Rasa letih terpancar dari ekspresi wajah dr. Budianto Sigalingging saat ditemui HMStimes.com di Rumah Sakit St. Elisabeth, Medan, Sumatra Utara, belum lama ini. Dokter yang berada di garda terdepan dalam menangani pasien Covid-19 itu mengenakan masker, sarung tangan medis, dan face shield.
Saban hari dokter spesialis penyakit dalam lulusan dari Universitas Sumatra Utara itu selalu sibuk. Maklum, banyak pasien yang membutuhkan pertolongannya, terutama pasien yang terpapar Covid-19 dari berbagai daerah di Sumut. Sejak pandemi Covid-19 mulai menyebar hingga Indonesia sejak Februari lalu, dia menjadi salah satu dokter yang bertugas di garda terdepan untuk menangani pasien terpapar Covid-19.
Di rumah sakit milik yayasan Katolik itu ada dua dokter yang langsung berhadapan dengan pasien Covid-19, yaitu dr. Budianto dan dr. Noni Suroso. Mereka juga dibantu sejumlah dokter spesialis jantung, spesialis saraf, dokter anak, dokter fisioterapi, dan dokter bedah.
Telah banyak pasien terpapar Covid-19 yang telah ditangani dr. Budianto Sigalingging, dan tidak sedikit yang di antaranya yang berhasil sembuh, antara lain Boydo Panjaitan dan istrinya, Elsa Malona, beserta ibunya yang sudah berusia di atas 70 tahun. “Kalau dihitung mungkin sudah lebih dari 300 pasien yang sudah ditangani di rumah sakit ini saja, itu dari berbagai daerah, silih berganti, dan 90 persen itu sembuh,” katanya saat diwawancarai pada 28 Oktober 2020.
Menurut pengalamannya menangani pasien Covid-19, umumnya pasien terkena Covid-19 berusia di atas 60 tahun dan sudah memiliki penyakit penyerta, seperti diabetes, sakit jantung, ginjal, dan hipertensi. Penyakit penyerta ini, katanya, yang banyak memperberat penyembuhan. “Lebih berat, tidak menutup kemungkinan susah sembuh,” katanya. Selain ada penyakit penyerta, pasien yang sulit disembuhkan biasanya karena terlambat ditangani. “Kalau cepat ditangani dan pasiennya percaya, bisa cepat sembuh. Kasus terlambat [ditangani], itu yang susah sembuh,” katanya.
Menurut dr. Budianto, pada awalnya penanganan Covid-19 banyak terkendala, karena pada saat itu fasilitas, sarana, dan prasarana masih minim. Namun, belakangan semakin membaik dan terjadi penurunan jumlah pasien. “Sempat tren turun, kurang 50 persen. Tapi, setelah itu naik lagi hampir 100 persen. Pemicunya, ada kaitannya dengan demonstrasi Omnibus Law, perilaku masyarakat, tidak jaga jarak, tidak cuci tangan, tidak pakai masker. Kesadaran masih kurang,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa martabat dokter dan rumah sakit sempat “tercoreng” ketika muncul istilah “di-covid-kan”, yaitu pasien meninggal yang diduga tidak terpapar Covid-19 tetapi dimakamkan secara protokol Covid-19. Di media sosial bermunculan video keluarga pasien yang mencak-mencak dan menduga rumah sakit dan dokter bermain untuk “men-covid-kan” pasien. Menurut dr. Budianto, kejadian itu diakibatkan salah komunikasi dan persepsi akibat masih kurangnya informasi di tengah masyarakat terkait Covid-19.
“Misalnya ada pasien dibawa ke rumah sakit, ternyata memang tidak Covid-19, bisa saja sakit jantung. Tapi ketika dalam proses pemeriksaan ternyata terindikasi ke arah Covid-19, tentu pasien akan masuk dalam sangkaan probable [kemungkinan]. Semua kasus probable harus masuk isolasi, kemudian di-swab, kemudian apakah kasus konfirmasi atau negatif. Problemnya ketika terjadi kematian, tapi hasil swab belum selesai, kalau dalam kasus seperti itu pasien yang meninggal tersebut akan masuk dalam protokol pemakaman secara Covid-19. Tujuannya untuk mencegah penularan terhadap keluarga,” katanya. “Kalau kita anggap pasien tersebut negatif padahal positif maka akan lebih banyak bahayanya dibandingkan dianggap positif tapi memang negatif.”
Menurutnya, tenaga medis dan pemerintah sudah serius menangani Covid-19. Kalau masih ada kekurangan, itu wajar, karena belum ada yang berpengalaman menangani virus ini. “Karena itu kalau ada anggota keluarga [yang kemungkinan terpapar Covid-19], jangan ragu untuk berobat, jangan terpengaruh oleh istilah masyarakat ‘di-covid-kan’. Penyakit ini dapat disembuhkan kalau cepat ditangani,” katanya.
Menurut dia, pandemi Covid-19 bukanlah bagian dari konspirasi seperti dikatakan sebagian orang. “Seribu persen saya yakin Covid-19 itu ada,” katanya. Atas dasar itulah, sebagai manusia biasa, dia juga mengaku merasakan ada ketakutan dalam dirinya, apalagi dia merupakan orang yang setiap hari berhadapan dengan pasien Covid-19.
“Pasti ada rasa takut, apalagi pada saat pertama, pada saat Covid-19 merebak di Indonesia. Pada saat itu masih baru, fasilitas masih terbatas. Sarana dan prasana juga masih susah, masih mengharapkan sumbangan dari pihak lain. Rasa takut kita cukup tinggi. Rasa takut juga muncul ketika banyak sejawat kita yang terkena dan meninggal,” katanya.
Akan tetapi, rasa takut itu dapat diatasi dengan kembali menekankan prinsip bahwa tugas dokter adalah menolong orang. Sebelum menjalankan profesinya, seorang dokter sudah disumpah bahwa dokter menolong orang lain dan “mengembalikan kehidupan”. Di samping itu, dia juga menjaga fisik agar tetap sehat, mengasup makanan bergizi, suplemen, dan berolahraga. “Yang paling penting tetap berdoa,” katanya.
Di akhir wawancara, dr. Budianto berpesan kepada masyarakat agar mengikuti anjuran pemerintah untuk rajin cuci tangan, jaga jarak, dan pakai masker. “Itu akan sangat efektif hingga 90 persen mencegah terkena paparan virus Covid-19,” ujarnya.