Sumber air bersih di Kota Batam, Kepulauan Riau, mengandalkan air tadah hujan. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat, sejumlah waduk diberdayakan di sejumlah lokasi, salah satunya waduk Muka Kuning, Sei Beduk, Batam. Namun, saat ini debit air tampak berkurang drastis di waduk itu. Hutan di sekitarnya pun terlihat meranggas.
Tentang kondisi hutan ini, Decky, Kepala Seksi Wilayah II Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Batam, mengatakan hutan adalah pendukung penting ketersediaan air. Dia mengatakan waduk buatan Muka Kuning fungsinya untuk menampung air hujan, dan keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung turut menyangga ketersediaan air di waduk. Waduk tersebut bukan hanya sebagai penyuplai air, melainkan juga untuk mengendalikan erosi.
Ia tidak menampik bahwa di dekat waduk Muka Kuning ada tanah bukaan. “Di atas-atas itu bukaan baru, baru ditebang, baru dibakar,” kata Decky kepada HMS, Rabu, 16 September 2020. Tak hanya BKSDA, sejumlah elemen masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat dan institusi, sempat melakukan penanaman pohon di lahan bukaan itu.
Namun, katanya, BKSDA tidak memiliki hubungan dengan keberadaan waduk-waduk di Kota Batam. Fokus kerja BKSDA hanya pada pengelolaan taman hutan, hutan lindung, konservasi tumbuhan, kawasan cagar alam, suaka marga satwa, dan taman wisata alam. “Yang kita kelola hutan konservasi, hutan lindungnya yang ada di pinggiran itu,” katanya.
Daeng, warga yang sudah puluhan tahun tinggal di dekat waduk, tepatnya di Bukit Daeng, Tembesi, mengatakan susutnya air di waduk Muka Kuning dikarenakan jumlah penduduk di kota Batam semakin bertambah sehingga pemakaian air pun semakin tinggi. Hanya saja, katanya, kondisi waduk saat ini lebih parah dibandingkan tahun-tahun lalu.
“Batam pernah dilanda musim kemarau panjang, tetapi kondisi air tidak sampai separah sekarang ini,” kata Daeng. Kondisi waduk makin parah karena minimnya pelestarian hutan di sekitar waduk. “Coba jalan ke atas-atas sana, hutannya sudah rusak,” katanya.