Sudah lima hari pengemudi Gojek di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), mogok kerja. Mereka menggelar aksi damai, dan menunggu kepastian terhadap tuntutan yang disampaikan di kantor DPRD Batam pada Senin, 13 Juli 2020, kemarin.
Waktu menunjukkan pukul 18.00. Mujiono (43) bergegas pulang usai mendengarkan hasil pertemuan antara pengemudi, perwakilan perusahaan Gojek, bersama anggota Komisi I DPRD Batam, dan mengatur rencana untuk aksi damai kembali keesokan harinya. Kurang lebih pukul 19.00, Mujiono pun tiba di rumahnya di Kampung Panglong, Kecamatan Nongsa, Batam. Usai mematikan mesin motornya, ia menyapa burung perkututnya di kandang yang digantung di tiang teras rumah.
“Kalau orang Jawa itu nyebutnya petet. Artinya seorang laki-laki harus mempunyai kesibukan, kalau tidak pelihara hewan seperti burung, ya mengurusi tanaman,” katanya kepada HMSTimes.com.
Sambil meminta anaknya membuatkan teh, dia pun sedikit mengingat kejayaan pada masa awal Gojek masuk ke Batam kali pertama pada 2017 silam. Mujiono berkisah, dulunya dirinya merupakan karyawan di perusahaan oil dan gas sejak 2006. Di tahun itu pula awal kali ia menginjakkan kakinya di Batam. Namun, pada 2017, kondisi perekonomian di Batam sedikit terguncang sehingga banyak perusahaan di Batam tutup. Keadaan itu pun turut berimbas pada nasib dapurnya.
“Waktu pertama kali gabung Gojek, insentifnya itu Rp100 ribu. Jadi, pendapatan saya per bulan kalau dihitung bisa sampai Rp9 juta, makanya saya bertahan di Gojek. Sudah tidak terpikir lagi balik ke proyek,” ucap pria asal Madiun itu.
Mujiono juga mengatakan, dirinya harus pintar-pintar mencari lokasi agar bisa mendapatkan pesanan lancar dan bisa mendapat uang tip yang besar. Untuk itu dia memilih kawasan Nagoya yang suasana malamnya hidup, dan tempat berpusatnya banyak hotel, bar, dan diskotek.
“Dibanding tempat lain, saya rasa lebih lancar di dunia malam [kawasan Nagoya]. Di sana saya pernah dapat tip 10 dolar Singapura. Tapi untuk tip memang tidak terlalu diharapkan, walaupun hampir setiap hari dapat rata-rata dari pesanan Gofood dan Goride,” katanya.
Bahkan, tip yang paling sering dia dapatkan berasal dari transpuan yang kerap menjajakan layanan di seputaran kawasan Jodoh dan Nagoya, mulai Rp5 ribu sampai Rp15 ribu. “Mereka [transpuan] itu baik-baik loh. Mereka yang paling sering ngasih tip,” kata dia.
Dari hasil pendapatan yang cukup besar itu, Mujiono kerap membawa keluarganya untuk makan-makan di luar. Meski demikian, ia mengaku belum bisa membelikan istrinya barang berharga, karena masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
Pada tahun 2018 pihak Gojek kemudian menurunkan insentif menjadi Rp80 ribu. Namun, para pengemudi Gojek kala itu tidak mempersoalkannya lantaran alasan pihak Gojek dianggap masuk akal karena ingin menjaga pelanggan dengan memberikan subsidi. “Pada tahun 2019, insentif menjadi Rp60 ribu rupiah, kami juga tidak ada masalah karena operasional masih cukup. Tapi kok sekarang insentif malah dihilangkan,” ucapnya.
Sekarang ini untuk mendapatkan pendapatan di atas Rp150 ribu sudah sangat sulit. Padahal sebelum masa Covid-19 dan belum ada penghilangan insentif, per harinya Mujiono bisa mengantongi kurang lebih Rp300 ribu. Sedangkan untuk saat ini, rata-rata pendapatan per hari hanya berkisar di angka Rp120 ribu.
“Itu semenjak ada pemerataan dari Gojek, dan semua akun diformat ulang kembali ke awal. Beruntung saya masih dibantu istri jualan kue. Hasilnya bisa untuk membantu kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Dengan sistem yang diterapkan Gojek saat ini, Mujiono mengaku sulit untuk memenuhi poin setiap harinya. Ia memperkirakan, bila dalam sehari tembus 14 poin, maka rata-rata pendapatannya per bulan diperkirakan mencapai Rp3 juta. “Itu kalau tercapai. Kalau tidak tercapai, seharinya hanya dapat Rp50 ribu. Enggak sampailah Rp3 juta per bulan,” ucapnya.
Dalam kondisi itu, sang istri, Ninuk Dwi Sudarwati (43), pun ikut mengeluh. Namun, beruntung anak pertamanya sudah bekerja, dan Mujiono hanya menanggung beban pendidikan anak keduanya yang masih duduk di kelas IV sekolah dasar.
Sabagai orang yang dituakan di kalangan rekan-rekan pengemudi Gojek, Mujiono mengaku tidak bisa tidur. Hal itu lantaran ia harus berpikir bagaimana dirinya bisa mengendalikan rekan-rekannya agar tidak berbuat onar dalam aksi-aksi unjuk rasa mereka.
Dia berharap agar pihak Gojek mau mengembalikan skema insentif seperti semula sehingga para pengemudi ojek bisa semakin rajin mencari rezeki.
“Kalau masih seperti ini, saya tidak punya jalan lain. Saya akan meninggalkan profesi ini, karena untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup,” katanya.