Bagi sebagian masyarakat Indonesia, tuak diyakini bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Bahkan, menurut anggota DPR Hinca Panjaitan, minum tuak dapat membantu pecandu narkoba untuk mendapatkan kesembuhan dan terlepas dari ketergantungan akan narkoba.
Hinca, seperti diberitakan tempo.co pada 21 November 2019, mengatakan ada 18 orang bekas pecandu narkoba di Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara, yang berhasil lepas dari narkoba dengan meminum segelas tuak asli setiap hari. “Ini mungkin kontroversi, tapi silakan BNN meriset,” katanya.
Mengenai hal itu, Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kepulauan Riau, Brigjen Pol Richard Nainggolan, yang diwawancarai HMS di Mako Brimob Polda Kepri, 14 November 2020, mengatakan, “Kalau ada penelitian yang hasilnya menerangkan bahwa meminum tuak dapat membantu melepaskan pecandu narkoba dari ketergantungannya, barulah bisa dipercaya.” Namun, katanya, penelitian ilmiah seperti itu belum pernah ada.
Menurut Richard, “Biasa para pecandu beralih minum tuak. Artinya, kebiasaan yang berubah, sehingga pecandu narkoba lupa mengonsumsi narkoba karena sudah terlena minum tuak.”
Richard mengatakan seseorang kecanduan narkoba dikarenakan efek dopamin, yang memberikan kesenangan terhadap diri pecandu. “Untuk melepaskan pecandu narkoba dari kecanduannya, harus dilakukan secara medis untuk membuang racun di dalam tubuhnya,” katanya.
Cara membuang racun tersebut yaitu dengan sistem detoks. “Apakah tuak dapat mendetoks pecandu narkoba? Ini menjadi pertanyaan besar pastinya,” kata Richard Nainggolan.
Dalam kesempatan yang sama Kapolda Kepri, Irjen Pol Aris Budiman, mengatakan masalah narkotika itu bukan tentang pikiran, tetapi tentang fisik manusia. “Etik narkotika saya pelajari dulu di Akpol. Pecandu narkotika menjadi ketergantungan karena menjadi bagian dari metabolisme tubuh. Apabila tidak mengonsumsi narkotika maka akan membuat tubuh menjadi sakit atau tersiksa,” kata Aris kepada HMStimes.com.
Tentang tuak, Aris menyebutnya budaya bagi banyak suku di Indonesia. “Kalau di Sumatra Utara itu disebut tuak. Papua itu disebut sagero. Flores mengenal dengan nama sopi. Sulawesi Selatan menyebutnya ballo. Kalau di Yogyakarta disebut lapen. Banten mengenalnya dengan nama kecut. Hampir semua suku bangsa mengenal tuak dengan nama saja yang berbeda. Tuak merupakan jenis budaya,” ucap Aris.
Menurut Tua Parningotan Manalu, penjual tuak di Kibing, Batu Aji, Batam, minum tuak secara berlebihan dapat merugikan diri sendiri. Karena itulah, dia membatasi penjualan tuak di warungnya. “Ada aturan pemesanan tuak hingga dosis minum tuak. Beli tuak di sini maksimal dua botol atau empat gelas saja. Lebih dari itu tidak akan kita layani,” katanya kepada HMS.
Siapa saja yang mau membeli tuak asli dari kedai Manalu harus memesan terlebih dahulu, yakni mulai pukul 08.00 pagi sampai dengan 04.00 sore. Kalau lewat dari jam itu, tidak akan dilayani. Harga tuaknya Rp15.000 per botol 600 ml.
“Tuak asli ini tidak ada dijual di warung tuak lain di Batam. Tuak asli aren hanya ada di Lapo Pondok Aren ini,” ujar Manalu. (Joni Pandiangan, calon reporter HMS)