Muhammad Mansyur, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam, Kepulauan Riau, menilai tidak mungkin apartemen Queen Victoria Imperium bisa beralih fungsi menjadi hotel, dan masih beroperasi sampai sekarang, tanpa dilindungi oleh badan hukum. Menurutnya, permasalahan legalitas apartemen yang sudah berdiri selama kira-kira 15 tahun ini harus dibuka secara terang benderang dan dilihat secara objektif.
Hal ini dia katakan karena sepengetahuan dia, di Kota Batam bukan hanya apartemen sekelas Imperium yang menawarkan penginapan harian layaknya hotel. Sekarang siapa pun bisa menginap secara sewa harian di sejumlah apartemen lain tanpa harus membeli, dan itu bisa didapatkan dengan mudah di situs-situs penginapan online.
“Setiap usaha pasti ada badan hukumnya, baik itu apartemen maupun hotel. Sekarang yang menonjol soal unit yang disewakan, kalau badan hukumnya memperbolehkan, bagaimana? Soalnya, tidak mungkin itu izinnya hanya apartemen, pasti ada izin lainnya. Umpamanya [izinnya] hanya apartemen, apakah bisa dilarang tuh mereka jualan [penginapan harian] secara online?” kata Mansyur kepada HMStimes.com saat dihubungi melalui telepon, Senin, 28 September 2020.
Dia berpandangan, permasalahan legalitas tersebut tidak akan terjadi apabila pengawasan dan pembinaan dilakukan secara baik oleh instansi -instansi terkait, termasuk pemantauan terhadap aplikasi-aplikasi online, yang kiwari semakin bebas menawarkan penginapan layaknya hotel tanpa diketahui secara jelas apakah penginapan ataupun situsnya membayar pajak atau tidak. “Sekarang saya tidak hanya bicara soal Imperium. Rumah banyak tidak yang disewakan seperti itu? Banyak banget, Pak. Kembali lagi bagaimana kita melakukan proteksi terhadap pergerakan bisnis itu sendiri. Permasalahannya sekarang, kalau misal itu bebas tidak terproteksi, bagaimana? Ya, sekarang bagaimana kita menyikapinya secara objektif,” katanya.
“Ini dunia sudah berada di tangan kita [ponsel pintar]. Banyak bisnis travel secara online, mereka bayar pajak, tidak? Dulu orang jualan online tanpa bayar pajak. Ketika diterapkan pajak, ‘bernyanyi’ semua. Ini, kan, sama persoalannya. Harus kita sikapi secara objektif,” kata Mansyur.
Ketika ditanya HMS apakah Imperium yang menyewakan kamarnya secara harian layaknya hotel termasuk pelanggaran aturan, dia menjawab, “Asal enggak ada yang tahu, enggak ada masalah. Asal enggak ada kejadian terhadap penyewa, pasti lancar-lancar saja.”
Mansyur juga mengatakan Imperium belum terdaftar sebagai anggota PHRI Batam, dan dia membuka pintu lebar-lebar kepada “hotel coba-coba” itu apabila ingin bergabung dengan PHRI. “Organisasi PHRI sifatnya sukarela. Kita akan sharing-sharing informasi, pembinaan. Banyak hal yang dapat dilakukan ketika bergabung dengan PHRI. Tentu ada korelasinya dengan kegiatan-kegiatan lainnya supaya mereka [Imperium] juga kita bisa bimbing,” katanya.
Dia juga menyarankan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam supaya ke depannya bisa memberikan wewenang lebih luas kepada PHRI sebagai mitra dalam hal pengawasan perhotelan. “Undang-undang itu harus direvisi. Kalau sudah begitu, kita sebagai mitra bisa melakukan pengawasan,” katanya.
Sebelumnya, Iteng, Direktur Utama PT Sinar Geliga Bestari sebagai pengelola Queen Victoria Imperium, mengatakan alasan pihaknya mengalihfungsikan apartemennya menjadi hotel hanya sebatas “hotel coba-coba,” yang hasilnya dipakai untuk menggaji karyawan, membayar listrik, air, dan jasa pengamanan. “Mem-PHK-kan karyawan, berdosa saya. Saya nombok terus maka saya coba bikin hotel,” kata Iteng, seperti yang diterbitkan HMS pada 25 Juli 2020.