Pagi hari di tepi Danau Toba di Jalan Danau Toba, Kota Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, di sebuah taman yang tidak jauh dari antara gereja dan masjid, Minggu, 6 September 2020, seorang anak kecil mendatangi gerobak siomai milik Wak.
“Wak, beli siomai lima ribu, pakai kol, kentang, tahu. Lengkap dan banyak, ya,” kata si anak.
Wak menggeleng sambil tersenyum, karena harga seporsi siomai Rp8.000, tetapi anak itu minta “lengkap dan banyak” dengan uang Rp5.000. “Ya sudah, aku mau bilang apa, biasa itu. Mau berapa juga bisa,” kata Wak dengan logat Sunda yang masih kental.
Setelah meladeni anak kecil tadi, Wak kembali kedatangan pembeli. “Wak, pesan siomai dua porsi lima ribu. Bisa diantar, kan, Wak, ke sana?” kata remaja yang baru pulang dari gereja itu sambil menunjuk ke arah tepi danau, dekat sebuah kedai kopi, tepat di seberang rumah dinas Bupati Samosir.
“Ya, nanti Wak antarin,” katanya.
Pembeli lain, seorang gadis, yang sudah selesai makan siomai hendak membayarnya kepada Wak. “Ini Wak, terima kasih, ya,” katanya.
“Ya, sama-sama, hatur nuhun,” kata Wak.
Tiba-tiba remaja perempuan itu menimpali, “Mauliate, Wak, bukan hatur nuhun. Ini Samosir.”
Wak tersenyum. “Ya, sama saja itu, hatur nuhun, mauliate,” katanya.
Kesabaran dan keramahan Wak membuat dia disenangi banyak orang di Pangururan. Itulah kenapa orang Pangururan yang suka makan siomai pasti mengenalnya.
Dia tidak pernah mematok harga asalkan siomainya laku. Untuk anak-anak sekolah, dia biasa menjual dengan harga Rp3.000 per porsi. “Ada juga langganan, anak sekolah, yang kalau beli selalu dua porsi sekaligus. Telurnya dua. Dia bilang, ‘Belum makan dari rumah, Wak.’ Uang jajannya banyak, bisa seratus ribuan,” kata Wak.
Wak punya nama asli Syarifuddin, tapi jarang dipakai. Nama itu hanya dipakai untuk acara resmi. Tapi, kebanyakan hari Wak tidak berada di acara resmi. Setiap hari dia mencari nafkah dengan gerobaknya. Hari Senin sampai Sabtu setiap pagi dia mangkal di depan SMP Negeri 1 Pangururan. Setelah anak sekolah bubar, dia pindah lokasi ke kota. Hari Minggu dia selalu mangkal di tepi jalan dekat taman kota, menunggu jemaat gereja HKBP Pangururan pulang dari ibadah.
Sudah sebelas tahun Wak tinggal di Pangururan, yang berada di Pulau Samosir di tengah Danau Toba. Asalnya dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Kata dia, nasib yang membawanya ke Sumatra Utara pada 13 tahun lalu. Dulu, selama delapan tahun dia berjualan bakso di Tasikmalaya, tetapi tidak berhasil. Dia merantau ke Sumatra karena diajak teman. Awalnya dia tinggal di Sidikalang, Kabupaten Dairi, tetapi usahanya juga tidak begitu lancar di sana. Dia pun pindah ke Kabupaten Samosir dua tahun kemudian.
“Syukur alhamdulillah, sudah 11 tahun di Pangururan ini,” katanya. Ketika pindah ke Pangururan, dia sempat ingin berjual bakso seperti dulu, tetapi kesulitan mendapat daging khusus untuk bakso, yang harus dibeli dari Sidikalang atau Pematangsiantar. Akhirnya dia memutuskan menjual siomai.
Wak mengatakan dialah penjual siomai pertama di Kabupaten Samosir. Kehadiran makanan “bakso tahu” di daerah yang mayoritas penggemar mi gomak ini memberikan warna baru. Dagangannya laris manis tanpa pesaing.
Belakangan pedagang siomai mulai bertambah, tetapi itu masih atas rekomendasi Wak. Mereka masih berasal dari satu kabupaten dengan Wak. Dia yang mengajak mereka ke Pangururan.
Dalam sehari Wak tidak tahu persis berapa porsi siomai yang terjual, tapi setiap minggu dia menghabiskan 20 kilogram kentang dan dua karung tepung. Wak mengaku semua kandungan siomainya berbahan alami. “Pernah diperiksa dari Dinas Kesehatan Samosir. Saya bilang tidak pakai sodium atau sari manis. Pakai gula asli, penyedap rasa dikit-dikit,” katanya.
Ketika ditanya berapa omzetnya per hari, Wak mengaku tidak menentu. “Paling dapat lima ratus, enam ratus, tujuh ratus [ribu rupiah]. Usaha kecil-kecilan, yang penting halal,” katanya. Bila dirata-ratakan, dalam sebulan omzet Wak bisa mencapai Rp15 juta sampai dengan Rp18 juta. “Ya, alhamdulillah, rezeki dari Tuhan,” katanya.
Dari jualan siomai, Wak bisa membantu anak-anaknya membangun rumahnya masing-masing. Enam anaknya di Tasikmalaya sudah dibuatkannya rumah. “Sebelum mereka menikah biar mereka punya rumah,” katanya. Sebagai orang tua, Wak merasa memiliki kewajiban untuk membantu anak-anaknya meskipun tinggal saling berjauhan. Dua anaknya pun diajaknya ke Pangururan. Satu berjualan roti bakar, dan satu lagi berjualan batagor.
Di Pangururan, Wak tinggal bersama dengan istri dan kedua anaknya itu. Setiap tahun, pada saat Lebaran, mereka selalu pulang ke kampung halaman di Tasikmalaya untuk berkumpul dengan keluarga. Dia selalu rindu akan kampungnya meskipun dia merasa nyaman tinggal di Pulau Samosir yang mayoritas penduduknya orang Batak beragama Kristen. Selama 11 tahun tinggal di ibu kota Kabupaten Samosir, dia mengaku tidak pernah mendapat diskriminasi.
Di Pangururan ini Wak punya perkumpulan sesama pedagang muslim. Ada orang Sunda, Jawa, Padang, dan beragam suku lainnya. Bila ada yang kemalangan, mereka wajib mengunjungi rumah duka. Sebaliknya, bila ada yang menggelar acara pesta, mereka juga saling mengundang. “Belum lama ini ada meninggal teman penjual sate, orang Padang, rumahnya di arah Ronggur sana. Kami datang ramai-ramai ke sana,” katanya.