Akar Bhumi Indonesia, sebuah komunitas pencinta lingkungan hidup yang intens dalam menjaga kelestarian alam dengan konservasi hutan di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, dibentuk oleh beberapa orang seniman Batam. Mereka prihatin akan kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air dan paru-paru lingkungan, yang juga mengakibatkan krisis air bersih di Kota Batam.
Henrik Hermawan, salah satu pendiri Akar Bhumi Indonesia, bercerita bahwa komunitas tersebut dibentuk tahun 2015 tanpa bantuan dari pihak mana pun, termasuk instansi pemerintah. “Konsep kami kesenangan, bukan mencari uang. Sampai saat ini kami tidak pernah minta sponsor. Kebetulan saya dan teman-teman bekerja semua. Saya sendiri punya usaha, saya biasa sewa billboard, sehingga saya punya cukup rezeki untuk berbagi. Di sini ada teman-teman yang punya kemampuan, punya uang, tenaga. Semuanya berbagi. Kami semua swadaya untuk melakukan konservasi,” kata Henrik kepada HMS di selter pembibitan Akar Bhumi Indonesia di pelabuhan Pancur, Kecamatan Sungai Beduk, Kota Batam, 31 Oktober 2020.
Henrik mengajak HMS berkeliling selter untuk melihat dari dekat proses pembibitan mangrove, mulai dari biji hingga proses tanam. Pria berambut gondrong, khas seniman, itu mengaku sudah banyak dana yang mereka keluarkan untuk kegiatan-kegiatan konservasi. “Selama 8 tahun ini saya sudah keluarkan ratusan juta, belum lagi waktu yang terbuang. Kami tidak mengharapkan uang untuk balik modal. Kami orang usaha, punya prinsip memberikan sebagian persen dari pendapatan kami,” katanya.
Dia menjelaskan, pada April 2020, Akar Bhumi Indonesia mulai membuat selter pembibitan di lahan yang telah diizinkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan memberdayakan warga sekitar kaveling pelabuhan Pancur untuk ikut serta melestarikan hutan mangrove Pancur yang sudah mulai rusak. Mereka pun melakukan konservasi di lahan 50 hektare. Selain di hutan mangrove Pancur, komunitas ini juga melakukan konservasi di lokasi Buana Raja dan Kampung Jawa, Kecamatan Sungai Beduk.
“Sebelumnya ada 30-an kepala keluarga yang ikut berpartisipasi sejak awal, dan saat ini tinggal 6 KK. Secara ekonomi mereka terbantu. Dengan meluangkan 4-5 jam per hari, mereka berpenghasilan Rp100 ribu sampai Rp120 ribu, dan mereka dibayar dari komunitas kita,” ujar Henrik.
Bagi Henrik, kegiatan barunya itu dia nikmati sebagai pengabdian hidupnya untuk alam. “Ini agama baru saya, hidup baru saya, yang tidak bisa saya gambarkan dalam bentuk apa pun. Ibarat orang buta disuruh melukiskan apa yang ia rasakan, jelas tidak bisa. Begitu juga yang saya rasakan saat ini,” katanya.
Soni, salah satu rekan Henrik, mengatakan kepada HMS bahwa karena keprihatinannya atas kerusakan hutan mangrove di Batam, khususnya di Kecamatan Sungai Beduk, dia rela meninggalkan tempat kerjanya. “Saya mengundurkan diri di tempat kerja saya di galangan kapal PT Singatech di Kabupaten Bintan,” katanya.
Pada awalnya, kata dia, warga sekitar sempat menganggap apa yang dia kerjakan bersama dengan rekan-rekannya merupakan hal gila. “Alhamdulillah, sekarang warga sudah mulai sadar, bahkan mereka berpartisipasi untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove Pancur,” ucap Soni.
Di akhir wawancara Soni dan Hendrik berharap adanya jaminan dari pemerintah untuk memastikan pohon yang mereka tanam tidak akan ditebang atau dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.