Akses menginap bagi pasangan di bawah umur di hotel-hotel melati di Kota Batam, Kepulauan Riau, ternyata masih sebegitu bebasnya dijangkau oleh muda mudi. Hampir setiap malam ada saja orang yang belum dewasa tidur dengan pasangannya di sana. Pihak hotel membiarkan itu terjadi, dan malah sengaja memasang tarif kamar murah.
Dari liputan penelusuran HMS yang terbit 29 September 2020, ternyata sejumlah hotel melati di Kecamatan Lubuk Baja, Batam, dengan bebasnya memperbolehkan anak di bawah umur menginap tanpa pengawasan orang tua.
Lurah Lubuk Baja Kota, Iskandar, mengaku baru tahu bahwa praktik seperti ini terjadi di daerahnya. Dia mengecam hotel yang memperbolehkan anak di bawah umur menginap. Oleh karena itu, dia berjanji dalam waktu dekat akan turun meninjau seluruh hotel yang berada di kelurahannya. “Seharusnya mereka menolak dan tidak menerima [anak di bawah umur]. Ini akan menjadi data awal untuk turun, dan kami juga mau tahu seperti apa aturan mereka,” kata Iskandar, yang diwawancarai HMS melalui telepon.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam, Muhammad Mansyur, mengatakan bahwa secara regulasi, apa yang dilakukan oleh penginapan-penginapan kelas melati tersebut sudah jelas menyalahi aturan. Menurut aturan, katanya, membawa anak di bawah umur untuk menginap di hotel harus lebih dahulu ada izin dari orang tuanya. Peraturan ini berlaku untuk semua jenis penginapan, baik hotel melati maupun hotel berbintang. “Tidak boleh. Aturan dari pemerintah sendiri secara gamblang sudah dijelaskan bahwasanya anak di bawah umur harus didampingi orang tua,” kata Mansyur kepada HMS, 29 September 2020.
Dia menerangkan, suatu kamar hotel baru sah dapat ditempati setelah identitas para penyewanya teregistrasi. Adapun jaminan pengenal yang diwajibkan yaitu berupa SIM, KTP, dan paspor. Apabila ada tamu yang menjaminkan STNK, seperti kasus pemuda berumur 20 tahun yang ditangkap polisi karena menyetubuhi calon pacarnya yang masih berusia 17 tahun di Hotel Wisata, Batam, itu sama sekali tidak dibenarkan.
Ketika ditanyakan apabila dalam satu kamar ada tiga orang yang menginap, misalnya, apakah identitas setiap tamu wajib diperlihatkan, dia menjawab, “Secara umum yang teregister itu pasti satu orang. Kalau tiga orang yang datang, nanti penerima tamu tulis dua orang di buku tamu, dan cukup satu saja yang diperlihatkan identitasnya.”
Lolosnya tamu di bawah umur masuk kamar hotel, katanya, antara lain akibat peraturan yang mewajibkan menunjukkan hanya satu identitas. “Misal ada yang check-in bawa perempuan. Dia bilangnya adik atau keponakan. Kan, tidak mungkin semua data-data kita minta disediakan. Nanti kalau ditanyakan sedemikian rupa, pelanggan bakalan tersinggung. Kasus seperti ini sering terjadi,” kata Mansyur.
Perkara ini sebetulnya bisa dihindari apabila Dinas Pariwisata dan Kebudayaan lebih aktif melakukan pembinaan dan pengawasan, khususnya terhadap hotel-hotel kelas melati yang jadi favorit muda mudi. “Saya harap semua hotel kelas melati bisa patuh. Semua tamu yang ada di hotel itu harus benar-benar teregister. Saya melihat permasalahan ini seobjektif mungkin, tidak hanya dari satu sisi saja. Pihak hotel juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena dari satu sisi, orang tua juga punya andil di sini dalam menjaga anak-anak,” katanya.
Hasil liputan HMS yang mendapati banyak hotel melati di Batam memperbolehkan anak di bawah umur menginap tanpa pendampingan orang tua juga ditanggapi oleh dua anggota Komisi I DPRD Kota Batam, Utusan Sarumaha dan Safari Ramadhan. “Hotel yang mana, biar kami sidak,” kata Safari melalui pesan instan kepada HMStimes.com.
Sedangkan Utusan mengatakan, “Mereka [pengelola hotel] tidak bisa menghalalkan segala cara supaya kamarnya laku. Ini sudah tidak benar namanya. Ke depan bila memungkinkan kita akan melakukan sidak supaya hotel-hotel itu tidak lagi membuka ruang untuk anak-anak di bawah umur datang menginap bersama orang yang bukan keluarga.” Apabila nanti dalam inspeksi mendadak itu benar didapati ada penginapan yang melanggar hukum, DPRD Batam akan meminta instansi terkait untuk memberikan sanksi tegas, atau bila perlu mencabut izin operasionalnya.
Utusan Sarumaha berharap agar berdasarkan temuan HMS ini, manajemen hotel melati dapat memberlakukan standar yang lebih ketat. Anak di bawah umur, katanya, hanya boleh diterima menginap apabila mereka memiliki bukti konkret, seperti dokumen atau pendukung lainnya, bahwa tamu di bawah umur itu benar-benar datang bersama dengan keluarganya sendiri. “Pasti kita akan cek, dan mengeluarkan imbauan kepada perhotelan mengenai ini. Nanti kita juga akan mendorong pemerintah kota menerbitkan perwako larangan kepada perhotelan menerima anak di bawah umur tanpa pendampingan keluarga. Boleh saja menginap, namun dilengkapi dengan syarat,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Kepulauan Riau, Erry Syahrial. Dia meminta perhatian para pengusaha hotel agar menjalankan bisnis perhotelan yang ramah terhadap anak. Salah satunya dengan membatasi, mengurangi, atau bila perlu melarang si anak masuk ke dalam hotel tanpa pendampingan orang tua. Apabila tidak memungkinkan dilarang, katanya, perlu persyaratan khusus yang lebih ketat. Hal ini bertujuan untuk menghindari kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan anak, seperti pencabulan, eksploitasi seksual, atau penggunaan kamar hotel oleh remaja untuk dijadikan tempat memakai narkoba.
“Kami ini sebenarnya sudah punya komitmen, baik dengan Dinas Pariwisata, PHRI, maupun stakeholder terkait. Kami sudah sepakat atas wisata ramah anak di Batam. Melihat kasus ini, saya minta pengusaha harus ikut andil. Jangan hanya memikirkan untung, memikirkan hotelnya penuh, jangan seperti itu. Tetapi mereka juga harus bertanggung jawab melindungi anak-anak dari segala bentuk tindak pidana,” kata Erry kepada HMS.
Dia mengatakan, dalam setiap perkara hukum, posisi anak sebenarnya adalah sebagai korban. Oleh karena itu, dia juga meminta instansi pemberi izin hotel dan Dinas Pariwisata untuk tidak menganggap remeh apa yang terjadi kepada anak ketika dibebaskan menginap di hotel melati. Kepedulian pemerintah dituntut dalam kasus-kasus seperti ini. “Padahal sudah kami sampaikan kepada pemerintah, mungkin memang belum tersosialisasi dengan baik. Kita minta hotel-hotel itu ditertibkan, diawasi, termasuk juga dibuat aturan-aturan khusus yang membatasi anak-anak,” katanya.
Dia mengatakan KPAID baru saja menangani kasus pencabulan di hotel melati di Tanjungpinang, Kepri. “Di Batam juga ada beberapa kali dulu. KPAID bekerja sama dengan polisi. Terjadi di berbagai tempat, baik itu di hotel melati, panti pijat yang berupa ruko. Anak-anak ditempatkan sebagai pekerja seks komersial,” katanya.
Sebagai bukti keseriusan KPAID menangani temuan ini, dalam waktu dekat KPAID Kepri akan berkoordinasi kembali dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Sosial untuk melakukan pengawasan ke hotel-hotel melati dan menerbitkan imbauan-imbauan khusus.