Kasus dugaan penyelundupan tekstil premium yang tengah ditangani oleh Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) terus bergulir. Tidak main-main, kasus ini menjerat empat oknum pejabat di lingkungan Kantor Pelayanan Umum (KPU) Bea dan Cukai Batam, Kepulauan Riau (Kepri), yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Keempat pejabat tersebut yakni Mukhamad Muklas selaku Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai (PFPC), Dedi Aldrian sebagai Kepala Seksi Pabean dan Cukai (PPC) III, Hariyono Adi Wibowo yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pabean dan Cukai (PPC) I, dan Kamaruddin Siregar sebagai Kepala Seksi Pabean dan Cukai (PPC) II. Selain keempatnya, tim penyidik juga menetapkan Irianto, direktur PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Garmindo Prima (PGP), yang merupakan importir tekstil tersebut sebagai tersangka.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono, menuturkan empat tersangka oknum KPU Bea dan Cukai Batam telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses importasi produk kain bersama dengan tersangka Irianto. Hasil tegahan semula yang hanya berjumlah 27 kontainer bertambah setelah diusut lebih lanjut. Kata Hari, komplotan ini selama dua tahun belakangan telah mengimpor 566 kontainer tekstil dengan modus mengubah invoice dengan nilai yang lebih kecil untuk mengurangi bea masuk serta mengurangi volume dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) dengan cara menggunakan surat keterangan asal (SKA) tidak sah. “Hal tersebut menjadi salah satu penyebab banyaknya produk kain impor di dalam negeri sehingga menjadi penyebab kerugian perekonomian negara,” kata Hari.
Kasus dugaan penyelundupan tekstil ini bermula dari penegahan yang dilakukan oleh Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU Bea dan Cukai Tanjungpriok yang mendapati 27 kontainer milik PT FIB dan PT PGP pada 2 Maret 2020 lalu. Pada saat itu, didapati ketidaksesuaian jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 keluar dengan isi muatan usai dilakukan pemeriksaan fisik barang. Seluruh kontainer tersebut singgah di Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Dari 27 kontainer yang diamankan tersebut, 10 kontainer milik PT GPP, dan 17 kontainer milik PT FIB.
“Petugas mendapati ketidaksesuaian mengenai jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 keluar dengan isi muatan hasil pemeriksaan fisik barang oleh Bidang P2 KPU BC Tanjung Priok. Setelah dihitung terdapat kelebihan fisik barang, masing-masing untuk PT PGP sebanyak 5.075 rol dan PT FIB sebanyak 3.075 rol,” ucap Hari.
Tak hanya itu, pada dokumen pengiriman kontainer disebutkan kain tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India, dan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India. Namun faktanya kapal pengangkut tersebut tidak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut berasal dari Cina. Didapati fakta juga bahwasanya kontainer berisi kain brokat, sutra dan satin berangkat dari Pelabuhan Hong Kong, Cina dan singgah di Malaysia lalu berlabuh di Batam. Pada saat kapal tiba di Batam, kontainer berisi tekstil milik importir PT FIB dan PT PGP tersebut kemudian dibongkar dan dipindahkan ke kontainer yang berbeda di tempat penimbunan sementara (TPS) di Kawasan Pabean Batu Ampar tanpa pengawasan oleh Bidang P2 dan Bidang Kepabeanan dan Cukai KPU Batam. Selanjutnya setelah seluruh muatan dipindahkan ke kontainer yang berbeda, kemudian diisi dengan kain lain yang berbeda jenis dengan muatan awal. Peti kemas itu diisi dengan kain polister yang harganya lebih murah dan kemudian diangkut menggunakan kapal lain menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Temuan ini mendapat sorotan serius dan membuat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berang. Sri Mulyani sempat menduga bahwa ada keterlibatan oknum KPU Bea dan Cukai Batam yang dengan sengaja meloloskan ribuan gulungan kain premium asal Cina ini. Alhasil, Sri Mulyani meminta bantuan Kejagung untuk menelusuri hal tersebut. Penyelidikan yang dilakukan sejak Februari lalu berlanjut pada penyidikan ditandai dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-22/F.2/Fd,2/04/2020 guna mendalami dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Importasi Tekstil pada Direktorat Jendral (Ditjen) Bea dan Cukai Tahun 2018 sampai 2020 yang diterbitkan oleh Direktur Penyidikan pada Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung pada 27 April 2020 lalu. Selama proses penyidikan berlangsung, sedikitnya dua puluh orang saksi menjalani pemeriksaan. Bahkan, tim penyidik juga sempat melakukan penggeledahan di rumah dinas Kepala KPU Bea dan Cukai Batam, Susila Brata, pada 11 Mei 2020 lalu.
Selama proses penyelidikan, sejumlah nama mencuat. Salah satunya Dewi Sulastri yang sebelumnya disebut sebagai Dewi Ratna alias DR. Wanita yang belakangan diketahui sebagai pemilik PT Anugerah Berkah Shabilla sempat disebut-sebut sebagai mafia tekstil dalam kasus ini dan sudah bermain cukup lama. Namun hal ini dibantah oleh Dewi.
HMStimes.com yang sempat menemui Dewi di kantornya di Komplek Union, Batu Ampar, pada 27 Mei 2020 lalu, mengaku tidak tahu-menahu soal penyelundupan 27 kontainer berisi kain premium asal China tersebut. Kepada wartawan, Dewi mengatakan bahwa ia dan perusahaannya hanyalah penyedia jasa pengurusan dokumen impor mengingat perusahaannya merupakan salah satu anggota Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) di Batam. Dewi menjelaskan, peranannya hanya sebagai penginput dokumen ke aplikasi khusus yang disediakan oleh Bea dan Cukai untuk pengurusan dokumen impor atau penyambung antara importir dengan Bea dan Cukai. Selama proses penyelidikan, tercatat sebanyak tiga kali pemeriksaan dijalani Dewi. “Saya akan kooperatif dalam kasus ini. Saya akan memberikan keterangan apapun yang saya ketahui. Tapi kalau memang saya tidak tahu, apa yang mau saya jelaskan. Lagian, saya tidak mungkin bisa berbohong. Tentu penyidik lebih pintar dari saya,” ujarnya kala itu.
Selain nama Dewi, nama lain yang muncul sejak awal kasus ini mencuat yakni Irianto yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Irianto merupakan importir, direktur PT FIB dan PT PGP. HMStimes.com sempat mencoba mendatangi kedua lokasi perusahaan tersebut pada 27 Mei 2020 lalu. Bertempat di Komplek MCP Blok B1 Nomor 14, Batu Ampar, HMStimes.com bertemu dengan Agni, penanggung jawab di PT PGP. Agni mengaku tidak tahu soal kasus importasi tekstil yang tengah mencuat. Ia menjelaskan PT PGP sudah berdiri sejak tahun 2000 dengan pemilik bernama Peter, warga negara Singapura. Awalnya, perusahaan yang bergerak di bidang konveksi ini berlokasi di Komplek Industri Citra Buana I, Batu Ampar, dan mengerjakan orderan seragam dari Singapura dan negara lainnya. Namun, sepinya orderan membuat pemilik perusahaan memindahkan lokasi workshop ke gedung saat ini yang diketahui merupakan milik Irianto.
Setahun menempati gedung tersebut, Peter selaku pemilik perusahaan berencana menutup perusahaan tersebut. Namun, keputusan itu dilarang oleh Irianto yang kemudian membeli sebagian besar saham PT PGP. Meskipun sebagai pemilik saham terbesar, Irianto tidak pernah mengurusi pekerjaan, tetapi ditangani langsung oleh Peter. “Kami tidak pernah berurusan dengan Pak Irianto. Semua sama Pak Peter. Gaji juga Pak Peter yang bayar. Pak Irianto itu ke sini sekali-kali saja. Paling ngecek atau nanya ada surat yang datang apa enggak. Terakhir kali dia [Irianto] datang sekitar bulan April, itupun cuma nanya surat, langsung pergi lagi,” kata Agni.
Kepada HMStimes.com Agni juga menjelaskan bahwa PT FIB merupakan milik Irianto dan berlokasi tepat di sebelah PT PGP. Perusahaan ini diketahui bergerak dalam pembuatan seragam sekolah. Di gedung tersebut masih terdapat baju-baju sekolah sisa produksi yang tersimpan. Namun, aktivitas di gedung tersebut sudah lama tidak berjalan.
Kini penyidikan terus berlangsung dan para tersangka telah ditahan. Saksi-saksi diperiksa untuk mengetahui proses importasi barang dari luar negeri ke Indonesia. Tak hanya saksi dari internal Bea dan Cukai, sejumlah saksi dari instansi lain dan swasta juga dimintai keterangan. Susila Brata selaku Kepala KPU Bea dan Cukai Batam terakhir kali diperiksa pada 17 Juli 2020 lalu. Penyidik juga memeriksa Mohammad Saptari, Kepala Balai Laboratorium Bea dan Cukai Kelas I Jakarta.