Sengketa kepemilikan puluhan unit bangunan permanen dan sebidang tanah kosong di kompleks PT Suar Batam International Development Company atau biasa disebut Kawasan Ruko Tua, yang terletak di Kelurahan Taman Baloi, Kecamatan Batam Kota, Kota Batam, Kepulauan Riau, terus berlanjut. Kekisruhan sudah terjadi beberapa bulan belakangan ini, dan puncaknya 3 Agustus 2020.
Usut demi usut, duduk perkaranya bermula atas tidak terimanya warga ketika pemilik sah aset, yakni PT Artagrasia Pratama Sarana, mendadak hendak mengambil alih sebanyak 45 bangunan ruko tiga lantainya di kawasan tersebut tanpa memberikan kompensasi yang memadai kepada warga.
Mengenai hal ini, kuasa hukum perusahaan, Tantimin, mengatakan apabila kliennya meminta warga pindah tanpa memberikan kompensasi, hal itu sah-sah saja, karena kliennya adalah pemilik sah secara administrasi dan hukum yang ingin mengembangkan bisnis properti di Batam. “Semua bangunan itu akan digusur untuk kemudian dibangun kembali menjadi apartemen. Tetapi niatan itu malah terhalang oleh warga yang notabenenya hanya menumpang menempati lokasi,” kata Tantimin, yang ditemui HMStimes.com di kantornya, 4 Agustus 2020.
Tantimin mengatakan aset-aset itu secara sah dikuasai kliennya sebagaimana yang diurai dalam akta penyerahan aset-aset PT Suar Batam International Development Company Nomor 30, 11 Maret 1998, yang dibuat di hadapan notaris Toety Juniarto di Jakarta. Dokumen yang mereka miliki pun lengkap, yaitu ke-45 ruko itu memiliki penetapan lokasi (PL) masing-masing dengan nomor berurut dari 9590090018.001 sampai dengan 9590090018.045.
Melalui lembaran fotokopi dokumen yang diperlihatkannya kepada HMS, kata dia, perusahaan juga telah mengajukan permohonan kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, 27 November 2019, untuk perpanjangan jangka waktu alokasi lahan membayar uang wajib tahunan otorita (UWTO). Perusahaan berhak menguasai lahan seluas sekitar 2.000 meter persegi itu selama 20 tahun ke depan, terhitung dari 17 Januari 2020 sampai dengan 16 Januari 2040. “Dokumen kami lengkap dan kuat secara hukum, boleh dicek. Kalau warga mau minta ganti rugi, dasarnya apa?” katanya.
Ia menceritakan, peruntukan lahan ketika awal dikuasai dahulu ialah untuk dijadikan kompleks ruko atau industri. Sayangnya, sekitar tahun 2000-an, ada satu masalah yang membuat pengembangannya jadi terhambat. Lalu, karena pemilik perusahaan ini berdomisili di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, pihak perusahaan akhirnya menunjuk salah satu orang kepercayaannya di Batam, bernama Zainal Ratu Loly, yang khusus ditugaskan untuk menjaga aset-aset PT Artagrasia Pratama Sarana tersebut. Ketika berada dalam pengawasan Zainal, pihak perusahaan hanya mengetahui bahwa tugas dilakukan dengan cukup baik. Keseluruhan aset mulanya dibiarkan tetap kosong untuk beberapa tahun awal. Barulah pada sekitar tahun 2002, titik mula sengketa muncul, yakni ketika Zainal mengizinkan satu per satu kenalannya untuk bermukim ke lokasi.
Masa itu, setiap orang diperbolehkan menempati lokasi dengan syarat bersedia menandatangani pernyataan antara warga dan Zainal. Isi suratnya berupa perjanjian yang menegaskan bahwa bangunan berstatus hibah, dan apabila pemiliknya, yaitu PT Artagrasia Pratama Sarana, ingin menggunakan lokasi maka warga bersedia pindah mengikuti ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, Zainal bertanggung jawab penuh apabila ada gugatan dari pihak-pihak lain.
“Terus dikasihlah mereka pinjam dan buat surat pernyataan. Tetapi di sini, surat pernyataan itu bukan terikat sama perusahaan, tetapi hanya sebatas sama penjaga ruko saja,” kata Tantimin. Lambat laun aset-aset yang ditinggalkan pun berubah menjadi pemukiman penduduk. Sedikitnya ada 91 kepala keluarga tinggal di sana, dan rata-rata menolak pindah sebelum ada kompensasi.
Pada awalnya, pemilik mencoba mengambil jalur musyawarah dengan difasilitasi oleh anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, Lik Khai. Permasalahan yang ditangani oleh Lik Khai berlangsung pada tahun 2019. Saat itu pemilik sudah menyampaikan agar tidak terjadi perselisihan, maka bagi warga yang mau pindah akan diberikan uang kompensasi Rp1,5 juta, tetapi tidak ada respons. Karena hasilnya nihil, maka Januari 2020, Tantimin ditunjuk membereskan masalah ini.
Tantimin menyatakan, sikap pihaknya telah bulat dan tidak akan berubah. Karena selama ini kliennya sudah memberikan waktu dan cukup banyak kelonggaran terhadap warga untuk segera mengosongkan aset-aset tersebut, maka nanti pihaknya bakal melakukan tindakan tegas apabila puluhan warga di sana masih tetap memilih bertahan mendiami lokasi tersebut. “Kami akan menempuh jalur hukum. Saya sedang menunggu Direktur Utama PT Artagrasia Pratama Sarana, Laksana Sunarko, datang ke sini untuk membuat laporan polisi,” katanya.
Sementara itu, ketika disambangi HMStimes.com pada 4 Agustus 2020, sejumlah warga kawasan Ruko Tua secara terang-terangan mengaku memang mereka selama ini hanya menumpang di aset perusahaan tersebut. Mereka menolak pindah karena sudah membayar sejumlah uang untuk bermukim di lokasi, dan karena itu pula warga merasa berhak menerima ganti rugi, baik berupa sejumlah uang ataupun tempat tinggal yang layak.
“Ruko ini sudah dijual oleh Pak Zainal. Kemudian sebagai pegangan maka dibuatlah surat pernyataan itu. Memang tidak semua yang bayar, hanya beberapa unit saja, Mas. Ini banyak saksinya, tanya saja, itu ada Pak Sinaga dan Pak Gultom yang bayar. Cuma memang dalam surat pernyataan itu tidak ditulis berapa nominalnya,” kata perwakilan warga, Frengky Koten, kepada HMS, yang dibenarkan oleh warga lainnya.
Biaya yang dikeluarkan warga untuk dapat menempati lokasi bervariasi, dari Rp500 ribu sampai jutaan rupiah. Semua urusan pembayaran tersebut diserahkan kepada Zainal selaku penjaga ruko. Beberapa warga diketahui rata-rata melakukan transaksi tersebut pada periode tahun 2002 sampai 2013. “Pak Zainal itu sekarang sudah tua. Saat ini yang ngurus anaknya, namanya Pak Man. Dulu mereka tinggal di sini, sekarang entah ke mana,” kata Frengky.
Harapan warga dari awal, penyelesaian persoalan ini semestinya dapat dibicarakan baik-baik tanpa perselisihan. Mereka bahkan mengaku sudah lama menunggu kedatangan Dirut PT Artagrasia Pratama Sarana untuk datang melihat kondisi mereka. Warga juga menuding pihak perusahaan telah memakai jasa preman untuk datang ke pemukiman lalu melakukan intimidasi kepada warga. “Kalau mau proses secara hukum, silakan. Kenapa prosesnya malah bawa preman-preman ke sini nakut-nakutin warga. Makanya kami ngamuk, ini bukan yang pertama kali, tapi sudah yang ketiga kali,” kata Frengky Koten. Mereka tahu hal ini karena beberapa preman yang dipakai perusahaan ternyata masih saudara dari beberapa warga di sana.
Hal lain yang membuat mereka makin kecewa adalah ketika permasalahan ini dimediasi oleh anggota Komisi I DPRD Batam, Lik Khai. Menurut mereka, proses mediasi tersebut gagal total karena mediator terkesan berpihak kepada pengusaha tanpa memikirkan kondisi warga. “Pak Lik Khai pernah panggil warga buat ketemu di Nagoya. Kami tiga orang saja. Saya, Pak RW, dan Pak RT. Dalam pertemuan itu kami akui kalau ruko ini bukan punya kami. Hanya saja kami di sini sudah lama. Jadi tolong kalau mau keluarkan kami, lakukan dengan cara yang manusiawi. Jangan cuma kasih sejuta terus suruh kami keluar. Kalau kami keluar, suruh kami mati di luar ya? Mending kami mati di sini sekalian,” kata Frengky Koten.
Keberpihakan semakin terlihat ketika mereka mengajukan permohonan digelarnya rapat dengar pendapat (RDP) antara warga dan perusahaan kepada Ketua Komisi I DPRD Batam, Budi Mardianto. Permintaan mereka itu sampai sekarang belum diketahui kejelasannya. Padahal menurut mereka, permasalahan ini bakal selesai jika dibahas bersama dengan wakil rakyat.
“Sampaikan sama mereka [DPRD Batam], kalau terjadi pembunuhan di sini, mereka yang tanggung jawab. [DPRD] tidak mengutamakan kepentingan masyarakat. Masak anggota dewan tidak bisa memberikan kepastian hukum ataupun perlindungan terhadap warga. Kami cuma minta digelar RDP, malah tidak ada sampai sekarang. Semua mau cari keuntungan di Ruko Tua, tapi tidak memikirkan nasib kami,” katanya.