Sudah dua minggu ini Hendra Sinulingga (43) tiba-tiba teringat akan masa kecilnya dahulu, ketika keluarganya hidup dalam kemiskinan sehingga dia kesulitan mengenyam pendidikan. Dia merasa gelisah, dan berpikir agar dapat membantu seorang gadis berusia 16 tahun di Kota Batam, Kepulauan Riau, untuk kembali dapat bersekolah.
Niat tulusnya ini muncul setelah Hendra membaca kisah tragedi yang dialami si anak seperti diberitakan HMS (baca “Diperkosa Kakek di Yogyakarta, Diperkosa Lagi oleh Ayah di Batam”). Gadis asal Yogyakarta itu datang ke Batam untuk melanjutkan sekolah, tetapi malah menjadi korban pemerkosaan oleh ayah kandungnya sendiri (baca “Ayah Jahanam!”).
Pertama kali Hendra mengetahui kisah si anak ketika dia sedang bersantai dengan istrinya dari kesibukannya sehari-hari sebagai pengusaha kuliner. Waktu itu, setelah selesai membaca berita tersebut, dia merasa tersentuh dan langsung muncul niat menyekolahkan korban, bahkan menjadikan korban sebagai anak angkatnya. “Membaca cerita awal anak kemari [datang ke Batam] ingin sekolah, ditambah lagi dia anak perempuan, membuat saya dan istri berpikir ‘kasihan ya.’ Anak kepingin sekolah tetapi dapat musibah, dan dari ayah kandungnya pula,” kata Hendra kepada HMStimes.com, 3 Oktober 2020, di warung kopi kaki lima di Pasar Angkasa, Jodoh, Batam.
Pikirannya pun berkecamuk, bercampur aduk antara geram kepada si ayah dan kasihan kepada si anak. Akhirnya, atas persetujuan istrinya, Hendra menghubungi sahabat lamanya yang kini menjabat Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepri, Erry Syahrial. Dalam pembicaraan itu Hendra menyampaikan niat dirinya dan istrinya untuk mengadopsi si anak. “Saya bertanya soal kasusnya. Si anak ini, kan, sekarang ibaratnya tidak ada keluarga lagi di Batam. Ibunya di kampung. Ayahnya di penjara. Saya sampaikan niatan saya, dan minta ditanyakan kepada anak kalau masih mau sekolah, saya bersedia membantu,” kata Hendra.
Dalam wawancara HMS siang itu, Hendra Sinulingga menerawang mengingat masa kecilnya. Dia mengatakan timbulnya niat mengasuh anak itu tidak terlepas dari perjalanan hidupnya, karena dulu dia bisa bersekolah berkat uluran tangan seseorang.
Masa kecil Hendra sampai lulus sekolah menengah pertama dihabiskan di pinggiran perkampungan Kota Binjai, Sumatra Utara. Kedua orang tuanya hanya petani penjual bibit pepaya. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara yang rata-rata hanya tamatan SMP, bahkan ada pula yang sama sekali tidak bersekolah. “Tiga perempuan dan empat laki-laki. Orang tua saya petani miskin. Hanya saya yang tamat SMA,” kata dia.
Pada tahun 1989, karena ekonomi keluarga yang takcukup, dia terpaksa menganggur selama satu tahun selepas lulus SMP. Dia mengikuti jejak kedua orang tuanya menjadi petani yang kadang kala bekerja di ladang milik orang, dan pada waktu senggang menjual bibit pepaya kepada tauke-tauke perkebunan di Sumatra Utara. Hingga akhirnya, suatu hari datanglah seorang dermawan bernama Reynaldi Siregar membeli bibit pepaya. Kedatangan pria itulah yang mengubah perjalanan hidup Hendra.
“Dia [Reynaldi] punya kebun dekat rumah kami sekitar 8.000 meter. Waktu dia beli, dia tanya saya, ‘Adek kok tidak sekolah?’ Saya jawab tidak ada biaya, tidak mampu,” kata Hendra.
Reynaldi Siregar, yang waktu itu menjabat kepala unit Bank Rakyat Indonesia, langsung memberikan penawaran. “Lalu saya ditawarinya ikut dia supaya disekolahkan dengan catatan nanti saya yang urus kebun dia,” kata Hendra.
Hendra pun kembali melanjutkan pendidikannya sampai lulus SMA dengan semua biaya ditanggung oleh Reynaldi, yang dia anggap sebagai penyelamat. Kebaikan Reynaldi selalu diingat oleh bapak empat orang anak ini. “Kebetulan sekarang beliau [Reynaldi] sudah pensiun. Tidak perlu disebut, sudah tahulah kita berapa gaji pensiun itu didapatnya. Jadi, suatu hari anak terakhirnya mau kuliah. Pak Reynaldi sempat cerita sama saya. Tidak perlu dia minta, saya langsung menawarkan diri. Mau kuliah di mana saja bilang, biar saya menyekolahkan. Alhamdulillah, sekarang dia sudah semester empat di Universitas Islam Sumatera Utara,” kata Hendra.
Bukan hanya itu, Hendra juga memiliki tiga anak angkat lainnya yang dia biayai, dua orang di Medan dan satu di Batam. “Saya berterima kasih sekali dengan Reynaldi atas kemurahan hatinya menyekolahkan saya. Kalau tidak ada dia, mungkin saya tidak sampai seperti ini,” katanya. Dari tahun 1997 sampai sekarang Hendra sudah menetap di Kota Batam, menjalankan sejumlah warung di pinggir jalan di daerah Jodoh dan Nagoya.
Bagi Hendra, pendidikan adalah bekal penting yang seharusnya didapat oleh setiap anak. Apabila seseorang mendapatkan pelajaran yang baik di sekolah, otomatis dia pun berpeluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih mapan. “Kalau dia bodoh, tentu kemiskinan dekat sama dia. Meskipun ada sebagian yang bodoh tapi kaya, tapi itu hanya segelintir jumlahnya. Dengan kita menjadi terdidik, hal-hal yang melenceng bisa diantisipasi. Ini yang sebenarnya mendasari saya. Contohnya kasus si anak ini, saya berharap dia tetap sekolah, minimal tamat SMA. Ini untuk meningkatkan kepercayaan diri dia juga. Dengan bersosialisasi dan memiliki asuhan yang baik, masa depannya juga akan lebih baik,” katanya.
Hendra berharap, apabila korban bersedia menjadi anak asuhnya, dia akan membebaskan si anak memilih sekolah yang mana saja asalkan di Kota Batam. Bukan hanya sampai lulus SMA, dia juga bersedia membiayainya sampai ke perguruan tinggi. “Karena anak saya juga perempuan semua. Jadi, kalau dia mau sekolah, tinggal di rumah saya juga tidak masalah,” katanya.
Hendra pun akan menyanggupi semua biaya ibu korban, yang kini masih berada di Yogyakarta, untuk datang ke Batam melihat putri tercintanya. “Tentu ibunya harus datang dulu, dan anaknya juga mau. Semua balik lagi kepada yang bersangkutan,” katanya.
Dia ingin membimbing korban agar menjadi perempuan yang tangguh menuju masa depan yang cerah, sama seperti yang dia ajarkan kepada keempat anak perempuannya. “Saya buat perjanjian tuh sama anak saya. Saya bilang, ‘Kamu saya kuliahin dengan catatan setelah tamat kuliah, kamu jangan jadi pegawai negeri, karena negara kemampuannya itu cuma bisa menggaji membeli sepetak rumah yang biasa-biasa saja. Sebaliknya, apabila kamu jadi pengusaha, kamu bisa menciptakan lapangan pekerjaan, ada banyak orang yang bisa kamu bantu,’” kata Hendra.
Kemurahan hati Hendra Sinulingga terhadap sesama bukan hanya membiayai beberapa anak angkat. Ternyata setiap bulan dia selalu membagikan sembako kepada sekitar 70 kepala keluarga di Jodoh, Nagoya, dan Baloi Persero. Hal ini baru diketahui HMS sesaat sebelum wawancara usai, yaitu dari sekelompok warga pengunjung kedai kopi tempat HMS dan Hendra berwawancara. Salah satunya dari Kurniawan (42), yang menyebut Hendra orang yang bijaksana dan dituakan oleh warga Pasar Angkasa, Jodoh.
Katanya, banyak permasalahan pedagang di sana dikeluhkan kepada Hendra, dan mereka berkeyakinan akan selalu mendapat solusi. “Dermawan jangan dibilang, takutnya nanti tidak dicatat sama Allah. Contohnya sudah banyak. Masjid Al Fajri di tengah Pasar Angkasa, inilah pendobraknya [menunjuk Hendra]. Masjid itu perlu di pasar, sebelum ini tidak ada. Alhamdulillah, sejuk orangnya,” kata Kurniawan. Mendengar itu, Hendra segera menimpali, “Tidak perlu disebutlah soal yang begituan.”
Mengenai niat Hendra mengadopsi korban perkosaan ini, komisioner KPPAD Nina Inggit Garnasih mengatakan hal tersebut baru bisa terlaksana setelah kasusnya sudah diputus oleh pengadilan. Itu pun harus memenuhi beberapa persyaratan, terutama harus ada persetujuan dari si anak dan orang tua kandungnya.
Ibu kandung si anak di Yogyakarta menyambut baik keinginan Hendra yang mau menyekolahkan putrinya hingga kuliah. Hanya saja, sekarang dia belum bisa mengambil keputusan. Dia tidak mau lagi sembarangan menitipkan anak gadisnya. “Belajar dari yang kemarinlah, sama bapaknya saja seperti itu [diperkosa]. Saya sebenarnya mau saja asalkan si anak setuju, dan identitas yang membantu juga jelas. Saya tidak mau kejadian ini berulang, tidak sanggup saya. Nanti saya akan bicarakan dulu dengan keluarga di sini dan kepada anak saya,” katanya kepada HMStimes.com melalui telepon, 5 Oktober 2020.
Menurut dia, anaknya itu tidak ingin kembali ke Yogyakarta, karena masih merasa trauma melihat kakeknya. Anaknya ingin menetap dan bersekolah di Batam. “Dia bilang mau sekolah, tetapi setelah masalahnya selesai,” kata ibunya kepada HMS. “Dia bilang sama saya, ‘Aku tidak mau pulang. Aku mau sekolah di sini. Nanti aku kerja ngumpulin biaya sekolahku sendiri biar Ibu bangga. Aku mau ketemu Ibu setelah sukses saja. Aku mau kerja di Batam, mau bikinin rumah untuk Ibu. Tidak mau lagi kenal sama keluarga Ayah.’ Terus saya jawab, ‘Iya, tetapi kamu di sana sama siapa?’”
Anak perempuannya itu terus mengulang-ulang ucapannya ingin bersekolah, ingin bekerja, dan hanya ingin bertemu dengan ibu kandungnya setelah kelak dia sukses.