Menjelang pagi, deretan kendaraan roda dua terparkir rapi di pelataran parkir beberapa hotel melati di Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, Kepulauan Riau. Itulah pertanda sedang banyak berahi di dalam kamar-kamarnya. Beberapa pasang pemuda terlihat mesra berjalan bergandengan, keluar masuk gedung ruko yang dijadikan penginapan bertarif murah itu.
Bermula dari berita seorang pemuda berumur 20 tahun yang ditangkap polisi karena menyetubuhi calon pacarnya, yang baru dua hari dikenalnya, yang masih berusia 17 tahun, di sebuah hotel di Batam, HMStimes.com pun melakukan penelusuran pada dini hari 29 September 2020 dengan mengunjungi sejumlah penginapan di Batam. HMS ingin mencari tahu bagaimana prosedur menginap di hotel kelas bawah.
Ada empat hotel melati yang HMS kunjungi. Pertama, hotel Orchid Two di Kampung Utama, Lubuk Baja. Di luar hotel itu ada sejumlah perempuan berusia muda maupun tua yang ramah memanggil dengan nada menggoda.
Hotel dengan lima lantai ini paling berani dalam hal melakukan promosi. “Kalau lantai 3, 4, dan 5 itu harganya Rp75 ribu per malam. Kalau lantai 1 dan 2 harganya Rp110 ribu. Kalau short time harganya Rp80 ribu. Mending ambil kamar yang Rp75 ribu saja, harga promo,” kata seorang resepsionis laki-laki kepada HMS.
Dia menerangkan, setiap kamar dilengkapi televisi, kasur untuk dua orang, pendingin ruangan, dan kamar mandi di dalam. “Kalau anak sekolah jarang nginap, tetapi ada,” katanya. Ketika ditanyakan apakah boleh membawa pasangan yang masih tergolong anak di bawah umur, dia menjawab, “Boleh. Kalau tidak ada identitas, harus deposit Rp60 ribu.”
Kemudian HMS mendatangi Hotel Polewali, yang terlihat lebih cocok menjadi kantor. Penginapan ini memiliki kamar yang lebih banyak dan dibangun di atas lahan yang lebih luas. Hanya saja, tamu di sana tidak seramai di penginapan lain, barangkali karena harga yang ditawarkan lebih mahal.
“Paling murah Rp70 ribu. Kamar pakai kipas angin, televisi juga ada. Kalau pakai AC Rp110 ribu. Tidak perlu identitas. Pakai nama saja tidak masalah,” kata karyawan hotel ini.
Sewaktu ditanyakan apakah hotel itu aman dari razia petugas, dan adakah larangan membawa pasangan yang bukan istri atau anak di bawah umur, “Boleh-boleh saja, tidak dilarang. Kalau keamanan tamu, kami tidak bisa jamin, karena kalau razia itu tidak tahu kapan datang,” katanya menjawab HMS.
Karena masih penasaran, HMS kembali mengunjungi penginapan lain di deretan yang sama. Nama hotelnya Pendowo Lima, dengan cahaya lampu yang remang-remang di lobinya.
Seorang resepsionis laki-laki menyapa HMS dengan nada bersahabat. Sejumlah pertanyaan yang sama seperti sebelumnya diajukan HMS kepada dia. Jawabannya pun tidak berbeda, bahwa manajemen hotel melati itu tidak mewajibkan tamunya memperlihatkan identitas seperti KTP dan SIM. Cukup dengan mencatatkan nama saja, dan tidak jadi masalah apabila tamu membawa pasangan berumur berapa saja ke dalam kamar.
“Pacar di bawah umur boleh, tidak masalah. Kita juga sediakan perempuan, kalau mau. Mas-nya mau yang satu kali main atau dua kali main? Harganya Rp350 ribu untuk dua kali main, tetapi bukan di-booking sampai pagi. Bisa dibantu nanti carikan ke luar. Umurnya paling muda 23 tahun. Tenang saja, aman kok, tidak ada razia,” katanya.
Penginapan murah lainnya yang dikunjungi HMS pagi itu yaitu Hotel Batam Indah. Hotel melati ini tidak bertingkat, dan bangunannya serupa rumah. Lokasinya juga tersuruk sekitar 50 meter dari jalan raya, berada di antara rumah-rumah warga. Fasilitas di sana terbilang cukup bagus, ada televisi dan pendingin ruangan di setiap kamarnya.
Seorang resepsionis laki-laki terlihat santai menonton televisi, tidak menyambut kedatangan HMS yang sedang menyamar sebagai calon tamu. Kata dia, penginapan ini tidak sebebas hotel melati pada umumnya. Mereka mewajibkan tamu menjaminkan identitas pengenal apabila ingin menginap.
“Kalau mau cewek, nanti sekuriti saja yang carikan. Penginapan mulai dari Rp120 ribu sampai Rp190 ribu. Tidak ada short time kalau malam, hanya siang,” katanya. Ketika ditanyakan apakah diperbolehkan membawa pasangan di bawah umur, dia menjawab, “Asal ada identitas penjamin.”
Zulbakhri (39), warga setempat yang dua tahun belakangan menjabat sebagai ketua RT 01/RW 01, Kampung Utama, mengungkapkan bahwa dari sebelas hotel melati di daerahnya, hanya empat hotel yang diketahuinya sudah memiliki izin domisili maupun izin usaha. Dia mengatakan perangkat RT sesekali melakukan pemeriksaan ke hotel-hotel melati tersebut, tetapi belum pernah menemukan aktivitas yang melanggar hukum di sana. Dia mengaku baru tahu bahwa penginapan-penginapan di daerahnya memperbolehkan anak di bawah umur menginap tanpa pengawasan orang tua.
“Tidak ada yang aneh-aneh. Ini tamu mereka kebanyakan yang transit dari Malaysia. Rata-rata itu tenaga kerja wanita, pelaut-pelaut juga menginap di sana. Maklum, karena murah,” kata Zulbakhri kepada HMS saat disambangi ke rumahnya, 29 September 2020.
Dia mengatakan pernah mengobrol dengan beberapa pemilik hotel, yang mengaku bahwa mereka sudah berpesan kepada karyawan hotelnya agar tidak menerima anak di bawah umur tanpa pendampingan orang tua untuk menginap. Pihak hotel pun, katanya, mewajibkan setiap tamu menjaminkan identitas pengenal sebagai syarat menyewa kamar.
“Saya sempat ngobrol sama pemilik salah satu penginapan, Hotel Polewali. Tetapi kalau Orchid Two ini memang bandel orangnya. Kalau Polewali ngakunya sudah tekankan, tapi yang bandel ini karyawannya. Mereka itu karena mau ngejar omzet supaya dapat bonus juga, maka terjadilah seperti itu,” kata Zulbakhri.
Menurutnya, meskipun hotel-hotel melati itu ramai dikunjungi tamu, kontribusinya kepada perangkat RT hanya sekadar uang keamanan Rp50 ribu. Itu pun tidak semua hotel tersebut bersedia membayar.
Setelah mengetahui informasi dari HMS, Zulbakhri mengatakan akan memanggil seluruh pemilik penginapan di daerahnya. Pada tahun 2019 lalu para pemilik hotel melati itu juga sudah pernah dipanggilnya dan diperingatkan agar tidak sembarangan menjalankan bisnis penginapan. “Kemarin sempat dipanggil semua itu sama Pak Lurah. Saya disuruh hitung. Dalam pertemuan itu sudah saya tekankan bagaimana tata tertibnya,” kata Zulbakhri.
Sejauh ini, menurut dia, petugas jarang melakukan razia ke hotel melati di sana. “Belum ada yang terjaring, belum ada heboh. Kalau keterangan ke saya yang bagus-bagus saja,” katanya.
Sedangkan mengenai keberadaan lokalisasi di sana, Zulbakhri tidak tahu pasti. Namun, dia mengakui bahwa malam hari ketika kebetulan melewati tempat itu, dia pun sering digoda oleh perempuan yang mangkal di sana. Bahkan, perangkatnya juga pernah melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan di sana dengan cara berpura-pura mencari perempuan sewaan untuk seorang tamu. “Kita pernah juga dulu melakukan survei. Orang sana bilang, ‘Kalau perempuan, nanti kita bisa panggilkan.’ Sampai saya bilang, ‘Kira-kira berapa [persenan] untuk kami?’ Terus saya tanya juga, ‘Ada perempuannya, tidak?’ Jawaban dari pihak hotel, perempuannya tidak ada di situ, cuma bisa dipesankan dari luar. Itu yang saya tahu,” kata Zulbakhri kepada HMS.
Dalam waktu dekat Zulbakhri akan berkoordinasi dengan perangkat kelurahan untuk menertibkan masalah ini. “Saya mau cari poin-poinnya seperti yang Mas bilang itu,” katanya.
Zulbakhri, yang tumbuh besar di kawasan Lubuk Baja, mengatakan daerah ini termasuk kawasan penginapan tertua di Kota Batam sejak tahun 1980-an. Dulunya hanya ada beberapa penginapan berupa bangunan semipermanen yang masih berdinding papan. Setelah terjadi kebakaran tahun 2008, barulah hotel-hotel melati mulai berdiri. Sekarang sekurang-kurangnya ada 300 warga di sana yang menjadi saksi betapa hotel-hotel melati ini makin menjadi-jadi.