Percakapan Frengki Wijaya dan Sukendi tiba-tiba berubah menjadi serius. Keduanya mengernyitkan dahi membicarakan seorang wanita lansia yang berontak ketika hendak diisolasi, yang baru satu hari berstatus pasien dan masuk “penjara”. Perempuan itu, kata Frengki, “Satu malaman teriak-teriak. Hampir mau copot terali [ruangan isolasi].”
Frengki Wijaya dan Sukendi adalah pengawas di Yayasan Muhammad Al-Fateh, sebuah pusat rehabilitasi, penjagaan, dan pembinaan orang sakit jiwa, difabel, dan orang telantar, yang saya kunjungi bersama dengan beberapa wartawan lain pada 6 Oktober 2020 di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Ketika saya masih berbicara dengan Frengki dan Sukendi, terlihat seorang anak berkepala plontos berusia belasan tahun berlari-lari kecil kegirangan. Dia mendekat lalu menadahkan tangan meminta uang Rp1.000 kepada saya. Setelah diberi, dengan senyum tersungging dia mengucap terima kasih, lantas beranjak pergi menuju ke sudut gedung.
“Maafkan ya, Mas. Biasalah itu anak-anak kita, belum mengerti, jangan tersinggung. Dia sudah dari bayi ditinggalkan orang tuanya di sini, kasihan,” kata Frengki. Bagi penghuni yayasan, katanya, kedatangan tamu adalah kebahagiaan, makanya satu per satu mereka mengenalkan dirinya kepada tamu. Biasanya penghuni remaja meminta uang. Penghuni yang sudah dewasa, setelah mengucapkan sepatah dua patah kata kepada tamu, pasti langsung meminta rokok. “Maafkan, ya, maaf. Itu rata-rata pasien yang baru sembuh,” kata Frengki lagi, sembari menyatukan kedua tangannya setinggi dada.
Selepas mengobrol di pelataran halaman depan yayasan, Frengki mengajak saya melihat sekelompok orang dengan gangguan jiwa, atau disingkat ODGJ—sebutan yang lebih manusiawi untuk orang gila menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa—yang menghabiskan waktu di dalam ruangan berterali besi serupa penjara. Frengki, yang mempunyai nama asli Lim Liang Ui, menjelaskan macam-macam perilaku penghuni sel itu kepada saya.
Apabila diperhatikan sekilas, yayasan ini takada bedanya dengan tempat penitipan dan rumah singgah lainnya. Gedungnya mempunyai banyak kamar berwarna putih dan hijau kusam. Ada lapangan untuk beraktivitas, bernuansa teduh dengan rindang pepohonan. Yang membedakan adalah satu gedung yang berada di depan gerbang pintu masuk yayasan, yang selalu tertutup dengan pintu berlapis besi setebal sekitar 5 cm, dan terkunci rapat dengan gembok besar berkarat.
“Nah, ini dia [ruangan isolasi]. Saya dipercayakan oleh ketua yayasan untuk mengantarkan tamu. Pasti mau lihat ke dalam, kan? Ini saya antar biar bisa lihat-lihat tempat perawatan pasien,” kata Frengki.
Dengan bersemangat dia memilah-milah sejumlah kunci gembok. Begitu pintu terbuka, aroma aneh dan pengap meruap menusuk hidung. Keheningan dari dalam lorong “penjara” itu tiba-tiba menjadi keriuhan suara manusia memanggil bersahut-sahutan, tepat ketika saya baru saja menjorokkan kepala. Saya taksabar melihat situasi di dalam lorong yang cukup luas, panjang, dan terbuka tanpa atap ini, tempat para ODGJ dirawat.
Tidak ada satu pun bohlam di sana. Sinar matahari menjadi sumber cahaya satu-satunya di dalam sel serupa penjara pada zaman penjajahan berukuran 1,5 x 2 meter itu, yang berjejer di sisi kanan dan kiri lorong. Di dalam bilik sempit itulah para pasien tidur beralaskan lantai. Mereka menyantap makanan dan buang hajat di tempat yang sama. Di dalam sel itu tidak ada kamar mandi, tidak ada air, dan tidak ada kakus untuk berak. Yang ada cuma selokan dengan lubang kecil di pojok kamar. Ada genangan air di lantai, tetapi itu bukanlah air bersih, melainkan air kencing.
“Kalau air ditaruh di dalam pun, nanti dibuang-buang sama mereka. Serbasusah memang mengurusnya,” kata Frengki. Bila penghuni haus, mereka harus menunggu penjaga datang lalu minta minum, itu pun cuma diberi air mentah.
Para penghuni bilik-bilik sel ini berpenampilan kusam. Ada yang duduk menggaruk-garuk kepala di depan jeruji tanpa mengenakan sehelai baju pun. Ada yang berdiri sambil menjulurkan tangan ke luar kerangkeng. Ada yang sedang tergolek tiba-tiba mendongakkan kepalanya dan menatap tajam ke arah saya. Ada yang komat-kamit menyatukan tangan di atas kepala seperti melakukan gerak ritual. Ada pula yang senyum-senyum sambil asyik mengobrol dengan dirinya sendiri.
Frengki mengatakan jumlah sel ada 38 bilik, dan semuanya sudah terisi. Sel depan dekat pintu masuk dihuni oleh pasien pria, sedangkan sel di bagian belakang untuk wanita. Rata-rata satu sel untuk satu orang. Ada juga satu kamar yang cukup luas untuk beberapa pasien yang tidak berbahaya, yang diyakini tidak akan menyakiti pasien lain.
Di tengah lorong ada bak mandi besar yang sudah mengering, dipenuhi sampah dan rerumputan liar. Dulunya itu digunakan untuk memandikan pasien, tetapi sekarang tak lagi difungsikan, karena pasien suka membuang-buang air kalau sedang dimandikan, bahkan menyerang petugas yayasan yang memandikannya. “Sekarang kalau mereka mandi itu pakai selang. Nanti kami suruh telanjang dan disirami dari luar sel satu per satu,” kata Frengki. Ia menunjuk selang sepanjang 50 meter yang digunakan pada pagi hari saja, satu-satunya waktu bagi para petugas untuk memandikan dan membersihkan kotoran pasien.
Sepanjang perjalanan menyusuri lorong ini, saya disambut para ODGJ dengan sahutan yang sama, “Minta rokoknya, Bang.” Hal sederhana itulah, kata Frengki, yang menjadi kebahagiaan para pasien ketika ada tamu yang berkunjung. Mereka akan senang dan berterima kasih kalau diberikan sigaret meskipun hanya satu batang. Sebaliknya, mereka akan bersikap biasa saja kalau oleh-oleh yang dibawa hanya berupa makanan.
Mengetahui itu, saya permisi keluar membeli satu bungkus rokok yang nantinya akan dibagi beramai-ramai. Satu bungkus rokok berisi 20 batang itu pun saya antarkan satu per satu kepada para ODGJ. Ragam-ragam perilaku mereka ketika menerimanya. Ada yang minta dibakarkan rokoknya yang sudah terjepit di bibirnya. Ada yang memaksa bakar sendiri. Ada yang menyimpan rokoknya di bagian atas daun telinga. Ada pula yang menipu dengan mengaku belum kebagian, kemudian meminta rokok dua kali.
“Rokok itu memang sudah seperti tradisi. Mereka lebih memilih rokok ketimbang gorengan. Misal nanti ada tamu ngasih mereka duit, uangnya itu dia kasihkan ke saya untuk minta tolong belikan rokok. Terus belinya itu batangan, tidak mau langsung sebungkus, berapa pun ada uang mereka,” kata Frengki.
Sudah pasti tidak mudah berinteraksi dengan kelompok orang majenun ini. Tentu saja mereka tidak boleh ditanyai, contohnya, mengapa pada akhirnya menjadi manusia yang tidak waras. Beruntunglah siang itu ada Frengki dan Sukendi yang menemani saya meliput. Keduanya menjelaskan hal-hal yang tidak saya pahami, termasuk menceritakan latar belakang para pasien.
Pasien pertama yang paling mencolok ialah seorang laki-laki yang menempati sel nomor 4. Dengan tubuh telanjang ia mengulurkan kedua tangan seperti hendak merengkuh seseorang, dan berulang-ulang menyebut satu nama perempuan. “Erna, sini Erna. Jangan takut, jangan tinggalkan aku. Iya, tidak apa-apa, ke sini saja,” katanya. Entah siapa perempuan yang dia panggil, tetapi nama itu terus melekat dalam hatinya meski kewarasannya sudah minggat dari tubuhnya.
Pemuda ini berasal dari Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dia berkulit putih dan berpostur tegap, tetapi selangkangnya dipenuhi koreng. Dia dibawa keluarganya ke yayasan ini tahun 2018 setelah ditangkap polisi karena dia berusaha membunuh ibu kandungnya sendiri. Dia merasa depresi ditinggalkan oleh cinta sejatinya, Erna.
Dulu, sebelum diamankan polisi karena mencoba membunuh ibunya, pemuda ini mengurung dirinya dalam kamar. Dia bersembunyi di kamarnya sambil memegang senapan angin dan sebilah pisau. Ketika polisi datang dan masyarakat berkerumun di rumahnya, dari dalam kamar dia berteriak akan bunuh diri karena merasa dicurangi oleh pujaan hatinya. “Dia ini kabarnya juga mau memerkosa anak gadis orang. Katanya ada bisikan-bisikan gaib yang berbohong kepadanya. Biasalah, urusan perempuan,” kata Frengki, lalu menyapa pemuda itu dan menyuruhnya memakai baju. Tentu saja dia tidak mau memakai bajunya.
Pemuda yang dicap sebagai hidung belang itu selalu memohon kepada petugas yayasan supaya dia ditempatkan dekat dengan sel pasien perempuan. “Tidak apa perempuan sama satu laki-laki [dalam satu sel]. Iya, tidak masalah, kan,” katanya dengan suara memelas, yang hanya dibalas Frengki dan Sukendi dengan senyuman. Setiap ada tamu wanita yang berkunjung ke sana, dia akan mencoba menggoda agar mendekat. Banyak juga hal tidak seronok yang dia lakukan dengan alat kelaminnya. Tentu bisa dimaklumi, karena dia tidak waras.
Tetangga pemuda pecinta itu juga tidak kalah menariknya. Dia adalah pasien kamar nomor 7, yang punya khayalan paling gila dibandingkan dengan khayalan pasien lain. Dia mengklaim dirinya sebagai raja dunia yang mempunyai kekayaan takterhingga. Oleh karena itu, saya menyebut dia Bung Raja. Dia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan pengetahuan luas. Gaya bicaranya tegas, dan dia mengenal nama orang berpengaruh di Indonesia dan dunia. Raut wajahnya selalu berkonsentrasi. Tubuhnya kerempeng, dan kulitnya hitam legam. Senyumnya sangat khas dengan gigi putih dan lesung pipi unik. Dia mengaku punya kerajaan. “Tapi rahasia. Kau buka ini dulu, baru kukasih tahu,” katanya, menunjuk gembok yang mengunci selnya.
Pria berumur sekitar 30 tahun ini adalah pasien superagresif. Sementara pasien lain tidak memedulikan tempat mereka dikurung, sebaliknya, dia sangat peduli. Dia mengerti mana perlakuan manusiawi dan mana yang tidak. Bilik selnya pun lebih bersih ketimbang sel lain. Menurutnya, apa yang dilakukan petugas yayasan dengan mengurung manusia di ruangan pengap itu adalah tindakan yang bertolak belakang dengan prinsip kemanusiaan. Karena itu, dia berulang kali memanggil pengawal khayalannya bernama Arman. Tujuannya untuk memberi pelajaran kepada orang yang mengurungnya dalam “penjara”.
“Arman! Woi, Arman! Di mana kau, Arman? Lihat rajamu ini, sudah tidak dihargai, diperlakukan tidak manusiawi. Hei, kalian jangan main-main sama aku. Jangan kurang ajar. Cuma binatang yang diperlakukan seperti ini. Kami ini manusia. Arman, cepat tolong aku, Arman!” katanya. Matanya melotot tajam ke arah saya, seperti menantang.
Frengki merawikan Bung Raja ini sering bersikap liar, tetapi terkadang juga bisa menjadi sangat bersahabat. Banyak hal yang dia bicarakan, mulai ceramah tentang tidak bergunanya hidup bernegara hingga soal eksistensi Tuhan. Bung Raja seperti seorang pemikir yang menjadi gila karena pikirannya melampaui takdirnya sendiri. Sudah hampir satu tahun pria yang mengaku penduduk asli Kota Batam ini berada di dalam selnya. Menurut keterangan keluarga yang dulu mengantarnya ke yayasan, dia sempat menuntut ilmu kebatinan sehingga lama-lama perilakunya berubah dan dianggap membahayakan masyarakat di lingkungannya.
Frengki, yang akrab dengan Bung Raja, mengajak saya mendekat ke selnya. Satu batang rokok tambahan diberikan agar dia tidak berceloteh minta keluar.
“Ini dikasih satu batang lagi, tetapi jangan ribut, ya,” kata Frengki.
“Iya, sini bawa rokoknya ke sini. Cepat!” kata Bung Raja, memerintah bak seorang raja.
Setelah rokok diberikan, “Hei, mana macis? Sini, jangan dibakarkan. Bawa saja sini. Aku bisa bakar sendiri,” kata Bung Raja.
“Kamu tahu enggak, Mas ini wartawan, mau kenalan sama kamu,” kata Frengki kepada Bung Raja.
“Ha-ha-ha, wartawan? Aku suka wartawan. Aku kenal raja wartawan, Udin. Kalian tahu Udin? Udin itu kawanku, sahabatku. Itu baru wartawan sungguhan, bukan seperti kalian. Bukan Udin Pelor, ya,” kata Bung Raja tertawa-tawa. (Raja wartawan yang dimaksud oleh Bung Raja adalah almarhum Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang punya nama panggilan Udin. Pada tahun 1996 Udin dihabisi oleh pembunuh bayaran, yang diduga berkaitan dengan laporan jurnalistiknya yang sering mengkritik Bupati Bantul saat itu, Kolonel Sri Roso Sudarmo. Nama Udin diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen dalam anugerah Udin Award. Bahkan, namanya juga terpatri pada monumen Newseum’s Journalists Memorial di Amerika Serikat.)
Belum habis Frengki bicara menanyakan kabarnya hari ini, Bung Raja sudah kembali berteriak dan mematahkan sebatang rokok yang tadi saya berikan. Dia marah karena katanya rokok itu murahan. “Rokok apa ini? Aku tidak mau rokok FTZ. Kalian jangan kurang ajar, ya, aku ini raja. Raja dunia. Tukar, cepat tukar!” kata Bung Raja.
Selain mengaku bersahabat dengan wartawan hebat Udin, Bung Raja juga mengaku mempunyai musuh, yaitu kapolri. Setelah nantinya keluar dari selnya, Bung Raja akan memanggil seluruh pasukannya untuk melawan jenderal bintang empat itu.
Dia juga mengkritik pemerintah yang menurutnya mirip tirani dan menyengsarakan rakyat. “Aku punya harta yang banyak, semua kusimpan di bawah bumi. Cuma aku yang bisa mengambilnya. Kalian tahu tidak, di bawah Batam ini ada harta, emas semua. Kalau kalian buka, masing-masing kuberikan emas 50 juta ton, berlian 50 juta ton. Mobil suka-suka kau ambil. Semua ada, bahkan akan kuberikan satu miliar ton emas murni untuk masyarakat Indonesia,” kata Bung Raja.
Setelah diam sebentar, dia berteriak lagi, “Hei, tolong buka ini. Kami ini manusia, bukan binatang. Tolong kalian manusiakan manusia, jangan diperlakukan seperti binatang. Hei, kau buka ini, cepat! Aku ini raja dunia. Ayo, buka saja, jangan takut. Aku tidak marah.”
Karena Bung Raja makin menjadi-jadi, Frengki membawa saya menyingkir dari selnya, memberinya waktu untuk sendirian. Kemudian dia membawa saya menuju ke sel yang berada di lorong paling belakang. Sebelum sampai ke sana, di seberang kami terlihat beberapa ODGJ duduk termenung. Mereka tidak bersuara. Tatapan mata mereka kosong. Rata-rata dari mereka masih muda, bahkan salah satunya tampak gagah dan cocok menjadi aktor film.
Mereka yang muda itu diantarkan ke yayasan oleh keluarganya masing-masing. Mereka kehilangan kewarasan karena kecanduan narkoba. Setiap kali dipandang, mereka langsung membuang muka, seperti orang yang sedang ketakutan. “Yang di kamar nomor 20 itu asalnya dari Aceh, merantau ke sini, terus kecanduan narkoba. Memang gagah dia. Keluarganya masih ada. Baru masuk itu. Sulit diajak ngobrol itu,” kata Frengki.
Di sebuah pondok terbuka di tengah lorong saya melihat seorang pria yang lemah takberdaya dibiarkan terbaring di lantai. Dia penyandang disabilitas mental. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Ketika saya melewatinya, dia berusaha tersenyum. Tatapan matanya pasti membuat iba siapa pun orang waras yang melihatnya. Kalau tidak iba, itu artinya dia tidak waras. Syukurlah, saya masih waras.
“Dia sakit mental. Saya juga kurang mengerti apa penyakitnya. Dia diantarkan Dinas Sosial ke sini. Karena semua ruangan sudah penuh, ya terpaksa ditaruh di sini, tetapi tetap diurus juga. Saya yang mengurusnya,” kata Frengki.
Saya dan Frengki terus berjalan hingga akhirnya sampai di ujung lorong, tempat sel-sel pasien wanita berada. Suasana di sana tidak ada bedanya dengan sel laki-laki yang ada di depan. Beberapa pasien perempuan ada juga yang bertelanjang, ada yang berteriak minta uang dan rokok. Para perempuan yang rata-rata berusia dewasa itu merayu-rayu dengan berbagai cara agar gembok kurungan mereka dibuka.
Salah satu pasien wanita yang rambutnya sudah memutih berusaha menggoda saya. Dia mengedipkan mata sambil meraba-raba payudaranya sendiri. “Hei, Sayang, sini dulu. Kamu mau, tidak? Sini mendekat, jangan jauh-jauh,” katanya kepada saya, bertingkah seperti cacing kepanasan.
Seorang pasien perempuan lain di seberang selnya lebih parah. Dia duduk bertelanjang, sesekali menutup tubuh dan kemaluannya dengan tangan. Ketika saya taksengaja melihatnya, dia malah sengaja mengangkang. “Hei, tidak boleh begitu,” kata Frengki kepadanya, yang dibalasnya dengan tertawa-tawa.
Siang hari itu, dengan bantuan Frengki, saya bisa menyaksikan kegilaan dari dekat, melihat mereka yang dirawat secara cuma-cuma agar kelak bisa sembuh dan merasai kenikmatan hidup. Mereka adalah manusia, sama seperti Anda dan saya.