Dengan penyangga kain yang menopang tangan kirinya yang patah, Ali duduk sendirian menatap teman-temannya yang sedang asyik bermain bola di sebuah lapangan kecil di seberang kantor Pelni. Begitulah keseharian para pencari suaka yang tinggal di kawasan Gedung Akomodasi Non-Detensi di Jalan R.E. Martadinata, Sekupang, Batam, Kepulauan Riau.
Berolahraga adalah cara mereka lari dari kenyataan hidup yang mereka hadapi selama ini. Rata-rata sudah 5 tahun hingga 6 tahun para pencari suaka asal negara konflik ini berjuang keluar dari negara masing-masing. Di tengah ketidakjelasan hidup yang mendera, mereka menyadari bahwa sepenuhnya mimpi harus terus dibangun agar kelak bisa hidup selayaknya manusia pada umumnya. Namun, kenyataan saat ini berbeda. Mereka hidup dalam ketidakpastian yang seakan-akan menggerogoti diri menuju kematian secara perlahan.
Di Indonesia, para pengungsi ini tidak mempunyai hak bekerja dan tidak bisa mengakses pendidikan. Kendati begitu, mereka tetap berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah menampung mereka untuk singgah sementara di negara ini.
“Hingga sekarang konflik di negaraku semakin lebih buruk,” ujar Mohammad Gulzari, sahabat Ali, yang juga merupakan pencari suaka asal Afganistan, kepada HMStimes.com baru-baru ini.
Gulzari mengatakan perjalanan yang ditempuhnya dalam masa pelarian mencari kedamaian hidup tidak mudah. Pada tahun 2014 dia telah mulai keluar dari Afganistan karena merasa di negaranya sudah tidak aman lagi. Sebelum konflik berdarah di negaranya, katanya, dahulu Afganistan adalah negara yang indah dan kaya. “Perang yang berkepanjangan menciptakan kecemasan setiap saat. Tidak ada tempat yang aman di sana, bahkan dari lubang-lubang terkecil sekalipun,” katanya.
Rute yang ditempuhnya selama 6 tahun pelarian hingga kini berada di Batam adalah dari Afganistan kemudian menuju India. Dari India dia menempuh jalur darat menuju Malaysia. Selepas itu, dari Malaysia dia menyeberang melalui jalur laut dan sempat berada di Kota Balikpapan, dalam penahanan imigrasi di sana, hingga kemudian dia berada di Kota Batam.
“Di negara-negara itu dan juga di Indonesia ini kita hanya transit saja sebelum nantinya PBB melalui United Nation High Commissioner for Refugees mencarikan kita negara yang bisa memberi jaminan kehidupan layaknya manusia pada umumnya. Di sini kita tidak bisa dapat hak untuk bekerja,” ucapnya.
Hal yang sama juga disampaikan temannya, Sham, bahwa perang telah memaksa dia meninggalkan negara kelahirannya. Bersama dengan pengungsi lainnya, Sham adalah satu dari sekian banyak pencari suaka asal Afganistan dari suku Hazara. Selama konflik berlangsung, katanya, hidup hanyalah rangkaian kecemasan yang terus memburunya hingga kematian itu datang. Bom dan letupan senjata adalah nada keseharian yang sering terdengar. Pekikan ketakutan dan tangisan terus hadir di mana saja. Perang telah menghancurkan kebahagiaannya. Kini genap sudah dia berumur 21 tahun, sedangkan kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
“Saya keluar dari Afganistan umur 16 tahun bersama pengungsi lain. Yang tersisa di Afganistan hanyalah saudara kandung saya. Mereka tinggal di Distrik Jaghori, Provinsi Ghazani. Setiap saat Taliban bisa saja menyerang kampung kami,” ucap Sham.
Selepas keluar dari Afganistan, dia sempat berada di New Delhi, India, selama 9 hari. Kemudian dengan bekal dana yang tersisa, dia melanjutkan perjalanan menuju Malaysia. Sehari di Malaysia, dia berangkat naik kapal di malam hari menuju Indonesia dan tiba di Medan. Dari Medan dia diarahkan menuju Jakarta untuk mendaftarkan diri sebagai pencari suaka ke UNHCR. Di Jakarta dia sempat menanyakan apakah ada tempat tinggal baginya. Pihak UNHCR menjawab sudah tidak ada tempat lagi, tetapi dia akan diterima jika terlebih dahulu mendaftarkan diri ke rumah tahanan imigrasi.
“Saat itu di Jakarta saya sendirian tidak punya teman, tidak ada informasi ke mana harus pergi untuk menetap. Saya sangat putus asa. Hal ini membuat saya mendaftarkan diri ke Rudenim di Kota Manado agar bisa berada di bawah penanganan IOM. Saya tinggal selama 17 bulan di rutan imigrasi di Manado. Kemudian saya dipindahkan ke Pontianak dan ditahan di sana selama 3 tahun sebelum resmi berada di bawah pengawasan IOM dan pindah ke Batam di rumah non-detensi ini,” kata Sham.
Kini harapan Sham hanyalah agar bisa berada di negara yang memberi dia pekerjaan dan hidup normal. Dia tidak pernah ingin kembali ke negaranya, karena di sana kehidupan aman dan normal adalah suatu hal yang langka.
Sham mengatakan para pengungsi di kawasan Sekupang ini pernah mengadakan unjuk rasa damai “living in uncertainty is gradual death” pada tahun 2019. Saat itu mereka meminta UNHCR memindahkan mereka ke negara yang bisa memberi akses bagi mereka bekerja. Rata-rata negara tujuan mereka adalah Australia, Selandia Baru, dan Kanada, atau negara mana saja yang memberi mereka izin untuk hidup secara normal.
Kini pandemi Covid-19 menghantam kehidupan sosial dunia. Segala sisi kehidupan terdampak, termasuk proses pemindahan para pencari suaka, yang semakin memperlarut keresahan mereka. Karena itulah para pencari suaka di Batam mengalihkan keresahan mereka dengan giat berolahraga. Itu semua agar pikiran mereka terus terjaga sehat sehingga depresi tidak semakin larut.
“Kita di sini tidak bisa kerja. Di penampungan kalau hanya diam begitu saja selama seharian, kita bisa gila. Karena itu banyak yang berkegiatan, semisalnya olahraga. Ada yang bermain sepak bola, juga ada yang bermain voli, dan fitness dengan peralatan yang disediakan oleh IOM. Pandemi juga membuat kami merasakan kecemasan yang sama dengan masyarakat Indonesia, kecemasan yang bertubi-tubi,” kata Ali.
Selaras dengan harapan semua pencari suaka di mana saja, mereka yang berada di kawasan Sekupang ini juga berharap pandemi Covid-19 segera berakhir sehingga program pemindahan mereka oleh UNHCR ke negara ketiga bisa dilanjutkan. “Saya hanya ingin hidup tenang dan aman menjadi warga negara ketiga, memiliki pekerjaan, dan kembali bertemu keluarga saya,” ucap Ali.