Empat orang guru honorer SD menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh Yayasan Theresia di MKGR, Blok Kekeluargaan, Nomor 26 Kibing, Kecamatan Batu Aji, Batam. PHK terjadi setelah hubungan antara komite sekolah dan pihak pemilik sekolah kurang harmonis sejak tahun 2018.
Kepada HMSTimes.com, Pinondang Situmorang, Ketua Komite SD Theresia, 9 Juli 2020, mengatakan pemberhentian beberapa guru honorer dan kepala sekolah sangat memilukan hati keempat guru honorer, orang tua murid, dan komite sekolah. PHK sepihak itu menyita perhatian para orang tua murid. Hal itu terlihat dari dukungan orang tua murid setelah polemik itu semakin mencuat di internal sekolah. Orang tua murid menggelar pertemuan di saung, Martabe, di Jalan Suprapto, Batu Aji, untuk mencari solusi di tengah persoalan yang membelit guru honorer, komite sekolah, dan pemilik Yayasan Theresia. Pinondang mengatakan, kerancuan di sekolah itu mulai muncul dari awal pembentukan komite sekolah.
“Dari pihak sekolah ada rencana pembentukan komite sekolah sekitar bulan delapan tahun 2018 lalu. Terpilihlah saya. Pak Pakpahan sebagai sekretaris dan Pak Situmeang sebagai bendahara,” kata Pinondang. Namun, surat keputusan (SK) komite sekolah baru terlaksana per 1 Oktober 2018. Melalui surat, ia bersama kedua pengurus komite lainnya diundang datang ke sekolah. Kala itu Leonora baru menjabat sebagai Kepala SD Theresia. Sebelumnya, kepala sekolah dijabat oleh Antonia Purba.
Sebagai pengurus komite yang baru, dengan antusiasnya ketiga komite sekolah ini pun mendatangi sekolah sesuai dengan undangan pihak sekolah. Namun, mereka kecewa. Pasalnya, SK yang dalam pemikiran mereka akan diserahkan langsung oleh kepala sekolah, justru dititip melalui Juniarti Pardede, yang saat itu sebagai wakil kepala sekolah.
Menyadari bahwa komite sekolah adalah bagian dari kebijakan sekolah, Pinondang bersama kedua rekannya merasa kesulitan untuk merencanakan program sekolah sesuai fungsi dan tugasnya sebagai komite sekolah. Setiap kali komite sekolah mengajak kepala sekolah untuk berdiskusi, Leonora selalu berdalih.
Leonora memegang tiga jabatan sekaligus, yakni sebagai ketua Yayasan Theresia, sebagai Kepala Sekolah Theresia dan sebagai PNS di salah satu SD Negeri di Batam Kota. “Ia sendiri yang menandatangani SK komite, karena ia sebagai kepala sekolah,” kata Pinondang.
Karena tidak adanya pertemuan antara kepala sekolah dengan komite sekolah sejak pembentukan komite sekolah, dari bulan Agustus 2018 hingga bulan Desember 2018, Pinondang pun menanyakan status dan fungsi komite sekolah kepada Leonora melalui pesan WhatsApp. Menjadi orang tua murid dan pengurus komite sekolah, Pinondang tidak mengingini pelayanan di sekolah terhambat dengan sikap Leonora yang tak acuh. Selain itu, ia tidak ingin masalah timbul di kemudian hari yang tidak diketahui oleh komite sekolah.
Terkait pemberhentian guru honorer, kata Pinondang, itu terjadi setelah beberapa orang tua murid, komite sekolah, dan guru berdialog dengan Komisi IV di dalam rapat dengar pendapat (RDP) di kantor DPRD Kota Batam. Dalam RDP tersebut beberapa guru honorer menyampaikan keluh kesahnya, dari masalah penggajian guru yang tidak layak, transparansi dana bantuan operasional sekolah (BOS), sampai sikap Leonora terhadap guru.
Ketua Komisi IV, Ides Madri, menyampaikan kepada pihak sekolah dan yayasan, jangan sampai terjadi pemecatan terhadap guru-guru honorer maupun pengelompokan di lingkungan sekolah setelah RDP selesai. Namun, dalam hitungan hari, pihak sekolah malah menyingkirkan para guru yang dinilai tidak sepaham dengan Leonora.
Selesai RDP, Pinondang mengatakan Dinas Pendidikan masih memanggil komite sekolah ke Dinas Pendidikan. “Tak hanya komite sekolah saja, guru dan kepala sekolah pun ikut dipanggil ke Dinas Pendidikan,” katanya. Saat itu, bertepatan penerimaan rapor, tiba-tiba Pinondang menerima telepon dari seorang guru, yang mengadukan bahwa pihak sekolah Theresia baru saja memutus kontrak kerjanya.
Kepada HMSTimes.com, 12 Juli 2020, Dermawan Sinaga mengatakan pada saat RDP, ia meminta perhatian serius dari Komisi IV apabila sewaktu-waktu ia dan rekannya guru dipecat lantaran ia telah berbicara di Komisi IV. Sesudah ia dipecat, pihak sekolah memanggil Dermawan ke sekolah. Pihak sekolah menawarkan amplop sebagai ucapan terima kasih. Namun, ia menolak amplop tersebut. Malam harinya ia menghubungi Leonora melalui WhatsApp. “‘Saya tidak mau disuap. Maaf ya, Bu. Saya memang tidak punya uang, tetapi saya tidak murahan.’ Itu saya WA-kan ke Leonora,” ujarnya.
Sebelumnya, suami Leonora pun menawarkan uang sebanyak Rp1 juta 800 ribu sebagai imbalan terima kasih atas pengabdian Dermawan di sekolah Theresia selama 10 tahun. Dermawan menerima gaji terakhir Rp2.500.000 dari sebelumnya hanya menerima Rp600 ribu pada tahun 2010.
Menurut Dermawan, sebagian guru mulai merasakan ketidaknyamanan bekerja setelah Leonora muncul sebagai kepala sekolah. “Kami nyaman bekerja, tetapi dalam kesejahteraan, kami tidak nyaman,” kata Dermawan. Staf pengajar di SD Theresia tidak mendapatkan haknya, seperti gaji yang tidak sesuai dengan upah selayaknya, tidak mendapatkan tunjangan Hari Natal, tunjangan melahirkan anak, serta tidak ikut sebagai peserta BPJS.
Hal berbeda disampaikan Rispada Situmorang, yang telah mengabdi 16 tahun sebagai kepala sekolah TK Theresia. Yayasan Theresia mengangkat Rispada Situmorang sebagai Kepala SD Theresia pada Maret 2020, karena ia memiliki NUKS atau Nomor Unik Kepala Sekolah, nomor khusus yang dicatat dalam database nasional oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah, sebagai penjamin mutu penyelenggaraan penyiapan calon kepala sekolah.
“Diangkat kepala sekolah tanggal 17 Maret 2020. SK [surat keputusan] pengangkatan dicabut pada tanggal 3 bulan Juni tahun 2020,” kata Rispada Situmorang. Ditanya mengapa SK-nya dicabut, ia mengatakan, “Saya yang mengundurkan diri. Saya tidak tahan diteror.” Ia mengaku, sejak menduduki kursi kepala sekolah, pihak yayasan sering menekannya melalui pesan SMS dan telepon. Ia dituduh melakukan kesalahan bila tidak menuruti kemauan Leonora.
“Saya hanya topeng dibuat di sekolah itu,” kata Rispada. Sebagai kepala sekolah, ia hanya sebagai pajangan saja. Pasalnya, yang mengatur sekolah tersebut adalah Leonora sendiri. Ia menilai peraturan yang ditetapkan dan diterapkan oleh Leonora di sekolah itu tidak sesuai dengan kurikulum Dinas Pendidikan. Kendatipun ia tidak menjabat kepala sekolah SD lagi, ia masih menjabat kepala sekolah TK. Hingga pada tanggal 26 Juni lalu, pascapenerimaan rapor, akhirnya Yayasan Theresia pun memecat dia.
Ia dituduh melakukan pungli oleh pihak yayasan. Ia tidak menampik bahwa ada pungutan di suatu kelas, tetapi uang itu dikelola oleh kelas itu juga. Menurut pengakuannya, ia sama sekali tidak bersinggungan dengan uang pungutan tersebut, sebab guru kelas bersangkutan serta murid di kelas itu juga yang mengelolanya. Tuduhan melakukan pungutan liar tanpa bukti, menurutnya, adalah pencemaran nama baiknya.
Ironis, kata Rispada, sepeser pun ia tidak mendapatkan pesangon. Enam belas tahun bekerja di bawah tekanan, selalu dituduh salah, bahkan dituduh melakukan pungli, hingga pesangonnya pun tidak dibayar oleh pihak yayasan. “Saya sudah permanen di sekolah itu, tetapi sepeser pun tidak ada uang yang dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada saya yang diputus hubungan kerja,” kata Rispada. Gajinya di bawah upah minimum kota (UMK) Batam. Mengabdi selama enam belas tahun, gaji tertinggi yang pernah diterimanya hanya tiga setengah juta rupiah. Sementara gaji terendah guru honorer di sekolah tersebut sebanyak satu setengah juta rupiah. Rispada merangkap dua jabatan, sebagai kepala sekolah TK dan kepala sekolah SD, tetapi upah yang diterimanya tidak ada penambahan.
Ketidakadilan yang ia rasakan selama mengabdi di sekolah itu juga telah ia sampaikan semasih di ruangan Komisi IV DPRD Batam. Dia meringis tatkala apa yang disampaikan Komisi IV di RDP tidak sesuai dengan kenyataan. Ia tidak menampik bahwa di RDP, Komisi IV telah mengingatkan pihak yayasan untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja selama dua tahun ke depan, usai para guru menyampaikan keluh kesahnya terkait sekolah Theresia. Nyatanya, kata Rispada, guru-guru dipecat.
Yentina Manalu, guru honorer yang sudah lima tahun mengabdi di sekolah tersebut, harus di-PHK juga, karena tersandung masalah ampra gaji [berupa slip gaji sederhana namun resmi]. Ia berulang kali menandatangani lembaran yang menuliskan nominal uang. Di dalam dokumen ampra yang berjumlah tiga lembar, Yentina menandatangani per lembarnya dengan nominal uang berbeda. “Ada tiga lembar. Satu lembar, satu setengah juta. Lembar kedua, satu setengah juta, dan lembar ketiga satu juta,” kata Yentina Manalu.
Saban waktu ia menandatangani nominal uang di lembaran kertas ampra, tetapi ia tidak pernah menerima uang dari lembaran yang pernah ia tanda tangani. Ia penasaran. Lantas, ia bertanya kepada bendahara BOS, Rosa. “Tanda tangan apa sih ini, Bu? Kok minta tanda tangan terus, tapi uangnya tak ada terima?” kata Yentina menirukan perkataannya yang pernah ia sampaikan kepada Rosa.
Besoknya, setelah Yentina bertanya soal surat ampra, Leonora langsung memarahi Yentina. “Kalau tidak bisa bekerja sama di sekolah ini, kalau tidak bisa menjaga mulut di sini, keluar,” katanya menirukan ucapan Leonora. Sejak saat itu, kesalahannnya selalu dicari-cari dan dibesar-besarkan.
Tanggal 21 Mei 2020, Yentina menerima kenyataan pahit dari kepala sekolah. Oleh Leonora, ia tidak dipakai lagi di sekolah tersebut dengan alasan yang tidak masuk akal. Sadar dirinya sudah dikeluarkan dari sekolah, Yentina meminta surat keterangan pernah bekerja [pengalaman] dari Leonora. Namun, kepala sekolah tersebut malah mengancam dan meminta Yentina untuk memperbaiki nama baik sekolah dan nama baik Leonora terlebih dahulu kepada komite sekolah.
Konsekuensinya, jika Yentina tidak melakukan itu, Leonora mengancam akan membuang surat pengalaman kerjanya, sekaligus mengumumkan kejelekan Yentina, dengan maksud agar ia tidak diterima bekerja di mana pun. Selain tidak mendapat pesangon atas pemecatannya, Yentina juga tidak diikutsertakan dalam program BPJS, serta upah yang ia terima selama kurun waktu lima tahun bekerja di SD Theresia hanya dua juta tujuh ratus ribu rupiah.
Layaknya Rispada Situmorang, perlakuan yang sama juga dirasakan Juniarti Pardede. Diperlakukan sebagai topeng, kata Juniarti, sebagai kepala sekolah ia tidak mengetahui siapa dan ke mana peruntukan anggaran dana BOS. Ia menduduki kursi kepala sekolah hanya hitungan 9 bulan, lalu dipecat. Semasih menjadi kepala sekolah, ia hanya mendengar dana BOS, tetapi siapa pengelola dana BOS tersebut, ia mengaku tidak mengetahuinya sama sekali. “Di sekolah itu pergantian kepala sekolah berdasarkan suka-suka. Bisa 3-4 kali pergantian kepala sekolah setahun,” kata Dermawan Sinaga.
Di depan para guru honorer itu HMSTimes.com menghubungi Leonora untuk wawancara setelah mendengar keluhan para guru honorer. Namun, begitu HMSTimes memperkenalkan diri, Leonora langsung mematikan telepon selulernya, 26 Juni 2020. Demikian juga dengan suaminya, ketika dihubungi melalui telepon, dia tidak mau mengangkat telepon.
“Sudah pergi tadi keluar,” kata seorang pekerja bangunan yang sedang bertukang persis di seberang pagar sekolah Theresia tatkala HMSTimes.com menyambangi sekolah tersebut pada 9 Juli 2020.
Kemudian pada 13 Juli 2020 HMSTimes kembali menghubungi Leonora lewat telepon untuk melakukan konfirmasi. “Siapa ini?” katanya. Namun, teleponnya langsung dimatikan setelah wartawan media ini memperkenalkan diri.
Sehari sesudah itu, sempat terjadi komunikasi 15 detik dengan Leonora, yaitu pada Selasa, 14 Juli 2020. “Ya, Ibu, dari mana, Bu?” katanya.
“Saya dari media, Ibu,” kata HMSTimes.com.
“Media apa, untuk apa?” tanyanya.
Namun, begitu HMSTimes mengatakan mau konfirmasi, Leonora langsung menutup telepon.
Tentang guru honorer yang telah dipecat, anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, Bobby Alexander, mengatakan yayasan adalah otonomi yang punya hak sepenuhnya untuk mengelola sekolah. Terkait mekanismenya, katanya, Dinas Pendidikan yang memiliki wewenang meskipun Komisi IV telah memediasi persoalan yang berkembang di sekolah Yayasan Theresia. “Ternyata memang dipecat. Namun itu hak sepenuhnya yayasan,” kata Bobby Alexander kepada HMSTimes.com.
Perihal penggunaan dana BOS, Bobby mengatakan masalah itu sudah beres, bebas dari sangkaan menurut keterangan Dinas Pendidikan.
Saat ini para orang tua murid telah melaporkan Yayasan Theresia ke Polda Kepulauan Riau terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana BOS. “Beberapa saksi selama beberapa hari berturut-turut sudah diperiksa,” kata Situmeang, pengurus komite sekolah.