Perkara pembuangan (dumping) puluhan ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) jenis palm acid oil di Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), berujung pada sanksi ringan berupa teguran yang diberikan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam kepada pelaku. DLH mengaku lebih mengedepankan pembinaan ketimbang penindakan secara hukum.
Kepala Bidang Pengaduan DLH Batam, Endra Rica, mengatakan keputusan melakukan pembinaan itu diambil melalui berbagai pertimbangan, seperti status lahan yang dijadikan lokasi dumping yang tidak jelas. Selain itu, dalam berita acara pemeriksaan (BAP), para pelaku mengaku tidak sengaja dan baru pertama kali melakukan pembuangan limbah tersebut. “Mengingat tidak ditemukannya praktik penimbunan limbah di sana dan lahan tersebut berstatus quo, maka dilakukan pembinaan dulu,” katanya kepada HMS di kantornya, 29 Juli 2020 lalu.
Selain mendapatkan teguran, para pelaku dumping juga diminta mematuhi dua poin dalam penuntasan perkara ini, yakni memindahkan seluruh limbah ke lokasi yang memiliki izin dan membersihkan sisa-sisa limbah guna memurnikan kembali lingkungan sekitar yang sudah tercemar. Endra juga menjelaskan, terdapat 250 drum limbah yang berhasil diamankan pihaknya dari lokasi dumping, namun rata-rata berisi minyak sawit kotor alias PAO. Dari jumlah tersebut, hanya delapan drum yang masuk kategori limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran PP Nomor 101 Tahun 2014. “Itupun, menurut para pelaku, tidak sengaja terbawa,” kata Endra.
Endra menuturkan, pada saat pemeriksaan, pemilik limbah bernama Fauzan mengaku membeli limbah tersebut dari Soopingi, Direktur Utama PT Desa Armada Betiga. Sedangkan lahan yang digunakan untuk dumping limbah disebut merupakan milik Wahyudi Firdaus, Direktur Utama PT Kencana Bumi Sukses, yang dalam kasus ini diketahui sebagai perusahaan pengekspor limbah tersebut. Informasi terakhir yang diperoleh DLH Batam, limbah tersebut telah dipindahkan dan lokasi sudah dibersihkan. “Kenapa kami mengedepankan pembinaan? Karena kami bukan lembaga penegakan hukum,” ujar Endra.
Pemerhati lingkungan hidup Kota Batam, Azhari Hamid, menilai langkah pembinaan yang diterapkan DLH sudah salah kaprah. Pasalnya, sanksi pembinaan harusnya diberikan kepada perusahaan yang mempunyai izin, tetapi dalam aktivitasnya kedapatan melakukan pelanggaran lingkungan dengan catatan baru pertama kali dan dilakukan tanpa sengaja. “Perusahaan mereka itu tanpa izin, tidak punya legalitas sebagai pengelola limbah B3. Lokasi juga ilegal, tidak ada izin. Terus DLH bilang mau dibina, apanya yang mau dibina?” kata Azhari kepada HMStimes.com, 18 Agustus 2020.
Azhari mengatakan para pelaku ataupun perusahaan pencemaran lingkungan ini harusnya disangkakan telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut dia, pembinaan lebih tepatnya diberikan kepada PT Desa Armada Betiga, karena sepengetahuannya, perusahaan tersebut memiliki izin transporter limbah. Kendati demikian, dalam perkara ini, PT Desa Armada Betiga selaku perusahaan transporter tidak memiliki izin untuk menimbun limbah dan sudah bekerja sama dengan Fauzan, pemilik limbah tersebut. Selain itu, kesimpulan DLH Kota Batam yang menyatakan ratusan drum PAO tersebut tidak termasuk limbah B3, menurut Azhari, merupakan hal keliru dan seharusnya disampaikan dengan bukti serta dasar hukum yang kuat. “Kalau argumennya dia bilang PAO itu bisa dimanfaatkan, memang benar itu bisa dimanfaatkan. Tetapi perlakuannya tidak benar,” katanya. Azhari juga menilai DLH Batam sangat lemah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan terkesan hanya menunggu informasi dari masyarakat.
“Kalau mereka mau rajin, periksa tata kelola perusahaan. Dapat dari mana barang [limbah], dan mau digunakan untuk apa, bisa ditelusuri itu. Ini tidak dilakukan, terbukti dengan mereka bilangnya ini baru kedapatan sekali,” kata mantan staf Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal) Kota Batam ini.
Direktur Utama PT Kencana Bumi Sukses, Wahyudi Firdaus, membantah lahannya di Rempang Cate dijadikan tempat pembuangan limbah B3 oleh Fauzan, rekan bisnisnya. Menurutnya, lahan tersebut dipergunakan untuk penempatan sementara proses pengolahan minyak kotor sawit sebelum memasuki tahap ekstraksi menjadi crude palm oil atau CPO. “Tidak benar kalau dibuang, barang itu dia [Fauzan] beli. Rugilah, 1 ton harganya Rp2 juta, loh. Belinya sama Pak Miing [Soopingi], PT Desa Armada Betiga. Kalau dia timbun ataupun buang, rugilah dia,” kata Wahyudi, 18 Agustus 2020.
Wahyudi menjelaskan, jumlah limbah sludge yang dibeli Fauzan selama beroperasi di lahannya sebanyak 70 ton. Dari total tersebut, 40 ton di antaranya sudah berhasil dikirim melalui perusahaan jasa transportasinya kepada Konh Hoo Industries di Malaysia pada 8 April 2020. Sementara sisanya sebanyak 30 ton belum sempat dikirim karena aktivitasnya keburu terendus oleh KPLHI Kota Batam hingga bermasalah karena tidak melengkapi persyaratan administrasi perizinan lingkungan. “Karena tidak ada izin, sama orang DLH langsung disuruh bawa kembali ke Kabil [PT Desa Armada Betiga]. Ada berapa truk itu datang ke lokasi ngangkut limbah,” kata dia. Menurutnya, Fauzan juga mengecerkan sebagian hasil olahan CPO tersebut di Kota Batam.
Perihal aktivitas Fauzan yang tidak memenuhi persyaratan administrasi lingkungan, Wahyudi mengaku juga baru mengetahui hal itu belakangan ini. Sebab, pelaksanaan lapangan selama ini berada di bawah kendali Fauzan, dan pihaknya hanya mendapat jatah angkut limbah ke luar negeri saja. Semua proses transaksi CPO tersebut dilakukan memakai nama PT Chandra Bumi Nusantara (PT CBN), yang diketahui berdomisili di Kota Cirebon, Jawa Barat. “Limbah itu pesanan orang Jakarta, dia [Fauzan] urusin sebagai perantara [PT CBN]. Karena limbah minyak sawitnya masih tercampur, maka dicarilah tempat sama Fauzan ini. Nah, karena dia kenal sama saya dan nanya tempat, saya tunjukinlah lokasi yang di Barelang sana. Cobalah lihat, kata saya sama dia. Kalau bisa pakai, ya pakailah. Kenapa saya perbolehkan waktu itu? Karena menurut versi saya, minyak sawit itu bukan limbah,” katanya.
Disinggung mengenai dua lubang galian yang didapati di lokasi lahannya, Wahyudi menerangkan bahwa itu juga bukanlah tempat penimbunan limbah, melainkan dipergunakan untuk proses pemanasan tempurung kelapa. Hanya saja, karena pengerjaan lubang galian mengandalkan tanah liat tanpa semen, maka dia berinisiatif memakai sedikit limbah minyak sawit tadi untuk kemudian dimasukkan ke dalam lubang sebagai salah satu syarat proses pembakaran agar dinding galian bisa mengeras secara sempurna. “Kalau tempat penimbunan, tentu langsung ditutup. Saya punya beko, ya langsung tutup habis saja. Ngapain saya biarin terbuka dan orang-orang bisa lihat untuk foto,” katanya.
Wahyudi mengaku tidak ada kerugian materiel yang dialaminya dalam perkara ini. Justru ia mengaku beruntung kalau lokasi lahannya sempat dijadikan tempat pengolahan minyak sawit, karena lokasi tersebut menjadi semakin subur dan ditumbuhi umbi-umbian. Hal tersebut merupakan inisiatifnya untuk memanfaatkan sisa minyak sawit yang dijadikan pupuk. “Dulu saya pernah kerja praktek di PT PN, pabrik pengolahan sawit. Memang PAO itu setelah diolah bisa dijadikan pupuk. Nah, dasar saya perbolehkan Fauzan memakai lahan sebagai tempat pengolahan, karena itu juga. Saya tidak harus beli pupuk lagi. Bisa minta sisa minyak sawitnya saja,” kata dia.
Terkait sanksi yang diberikan kepada perusahaannya sehubungan dengan perizinan, Wahyudi mengaku pihaknya masih menunggu perubahan regulasi yang ada. “Sepertinya kalau untuk izin lingkungan, saya menunggu undang-undang dulu, yang harus diubah. Kalau memang itu limbah B3, boleh kita lihat itu di Riau sana, setiap bulan itu ada ribuan ton, mereka [pengusaha] kirim PAO. Saya termasuk jasa transportasinya. Sudah banyak saya kirim masuk ke Batam. Sekali kirim itu 400 ton, tetapi langsung ekspor, tidak ada pencairan. Sudah ratusan kontainer kita jual dari PT Bumi Rexa, Guntung,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Komisi III DPRD Kota Batam, Arlon Veristo, yang sebelumnya mengaku akan terus mengawasi proses penyelidikan kasus dumping limbah B3 ini, belum mau memberikan komentar ketika dimintai tanggapannya melalui sambungan WhatsApp, 4 Agustus 2020, perihal sanksi pembinaan ini. “Bisa dikonfirmasi saja ke DLH, ya. Nanti, ya. Saya lagi mau cek ini, nanti saya hubungi, ya,” kata dia. Namun, ketika dihubungi kembali pada 14 Agustus 2020, Arlon tidak menjawab.
Sejak 19 Mei 2020 lalu HMStimes.com pun sudah berusaha menghubungi Fauzan dan Soopingi, Direktur Utama PT Desa Armada Betiga, baik lewat telepon maupun dengan mendatangi perusahaannya, untuk wawancara, tetapi HMS belum berhasil memperoleh jawaban hingga berita ini ditulis.