Parsadaan Pomparan Silauraja se-Kepulauan Riau mengusulkan musyawarah nasional organisasi itu dilakukan di Batam sesegera mungkin. Keinginan untuk membentuk munas Silauraja karena keturunan marga Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning kian bertambah banyak. Jumlah keturunan Silauraja tak hanya berkembang di Kepri, tetapi hampir di semua provinsi. Sebagai Ketua Silauraja Kepri, Daslan Malau merasa terpanggil untuk mengingatkan semua keturunan dari keempat marga ini agar tetap menjaga parsadaan (persatuan) dan kesatuan marga Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Membangun komunikasi antar-Silauraja, kata Daslan, tak ubahnya seperti program pemerintah ketika membangun tol laut yang menghubungkan satu provinsi ke provinsi lain. “Batam akan menjadi barometer Silauraja yang akan menjembatani Silauraja di seluruh Indonesia,” kata Daslan di Batam, 17 Agustus 2020.
Optimisme menjadikan Batam sebagai tempat munas I Silauraja, menurutnya, setelah melihat program kerja, visi misi, dan hasil yang telah dicapai oleh Silauraja Kepri selama tiga tahun ini. Ia tidak menampik semangat kebersamaan, kegotongroyongan, dan persatuan yang telah terjalin di Kepri, tetapi ia berkeinginan hal itu juga dilakukan di daerah lain. Intinya, kesejahteraan dan kebaikan keturunan Silauraja menjadi dasar utama dalam setiap pembentukan komunitas Silauraja di provinsi.
Selain konsep pembentukan munas, satu hal yang perlu dicermati, kata dia, adalah sosok yang bisa mewujudkan gagasan yang baik dengan hasil yang cemerlang sesuai dengan cita-cita leluhur mereka, Oppu Silauraja, yang dijuluki si pembawa damai dan menjadi cahaya di tengah kesulitan dan masalah kehidupan. Keinginan itu sulit tercapai bila tidak dibantu oleh orang yang tepat dan profesional. Oleh karena itu, untuk munas sendiri, Daslan yakin figur yang layak untuk menjadi ketua Silauraja se-Indonesia pasti dimiliki oleh keturunan Silauraja. “Punya potensi yang luar biasa yang bisa menjaga hubungan dengan baik,” kata Daslan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sahat Manik, Sekretaris Umum Silauraja Kepri, bahwa pembentukan Silauraja bukan sekadar penyatuan marga untuk menunjukkan jati diri semata. Ia meyakini semua keturunan Silauraja menginginkan peningkatan taraf hidup yang lebih baik, dan hal itu dapat diwujudkan melalui pemikiran dan kemauan keras.
Di era teknologi ini Sahat peduli kepada pendidikan generasi muda Silauraja, karena kepemimpinan dalam organisasi Silauraja hanya bersifat sementara. Organisasi ini harus lebih memikirkan cara menciptakan generasi muda dalam konteks menghadapi era globalisasi. Hal itu pula yang telah dilakukan selama tiga tahun di kepengurusan Silauraja, yakni mempersiapkan sarana dan beberapa program kerja seperti pemberian beasiswa. “Dulunya semua pinompar Silauraja yang tidak mampu itu akan mendapatkan beasiswa,” kata Sahat. Namun, tidak cukup hanya menyediakan fasilitas, karena untuk memajukan generasi muda diperlukan keinginan besar dari generasi muda itu sendiri. Dari pengamatannya, generasi muda masih kurang mengerti hal yang semestinya dimiliki di tengah persaingan yang berat.
Menurut pandangannya, generasi muda sekarang sulit beradaptasi karena tidak memiliki semangat kerja, keahlian yang menjadi ciri dan keyakinan dari seorang generasi muda. Oleh sebab itu, menyiapkan mental anak sejak dini adalah agenda utama, karena ketika anak sudah beranjak dewasa, mereka akan lebih sulit dibina. “Kalau generasi sekarang ini sudah susah dibentuk. Kalau pohon itu dibengkokkan, patah. Jadi, Silauraja itu fokus ke generasi penerus,” kata Sahat.
Sayangnya, belum semua generasi muda berminat untuk mempergunakan waktu yang disediakan oleh pengurus. Beberapa waktu lalu seorang keturunan Silauraja bermarga Malau membeli alat mesin las, bahkan mendatangkan instruktur kelas internasional untuk memberikan pelatihan, tetapi kesempatan itu tidak dipergunakan oleh para kawula muda Silauraja. “Untuk di-training jadi welder pun tidak ada yang datang,” kata Sahat.
Tentang pembinaan dan pelatihan kepemimpinan pun demikian. Baik pelatihan public speaking dan menjahit masih kurang mendapat respons dari generasi muda. Melaksanakan progam kerja bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, dengan adanya komunikasi dan rapat-rapat lanjutan, perlahan progam kerja itu dapat berjalan, meskipun masih perlu pembenahan. Sejauh ini mereka telah melakukan pembinaan usaha mikro kecil menengah (UMKM), pelatihan bercocok tanam hidroponik, dan pelatihan-pelatihan lainnya.
Pasada tahi (menyatukan cita-cita) adalah satu konsep yang digagas dalam program kerja Silauraja Kepri, yang telah berhasil menyatukan suara dalam dunia perpolitikan tanpa dibayar dan tanpa kontrak politik. Meskipun tidak ada kedekatan secara emosional dengan calon pemimpin, tetapi ketika melihat calon pemimpin itu sudah teruji dan memiliki kapabilitas, Silauraja akan menyatukan suara untuk memilih calon pemimpin tersebut.
Menanggapi kerinduan untuk membuat Silauraja se-Indonesia makin besar dengan pemikiran, gagasan, dan program kerja yang baik, Benhauser Manik, seorang pengusaha, melihat apa yang telah dilakukan oleh Silauraja Kepri telah membuka dan memberikan harapan untuk masa depan keturunan Silauraja. Ia pun sependapat dengan Daslan bahwa hal ini dapat diikuti oleh ke-33 provinsi yang ada di Indonesia. “Dang adong mangalo dos ni roha [tidak ada yang bisa mengalahkan kesepakatan bersama],” kata Benhauser.
Eksistensi Silauraja di Kepri, baik di jajaran eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI, Polri, pengusaha, maupun profesional yang jumlahnya masih relatif sedikit perlu menjadi perhatian organisasi ini. Menurut Benhauser Manik, keberadaan Silauraja di Kepri belum bisa memberikan kontribusi maksimal, baik secara kemampuan intelektual, berpikir pribadi, maupun pendidikan, karena tidak adanya keturunan Silauraja menempati posisi-posisi penting di pemerintahan.
Selama ini keturunan Silauraja hanya sebagai pekerja, kata Benhauser, tetapi ke depannya generasi muda Silauraja harus bisa menjadi pemimpin. Generasi muda atau generasi emas Silauraja harus berani menempatkan dirinya sebagai pemimpin di mana pun dirinya berada, baik di komunitas maupun di tempat bekerja. Dia tidak menginginkan generasi Silauraja tertinggal dari marga lain. Dia berharap Silauraja mampu menunjukkan kualitasnya dari generasi ke generasi.
Menurut dia, pelbagai upaya yang telah dilakukan oleh pengurus Silauraja sudah tepat, tinggal bagaimana generasi berikutnya memanfaatkan dan mengelolanya. Dia yakin dengan program pelatihan yang telah dijalankan selama ini, generasi muda Silauraja akan lebih kuat dan bisa mandiri. “Silauraja harus bisa menjadi lion [singa],” kata Benhauser Manik, “jangan hanya bersikap sebagai follower [pengekor].”