut pindah dan mencicipi kehidupan masa kecil di Jalan Ade Irma Suryani, Pematangsiantar. “Tinggallah satu rumahku di Jalan Ade Irma Suryani. Di situlah kumasukkan kakakku. Ikutlah si Putra, entah umur berapa dia, aku sudah lupa,” ujarnya.
Tipikal Putra yang enggan menyusahkan orang tua tergambar jelas dalam memori sang ayah. Ompung menegaskan, tidak ada campur tangan atau bantuan dana sedikit pun dari keluarga sepanjang karier bisnis Putra. Terkait isu yang merebak bahwa Putra bisa sukses lantaran menjual tanah harta warisan di kampung halamannya, Kota Pematangsiantar, menurutnya itu adalah kebohongan yang dibuat-buat. Bahkan, kata Ompung, pernah sekali waktu ia mencoba untuk membantu menambah modal Putra dalam mengembangkan bisnis ponselnya, namun niatan itu mendapat penolakan. Putra, kata dia, memiliki sifat teguh untuk berjuang sendiri dan tidak pernah ingin menyusahkan orang lain, apalagi sampai menjual harta warisan.
“Tanah siapa yang mau dijualnya? Sama kami, belum pernah dia menjual-jual harta. Seumur hidup kami, seketurunan kami, tidak ada jual-jual harta warisan. Maaf, kami masih mampu mencari yang halal, mencari yang bagus. Aku kasih modal pun tidak ada. Pernah mau kukasih modal, malah ngamuk dia,” kata Ompung. “Jadi ceritanya, pernah satu malam dia datang ke kampung, diam-diam kubungkuskan duit pakek [pakai] koran, kumasukkan dalam tasnya. Eh, pas dia mau berangkat lagi, dia cek tasnya ada duit. Dicarinya aku langsung ke rumah, dipanggilnya aku, dikembalikan dia uang itu langsung,” katanya.
Ompung juga bercerita, ketika Putra Siregar berhasil lulus dari sekolah menengah atas (SMA) di Pematangsiantar, sang ayah datang menemuinya setelah mendengar kabar tentang prestasi anaknya yang cukup baik di sekolah. Ia pun datang menawarkan kepada Putra untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, tawarannya tersebut ditolak mentah-mentah oleh Putra. Alasannya, Putra tidak ingin menyusahkan orang tuanya dengan beban biaya kuliah. “Terima kasih, Pak. Tidak usahlah Bapak pikirkan aku, untuk adek-adekku saja itu nanti. Kalau Bapak pikirin, nanti Bapak sakit,” kata Ompung, menirukan jawaban Putra saat itu. Putra memilih langsung merantau setelah lulus SMA. Tujuannya Kota Batam.
Ompung mengaku, untuk beberapa saat ia memang tidak mendengar kabar anaknya itu. Ia baru mendapat kabar setelah anaknya pulang kampung dan mulai menunjukkan kesuksesannya dalam dunia wirausaha beberapa tahun setelahnya. Satu toko PStore pun langsung didirikan Putra di kediaman masa kecilnya di Jalan Ade Irma Suryani, Kota Pematangsiantar.
Ompung mengungkapkan, dirinya tentu sangat bangga dengan Putra saat ini. Kata dia, sebenarnya sudah ada sebuah kultur yang cukup baik dalam memupuk jiwa wirausaha dalam keluarganya, dan hal itu terwariskan kepada Putra. Saban waktu, meskipun dirinya jarang menjenguk Putra saat diasuh Normalawati, Ompung Siregar selalu berpesan kepada kakaknya agar bersikap tegas dan mendidik Putra agar disiplin. Dia berharap anak-anaknya kelak bakal jadi pedagang sukses mengikuti jejak yang pernah diraih almarhumah ibunya dulu. “Senanglah. Tak percuma aku mendidik dia [Putra] mulai dari dulu. Inilah balasannya. Dari kecil, dia sudah aku didik. Yang paling kutanamkan ke dia itu soal masalah dagang, masalah kerja. Mulai dari nenek dia itu mendidik bapaknya untuk berdagang. Kami ini keluarga pedagang dari dulu,” katanya.
Namun demikian, kata Ompung, kebanggaan terhadap Putra bukan semata-mata bisa diukur dari kesuksesannya mengembangkan bisnis ponsel beromzet miliaran. Bagi dia, kebanggaan orang tua terhadap anak melebihi anggapan orang banyak terkait materi. Menurutnya, kesuksesan lebih tentang bagaimana perjuangan anaknya menanjak hingga bisa sukses seperti sekarang ini dan sikapnya dalam memperlakukan orang tua.
Bagi Ompung Siregar, yang terpenting saat ini adalah sang anak, Putra Siregar, pulang untuk menemuinya. Ia juga bangga karena semua teman-teman Putra sering sekali mengelu-elukan nama sang anak. Namun, bukan semata-mata karena materi, tetapi karena kesantunan yang tertanam dalam jiwa Putra. “Paling nanti ditengoknya aku lagi duduk sama kawan ramai-ramai. Ditengok [dilihat] dia muka aku positif tak punya duit, nah, ditariknyalah aku, diajaknya ke belakang, tempat tak ada orang. Nanti terus itu, diselipkan uang ke baju. Bangga kali aku sebenarnya. Tapi memang aku bilang juga sama dia, jangan keseringan kasih uang ke aku, tak baik juga seperti itu. Aku tak mau jadi pemalas,” kata ayah Putra.
Menurut dia, perjuangan Putra Siregar yang tanpa kenal lelah pada akhirnya telah mengantarkan dirinya kepada kesuksesan. Anaknya itu, baginya, adalah pekerja keras yang tekun. Sebelum matahari terbit, Putra sudah berada di luar rumah. Putra juga diwajibkan berpegang teguh pada sifat jujur dalam berdagang. Begitulah yang Ompung ajarkan dalam keluarganya.
“Saya tidak peduli sama apa yang dikerjakannya. Saya percaya kalau dia pasti mencari duit halal. Itu sudah saya tanamkan. Kalau nego-nego, jangan sampai ada penipuan. Jangan coba-coba lakukan. Sudah saya tekankan itu dari dulu, sejak dia [diasuh] sama neneknya [waktu] masih hidup. ‘Jangan coba-coba kau nipu, dan tetap murah hati.’ Itu kata saya sama dia,” kata Imran Siregar, ayah kandung Putra Siregar.