Lelaki penulis puisi itu tersenyum menyambut HMS di teras rumahnya. Dia meraba tangan wartawan HMS untuk bersalaman. Kemudian dia merapikan kursi dan menyusun beberapa buku yang berserakan sebelum mempersilakan HMS duduk.
Pengarang buku dan penulis puisi itu bernama Antonius Silalahi. Dia seorang tunanetra. Dia ditemui HMS di rumahnya di Jalan Besar Deli Tua, Kelurahan Deli Tua Timur, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, pada Jumat, 18 September 2020, untuk wawancara.
Dia lahir dengan kondisi tubuh normal, seperti bayi pada umumnya, tanpa cacat apa pun. Namun, pada umur 9 tahun, badannya terserang demam tinggi yang nyaris merenggut nyawanya. Akhirnya pria kelahiran Pematangsiantar tanggal 21 Mei 1973 ini menjadi buta hingga saat ini.
Antonius Silalahi menceritakan kisahnya menulis buku dan puisi dimulai dari pertemuannya dengan seorang biarawati berkebangsaan Belanda, suster Jeanette FCA, saat dirinya sedang bekerja di ladang membantu neneknya di Pematangsiantar. Suster itu membawanya ke Kota Medan. Dia pun disekolahkan di sekolah luar biasa (SLB) khusus bagi penyandang tunanetra, SLB/A Karya Murni Medan, hingga tamat SMP.
Setelah tamat SMP, ia bekerja sambilan menjadi tukang pijat hingga menyelesaikan studinya di SMA. Lalu, tingginya semangat belajar membawanya melanjutkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada jurusan Ilmu Pendidikan Khusus. Semuanya atas dukungan penuh dari suster Jeanette.
Bakat menulisnya yang sudah terlihat sejak SMP membuat dirinya berbeda dengan mahasiswa lainnya. Tulisan-tulisannya beberapa kali menjadi tulisan terbaik dalam berbagai lomba di kampusnya. Namun, penolakan, ejekan, hingga kurangnya dukungan dari teman-temannya di Yogyakarta membuat dia akhirnya pulang kampung ke Kota Medan setelah menamatkan kuliah.
Kini dia tinggal bersama dengan istrinya, Verawaty Ginting, yang juga tunanetra, dan empat anaknya yang tanpa cacat badan. Dia dan istrinya menikah pada tahun 2006. Keduanya sama-sama tamatan SLB Karya Murni, Medan.
Sebagai penulis buku dan puisi, pada awal berumah tangga, Antonius bekerja dengan giat. Ia sering mengikuti berbagai lomba dan selalu mendapat penghargaan, salah satunya menjuarai lomba puisi di Radio Republik Indonesia (RRI), yang kemudian membuat ia bergabung dengan komunitas Puisi Malam (Pualam) RRI.
Buku pertamanya berjudul Bara Hati, yang ditulis dan dicetak pada tahun 2004 oleh penerbit Sastra Leo, Medan, dan merupakan bukunya yang paling banyak terjual. “Buku saya berjudul Bara Hati pernah dibeli Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, pada tahun 2007. Saat itu Bapak Sudi berkunjung ke Medan. Saya tidak tahu persisnya kenapa bisa dibelinya. Mungkin kawan-kawan di media yang sampaikan ke bapak itu. Saya dikasih amplop, dan saya tidak buka sampai saya pulang. Sampai di rumah, saya membukanya bersama istri, dan kami hitung rupanya tujuh juta lima ratus [ribu rupiah],” katanya.
Tentang proses pembuatan buku sebelum dikirim ke percetakan, Antonius Silalahi mengaku mengetik sendiri dengan komputer miliknya. Ia mengunduh aplikasi bernama JAWS. Suara dari aplikasi itulah yang memandunya saat akan menulis pada keyboard komputer. “Saat saya menulis kata demi kata, ada suara yang terdengar. Lalu saya bisa langsung koreksi jika saya menulis kata atau kalimat yang salah,” katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dia menjual buku-buku karangannya kepada jemaat di beberapa gereja. Saat ibadah gereja selesai, dia dan anaknya yang paling besar menggelar bukunya di depan gereja. Untuk biaya sekolah ketiga anaknya, dia hanya mengharapkan diskon biaya dari pihak sekolah.
“Saat ini sangat sulit. Saya kebanyakan di rumah saja, tidak bisa ke mana-mana lagi. Gereja tidak ada yang buka. Pendapatan dari berjualan buku tidak ada lagi. Memang saat ini saya baru memperoleh bantuan Rp600 ribu dari presiden, dan itu sangat saya syukuri,” katanya.
Bukunya yang kelima, yang dicetak tahun 2018 dengan judul Lelaki Bercahaya Purnama, diberikannya kepada HMStimes.com. Empat buku dia sebelumnya adalah Bara Hati II (2013), Dari Langit (2008), Dalam Matahari (2005), dan Bara Hati (2004). (Franjul Sianturi, calon reporter HMS)