Tiga pekan sebelum Rangga Aqshaal Mustaqhiim tewas dibunuh oleh pemerkosa ibunya, anak itu masih sempat merayakan ulang tahunnya yang kesembilan pada 19 September 2020 bersama dengan ayah kandungnya, Fadly Fajar, kakek, nenek, dan adiknya, Rizky, di Kota Medan, Sumatra Utara. Fadly mengabadikan momen bahagia itu ketika Rangga dan adiknya, Rizky, hendak meniup lilin kue ulang tahun.
“Kami merayakannya di rumah ini. Hanya kami yang merayakannya. Makan kue seadanya, tiup lilin. Waktu itu Rangga sangat senang,” kata Fadly (30) yang ditemui HMStimes.com di rumah orang tuanya yang sederhana, Selasa, 27 Oktober 2020.
Seminggu setelah ulang tahun anaknya itu, ibu kandung Rangga, Dina Nanda Pristiwi (28), datang dan membawa anak sulungnya itu pergi bersamanya. Fadly tidak di rumah pada saat itu, tetapi sebelumnya, Dina sudah pernah menelepon Fadly dan mengatakan ingin membawa anak kandungnya itu bersamanya. Akan tetapi, belum ada kata setuju dari Fadly saat itu, karena jika Dina ingin membawa anaknya, setidaknya Fadly harus tahu alamat tempat tinggal mereka sehingga dia bisa datang menemui Rangga kapan saja.
Fadly juga sempat meminta Dina agar datang dan bertemu dulu untuk membicarakan baik-baik maksudnya membawa Rangga. Namun, Dina sepertinya tidak mau bertemu dengannya. “Dia tidak mau bertemu, mungkin karena waktu itu saya dengar dia sudah menikah lagi,” katanya. Fadly juga tidak berkeras melarang Dini membawa Rangga. “Dia masih berhak membawa anaknya walaupun kami sudah bercerai,” katanya.
Fadly dan Dina menikah sembilan tahun lalu. Setelah tujuh tahun menikah dan memiliki dua anak, hubungan Fadly dan Dina tidak berjalan baik. Di tengah perjalanan, mereka melewati masalah yang sulit mereka hadapi bersama, sehingga istrinya menceraikannya. Kehidupan ekonomi keluarga mereka tidak begitu baik. Dua tahun lalu, sebelum bercerai, mereka tinggal di Tiga Panah, Kabupaten Karo. Fadly bekerja sebagai aron, pekerja di ladang orang, dengan upah pas-pasan. Dia juga mengaku sempat menjadi pemakai narkoba dan akhirnya pulih.
Setelah istrinya meninggalkannya, Fadly membawa kedua anaknya ke rumah orang tuanya di Medan. Dia menyekolahkan Rangga di sekolah yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. Sehari-hari dia dirawat nenek dan kakeknya. Fadly kemudian mendapat pekerjaan sebagai konselor untuk pecandu narkoba karena berhasil lepas dari jeratan benda terlarang itu.
Fadly mengaku sudah jarang berkomunikasi dengan Dina. Bahkan, dia juga terkejut ketika mengetahui Dina telah menikah lagi, tetapi tidak tahu persis di mana mereka tinggal. Dia baru mengetahui mantan istrinya itu tinggal di desa terpencil di pedalaman Aceh Timur setelah kejadian tragis yang terjadi kepadanya dan anaknya Rangga.
Tragedi itu terjadi pada 10 Oktober 2020 sekitar pukul 02.00 dini hari di Desa Birem Bayeun, Aceh Timur, Aceh, di rumah tempat Dina dan suami keduanya tinggal bersama dengan Rangga, anaknya yang dibawanya dari Medan. Pada malam nahas itu, Dina dan Rangga sedang tertidur pulas, sedangkan suaminya belum pulang. Seorang laki-laki masuk diam-diam ke rumah yang berlokasi di tengah-tengah lahan kebun itu dengan cara mencongkel pintu dengan parang. Saat tertidur, baju Dina ditarik pria yang tidak dikenalnya itu. Dia terbangun dan terkejut.
Sempat terjadi tarik-menarik dan suara ribut sehingga Rangga bangun. Dina sempat berteriak menyuruh Rangga lari, tetapi dia tidak mau meninggalkan ibunya. Rangga sempat bergumul dengan pelaku. Karena dihalangi, pelaku langsung menebas parang dan mengenai bagian leher bocah itu. Tebasan kedua dan ketiga mengenai pergelangan tangan kiri dan kanannya hingga nyaris putus. Saat kena bacokan, Rangga sempat menjerit kesakitan, “Mak, Rangga sakit…” Namun, pelaku tidak peduli.
“Rangga dibacok 10 kali. Di leher enam bacokan, di tangan dua bacokan, dua tusukan di dada, satu bacokan di perut, dan satu kali di bagian punggung,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Langsa, Inspektur Satu Arief Sokmo Wibowo, yang dihubungi HMStimes.com pada 28 Oktober 2020.
Kemudian pelaku menyeret Dina, ibu Rangga, ke luar rumah. Dina sempat melawan, tetapi pelaku mengantukkan kepalanya ke rabat beton di tepi jalan hingga korban setengah sadar. Sebelumnya, korban juga dipukul dengan gagang parang. Pelaku kemudian membawa korban ke semak-semak, sekitar 700 meter dari rumah itu. Di sanalah pelaku memerkosa Dina. “Di situ ditemukan pakaian dalam korban, baju korban, dan karung goni,” kata Arief.
Setelah memerkosa empat kali, pelaku mengambil beberapa ekor bebek dari rumah Dina dan membawanya ke rumahnya dengan menyeberang sungai. Pada saat itulah Dina melarikan diri.
Dina berlari tertatih-tatih dengan mengenakan pakaian seadanya selama lebih dari 1,5 jam. Menjelang subuh dia ditemukan oleh warga. Bersama warga, Dina sempat ke rumahnya untuk melihat keadaan Rangga, tetapi anaknya itu tidak ditemukan di sana.
Siang hari, 10 Oktober 2020, seorang teman Fadly menunjukkan foto Rangga yang diunggah pengguna media sosial. “Ini anakmu, kan?” kata temannya itu seraya menunjukkan tautan berita tentang seorang anak yang tewas dibunuh saat berupaya menghalangi seorang pria yang ingin memerkosa ibunya.
Fadly tidak yakin itu terjadi kepada Rangga. Dia pulang ke rumah dan memberitahukan berita itu kepada orang tuanya. Dia menghubungi mertuanya yang tinggal di Pinang Baris, Medan, untuk menanyakan kebenaran kabar itu. “Mereka juga bilang tidak tahu dan baru tahu dari saya,” katanya. Dia pun mencari informasi melalui surat kabar, mencari tahu di media sosial dan media-media online. “Aku masih tidak percaya waktu itu, dan kuanggap hoaks, makanya aku cari lagi beritanya,” kata Fadly. Dia mulai percaya setelah kejadian itu viral di media sosial dan sejumlah media memberitakannya.
Berdasarkan informasi dari media, dia menghubungi kerabat keluarga di Langsa dan pihak kepolisian. Besoknya, 11 Oktober 2020, bersama ayahnya, Fadly pergi ke Langsa. “Sekitar pukul 15.30 dapat kabar jenazah Rangga sudah ditemukan mengapung di sungai,” kata Fadly.
Menjelang magrib, jenazah Rangga dimakamkan dan diantarkan dua ratusan warga. “Seperti memakamkan seorang pahlawan, diantarkan warga desa. Polisi dan tentara juga ikut,” kata Fadly. Di balik rasa pedih yang dialaminya, Fadly tetap merasakan bangga menjadi ayah Rangga. “Bangga dengan Rangga yang menjaga kehormatan ibunya. Bukan hanya saya, Rangga dianggap pahlawan di Aceh sehingga masyarakat, termasuk kepala desa, minta supaya Rangga dimakamkan di sana,” katanya.
Dua hari setelah kejadian itu, pelaku pemerkosaan Dina dan pembunuhan Rangga, yaitu Samsul Bahri (41), ditangkap petugas Polres Langsa. Kakinya ditembak karena sempat melawan saat petugas menangkapnya. Dia mendekam di sel tahanan Polrestabes Langsa selama lima hari, dan pada 18 Oktober 2020 malam, dia mati. Berdasarkan hasil rekaman medis, dia mati karena sesak napas dan mengalami dehidrasi. Detak jantungnya tidak normal.
Menurut Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Langsa, Inspektur Satu Arief Sokmo Wibowo, bukan sekali itu saja Samsul Bahri melakukan kejahatan. Sebelumnya dia pernah ditahan di lapas Dumai setelah divonis dalam kasus narkoba. Saat ditahan di lapas Dumai, dia membunuh satu petugas lapas. “Kasus itulah yang memberatkannya dan divonis 20 tahun penjara atau seumur hidup. Setelah menjalani hukuman 14 tahun di Dumai, pelaku dipindahkan ke Lapas Tanjung Gusta, Medan,” ujar Arief. Selama dua tahun dia mendekam di sana, kemudian dibebaskan melalui asimilasi Covid-19 pada Mei 2020.
Rangga adalah anak yang pintar. Meski sudah tiga kali pindah sekolah, semangatnya untuk sekolah tidak pernah surut. “Selalu dapat ranking. Walau tidak selalu juara satu, tapi selalu masuk tiga besar,” kata ayahnya, Fadly. Pada usianya yang masih sembilan tahun, Rangga sudah lancar membaca Al-Qur.’an.
Menurut Fadly, dibandingkan dengan dia, Rangga memang lebih dekat dengan ibunya. “Dia [Rangga] selalu bela ibunya. Makanya ketika dia dibawa ibunya, sebenarnya aku tidak keberatan. Tapi setelah dia dibawa ibunya, aku tidak pernah diberi tahu di mana tempat tinggalnya. Aku baru tahu setelah kejadian ini. Agak kecewa, kenapa mereka tinggal di tempat yang terpencil sekali, jauh dari keramaian, di kebun-kebun. Kalau kupikir-pikir, lebih baik Rangga tinggal di sini. Walaupun sederhana, di sini dia lebih aman. Ada neneknya juga yang menjaganya, dan lingkungan di sini ramai,” katanya. “Andai saja tidak kubiarkan Rangga dibawa ibunya.”
Sekarang Fadly sudah meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Belum bisa aku fokus kerja, bahkan kemarin aku jatuh dari kereta [sepeda motor]. Memang aku sudah ikhlas, tapi pikiranku masih sering ke Rangga,” katanya.
Rasa sedih semakin dalam ketika dia melihat Rizky, adik Rangga, yang belum banyak tahu mengenai kepergian abangnya. Dia belum bisa memahami apa yang terjadi meskipun dia sudah tahu abangnya dibunuh. “Dia sudah tahu dari teman-teman di sekolahnya. Sebelumnya kami tidak beri tahu. Kemarin pas pulang sekolah dia mengadu, ‘Ayah, Abang Rangga sudah meninggal, ya, karena dibunuh,'” ujar Fadly menirukan ucapan Rizky.
“Suatu saat nanti, ketika dia sudah besar, aku akan bawa dia ke makam Rangga, menunjukkan inilah abangnya, pahlawan yang meninggal karena menjaga kehormatan ibunya,” kata Fadly.