Satu truk kontainer melintas pelan dengan peti kemas menempel di gerbongnya, memasuki gudang penitipan di kawasan industri PT Union di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin dua pekan lalu. Seorang penjaga beranjak dari pos teduhnya mendekati sopir truk. Setelah keduanya mengobrol beberapa saat, kendaraan tempel itu dipersilakan masuk mendekati alat berat yang terparkir.
Depo peti kemas itu terbentang di lahan seluas sekitar 10 hektare, yang penuh dengan tumpukan peti raksasa. Hingga sore hari aktivitas di sana terus berjalan, dan raung alat berat nyaring terdengar.
Lokasi penyimpanan sementara peti raksasa yang dikelola oleh PT Laut Mas ini berada di dataran yang lebih rendah dari permukiman warga, dan keberadaannya diprotes warga. Mereka merasa kenyamanannya terganggu semenjak ada aktivitas rutin bongkar muat peti kemas itu. Selain mengeluarkan suara bising, dampak getarannya juga membikin dinding rumah warga menjadi retak.
Bernauli Siregar (46), warga Bengkong Polisi, misalnya, merasa taknyaman lagi tinggal di rumah karena aktivitas depo peti kemas di belakang rumahnya itu menjadikan dinding kamar dan dapurnya retak-retak. “Kalau terganggu, ya pastilah. Kalau ditanya terancam, kami takutnya rumah ini roboh. Getarannya terasa sekali. Saya tidak mau pindah. Saya sudah lama tinggal di sini, dan usaha saya di sini,” katanya kepada HMS. “Nanti kalau sudah malam, baru berhenti mereka [beroperasi]. Itu pun kadang sampai jam sembilan malam.”
Bernauli hanyalah salah satu dari sejumlah warga yang posisi rumahnya berubah menjadi tepat di ujung bukit yang terbentuk akibat proses pemotongan lahan beberapa tahun lalu. Sebelumnya kehidupan keluarga Bernauli sangat nyaman, tetapi gangguan mulai terasa sejak depo peti kemas itu pertama kali beroperasi tahun 2018. Berawal dari kebisingan, lambat laun muncul retakan-retakan kecil pada bangunan rumah, kemudian diperparah dengan bagian belakang bangunan rumah yang miring menjorok ke arah bawah hingga hampir longsor. Itu akibat perluasan areal tanpa dibarengi dengan pemasangan batu miring penahan longsor.
“Kami lebih duluan tinggal di sini, seharusnya mereka yang mengalah. Kalau dibiarkan terus, ambles juga rumah kami,” katanya.
Kemudian dia mengajak HMS melihat bagian belakang rumahnya. Kondisinya memprihatinkan. Sederet rumah di sekitarnya juga rata-rata tanahnya sudah tergerus. Keretakan pada bangunan rumah jelas terlihat. Bahkan, beberapa pohon sudah roboh ke bawah.
Salah satu tetangganya, Rianto (50), juga mengeluhkan hal yang sama kepada HMS. Akan tetapi, karena dia vokal memprotes aktivitas PT Laut Mas, nasibnya kini lebih beruntung. Pada April 2020, setelah dia berulang kali sejak 2018 memprotes minta pertanggungjawaban, pihak perusahaan akhirnya mengirimkan utusannya untuk melihat kondisi rumah Rianto yang saat itu sudah rusak parah. “Rumah saya, perusahaan sudah ganti rugi. Sekarang sudah damailah. Kalau ada warga yang masih mengeluh, itu salah mereka sendiri. Kemarin saya ajak bareng-bareng ke sana, tidak ada yang berani,” kata Rianto.
Menurutnya, “Saya dapat duit untuk perbaikan. Saya ganti dinding belakang pakai seng biar tidak retak lagi.” Perusahaan PT Laut Mas, katanya, juga memberikan bantuan berupa material untuk membangun sebuah pos jaga tepat di sebelah rumahnya. “Ini dibuatin pos juga sama mereka. Separuh saja dari mereka, separuh lagi dananya dari warga. Saya yang jaga sekarang. Sudah amanlah itu.”
Pada 8 November 2020, HMS kembali mendatangi salah satu permukiman lain, Bengkong Kartini, yang letaknya juga berbatasan langsung dengan gudang penyimpanan peti kemas itu. Beberapa warga di sana juga mengeluhkan aktivitas bongkar muat tersebut.
Menurut Edi, ketua RT 01/RW 12 di sana, keluhan mereka sama dengan keluhan warga Bengkong Polisi. Namun, semua permasalahan antara warganya dengan perusahaan sudah mencapai titik temu, yang waktu itu dijembatani oleh aparat kecamatan dan kelurahan. “Sudah selesai. Ada 30 KK yang terdampak. Semua sudah menerima ganti rugi. Nilainya sesuai dengan jenis kerusakan rumahnya masing-masing,” kata Edi kepada HMS.
Dia mengatakan ganti rugi yang diterima warga memang tidak penuh seratus persen dari tuntutan awal. Akan tetapi, “Mereka [perusahaan] memberikan warga uang Rp500 ribu setiap bulannya sebagai kompensasi kebisingan,” katanya.
Ketika ditanyakan apakah pihak perusahaan saat pertama kali beroperasi ada melampirkan izin-izin aktivitas bongkar muat kepada aparat setempat, Edi menjawab, “Awalnya memang sempat kita tanyakan. Hanya saja, karena tuntutan kami sudah clear, kami biarkan itu jadi urusan pemerintah.”
Menurut Rian, koordinator bongkar muat peti kemas yang dijumpai HMS di Bengkong Kartini, sebenarnya sampai sekarang masih ada warga di sana yang mengeluh karena terganggu kenyamanannya. “Tapi sebagian saja, tidak seperti dulu,” kata dia, dibenarkan oleh rekannya, Rizki.
Keduanya mengaku diupah untuk menjaga aktivitas bongkar muat. “Warga sini yang menjaga, dan itu bergilir. Empat juta [rupiah] berdua,” kata Rian.
Menurut dia, getaran akibat bongkar muat peti raksasa itu paling berdampak terhadap musala An Nur Yaassin. Hampir seluruh bangunan musala itu hancur. “Makanya dibongkar semua,” katanya sembari menunjuk musala yang sedang dalam tahap pembangunan ulang.
Mengenai keluhan warga ini, HMStimes.com sudah mendatangi PT Laut Mas selaku pemilik usaha bongkar muat, dan PT Union selaku pemilik kawasan, tetapi tidak ada satu orang pun pihak manajemen yang dapat ditemui. “Bos lagi di luar Batam. Mas datang lain kali saja,” kata seorang karyawan PT Laut Mas. Sementara seorang karyawan PT Union berkata, “Sudah tiga bulan bos tidak ada ke kantor.”