Jasdison (52) duduk termangu di sebuah kursi yang ada di dalam kedainya di kompleks Sakura Anpan, Batam, Kepulauan Riau, sementara matahari mulai menyengat walau jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00 pagi. Belakangan ini takada lagi kesibukan yang harus ia lakukan sedari membuka kedai di pagi hari. Jalanan juga masih lengang, dan nyaris takada orang lalu-lalang melewati lapak koran Borobudur Agency berukuran 4 x 5 meter miliknya.
Selama satu tahun ini hanya tinggal dua koran lokal yang masih dijual oleh Jasdison, yaitu harian Batam Pos dan harian Tribun Batam, itu pun jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari tangan. Hal ini sangat kontras dengan kondisi bertahun-tahun silam ketika media cetak, baik koran maupun majalah, masih berjaya, sebelum media sosial “merusak” pasar media cetak.
Jasdison bercerita, dahulu aktivitas di kedainya telah ramai sedari pagi hari. Para pekerja sibuk membongkar muat surat kabar, tabloid, dan majalah setiap hari. Loper datang silih berganti mengambil koran dan majalah untuk kemudian mereka distribusikan lagi kepada pengecer di seluruh Kota Batam.
“Saat itu adalah masa-masa di mana koran dan majalah sedang jaya-jayanya. Kalau sekarang, dari sekian koran dan majalah yang tersisa, hanya ada Batam Pos. Mereka kasih lima eksemplar setiap hari, itu pun kadang tidak habis. Sementara Tribun Batam dikasih dalam dua bulan ini kadang hanya tiga eksemplar saja. Untuk [majalah] Tempo hanya dua eksemplar, itu buat saya pribadi,” kata Jasdison kepada HMStimes.com, 10 Oktober 2020.
Usaha jual beli koran dan majalah dalam jumlah besar yang dia rintis sejak 1982 ini sedang menunggu hari-hari terakhir sebelum tutup total, seiring dengan senja kala media cetak yang kini tidak lagi digandrungi masyarakat. “Di tahun 2013 itu kita sudah mulai down, dan habis-habisnya sekali di tahun 2014,” ucapnya.
Puluhan tahun silam, pada masa awal berjualan media cetak, dia menjajakan koran dan majalah nasional, antara lain harian sore Sinar Harapan, harian pagi Kompas, majalah mingguan Tempo, majalah Detektif & Romantika (D&R), dan majalah Misteri.
“Dahulu itu masuknya dari Singapura, karena saat itu penerbangan Batam-Jakarta masih belum ada. Selepas Hang Nadim dibuka maka semakin bertambah banyak lagi koran, majalah, dan tabloid lainnya yang saya jual dan distribusikan. Ada masuk juga Suara Pembaruan. Ini sebenarnya masih Sinar Harapan, tapi setelah diberedel oleh Orba maka berganti nama,” katanya.
Puncak kejayaan lapak koran Borobudur Agency adalah pada tahun 1990. Saat itu budaya baca masyarakat begitu tinggi. Bahkan, katanya, beberapa perempuan pekerja malam sering datang ke tokonya membeli majalah supranatural Misteri, yang kini sudah berhenti terbit, milik koran harian Medan Pos di Medan, Sumatra Utara, tetapi artikelnya dikerjakan dan dicetak di Jakarta. “Saat itu koran daerah kayak harian pagi Sijori Pos, yang sekarang namanya berganti Batam Pos, cukup laris. Oplahnya lumayan besar, beda dengan sekarang,” kata Jasdison.
Begitu juga majalah Tempo, yang terbit mingguan di Jakarta, laris dijualnya rata-rata 300 eksemplar setiap pekan, bahkan mencapai ribuan eksemplar untuk edisi-edisi tertentu. Majalah Misteri pun dia distribusikan sampai ke negeri tetangga, Singapura dan Malaysia.
“Sekali kirim dulu kadang sampai 400 eksemplar ke negeri tetangga. Itu termasuk Nova, Cek & Ricek, dan tabloid Kisah Nyata yang dikirim ke sana. Banyak loper koran yang datang ambil ke sini untuk mereka jual lagi. Koran seperti Berita Harian, Malaysia, juga ada yang masuk ke sini,” katanya.
Seingat Jasdison, dulu ada sekitar 300-an merek media cetak yang dijual di warungnya, termasuk surat kabar dengan usia terpendek. Nama media itu Prioritas, yang dikirim dari Aceh, dan dimiliki oleh Surya Paloh. “Usianya sebentar saja, pokoknya 29 hari di toko. Setelah itu, tidak ada pengiriman lagi. Saya dapat 75 eksemplar. Saat itu mereka sebentar saja, tak bertahan lama. Entah diberedel atau kenapa,” katanya.
Beberapa koran lokal lainnya dari luar Batam juga laris dia jual pada masa itu, seperti Singgalang, Haluan, Genta, dan Semangat dari Provinsi Sumatra Barat, serta Sinar Indonesia Baru (SIB) dan Analisa dari Medan, Sumatra Utara. Juga ada Pikiran Rakyat dan majalah musik Aktuil dari Bandung. Tabloid Nyata milik Jawa Pos dari Surabaya. Hampir semua majalah dan tabloid produk Gramedia. Ada Jakarta Post, Jakarta Globe, Jakarta Jakarta, majalah sastra Horison, dan banyak lagi.
“Intinya di masa itu dalam satu bulan kadang kita bisa bertransaksi hingga Rp500 juta. Sayangnya itu kini hanya cerita,” katanya.
Salah satu media yang pernah menjadi sumber rezeki besar bagi Jasdison adalah majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Laporan utamanya berjudul “Rekening Gendut Perwira Polisi”. Gambar sampulnya adalah kartun polisi menggiring celengan babi. Isi liputannya tentang beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening bank berisi uang miliaran rupiah.
Saat itu ada dua orang berperawakan tinggi tegap yang datang ke lapak koran Jasdison. Keduanya memborong semua majalah Tempo edisi kontroversial tersebut. “Saya waktu itu ada sekitar 6.000 eksemplar. Tentunya saya paham kenapa ini diborong semua. Sebagai pedagang saya melihat celah juga. Dulu edisi Tempo tentang hutan lindung di Kepri juga ada yang datang memborong. Itu salah seorang pejabat di Kota Batam kala itu,” ucapnya.
Pada Senin, 12 Oktober 2020, HMStimes.com mengunjungi kantor koran harian Batam Pos untuk mengetahui seberapa besar pengaruh media siber dan media sosial terhadap oplah media cetak. Karyawan di sana mengarahkan HMS untuk menghubungi nomor ponsel Herman Mangundap, manajer pemasaran Batam Pos, yang sedang berada di luar kantor.
Menurut Herman, yang diwawancarai lewat telepon, dampak perubahan budaya baca masyarakat terhadap sirkulasi koran Batam Pos tidak ada pengaruhnya secara signifikan. Namun, dia mengakui jumlah pembaca surat kabar sedikit berkurang karena pengaruh media sosial dan budaya baca digital.
“Berkurang satu atau dua orang pasti ada. Tapi pada dasarnya pengaruh signifikan ke oplah kita tidak terlalu, karena pembaca kita rata-rata umur 40 tahun ke atas. Sementara untuk digital ini, kan, lebih kepada generasi sekarang, yang bukan bagian dari decision makers kita,” katanya.
Herman mengatakan justru pandemi Covid-19 yang berpengaruh kuat terhadap bisnis media massa. Hal itu bisa dilihat, antara lain, dari industri perhotelan yang rata-rata menjadi relasi media cetak. Ditutupnya banyak hotel dan berkurangnya kunjungan tamu ke hotel tentu memiliki pengaruh terhadap bisnis koran.
“Untuk dampak atau pengaruh media sosial dan media digital pada dasarnya ke kita belum terlalu. Walau mungkin beberapa majalah nasional sudah tutup, atau media internasional seperti di Amerika terpengaruh, tapi ke kita belum ada [pengaruh],” kata Herman Mangundap.
Ketika HMS bertanya berapa oplah surat kabar Batam Pos saat ini, dia mengatakan hal itu “informasi internal.” Menurutnya, ada penurunan oplah, tetapi tidak berdampak signifikan terhadap perusahaan medianya. (Hendra Mahyudi, calon reporter HMS)