Di sebuah kedai kopi di pusat Kota Batam, Kepulauan Riau, Je Yatmoko (37) begitu antusias mengisahkan kecintaannya akan film. Karena tergila-gila menonton film semasa SMA, ia sampai bolos sekolah untuk pergi ke bioskop. “Tapi waktu itu filmnya jelek-jelek. Jadi, saya berpikir, ‘Kapan, ya, aku bisa bikin film bagus,’” katanya kepada HMS, 13 Oktober 2020.
Karena tidak mendapat restu orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan dalam bidang film, Je akhirnya kuliah jurusan teknik mesin di Yogyakarta. Namun, hal itu tidak melunturkan semangatnya untuk belajar membuat film. Ia pun bergabung dengan Kinema, unit kegiatan mahasiswa bidang perfilman. Selesai kuliah, ia tinggal di Singapura dan aktif menulis artikel film untuk dikirim ke majalah dan surat kabar. Tahun 2014 ia pindah ke Batam, mencari komunitas, dan mulai membuat film pendek.
Sejauh ini ada tujuh film pendek yang sudah dibuat oleh Je Yatmoko, yaitu Wormacting Cemetery (2014), Cemetery (2014), Artefak (2015), The Stork Who Dropped Me (2016), SARA Evil Wishes (2017), Song of The Sunbeams (2018), dan Contrast (2019).
Tahun 2018 Je mulai jenuh dan akhirnya memproduseri film Ramlie Oii Ramlie. Film bernuansa Melayu itu menjadi film layar lebar pertama yang diproduksi Zettamind Studios milik Je Yatmoko. Ia memercayai Fajri Andika sebagai sutradara film itu karena ia merasa kurang mengenal budaya Melayu. “Sutradara itu ibaratnya seperti menimang anak. Kalau itu bukan anak saya, saya tidak bisa,” ujar Je sambil tertawa.
Tahun 2019 film Ramlie Oii Ramlie ditayangkan di bioskop Batam. Film itu sempat di-roadshow ke Tanjung Pinang, Bandung, Bekasi, dan Depok, bahkan ikut Festival Del Cinema De’ Indonesia yang berlokasi di Kota Seravezza, Italia, bersama dengan film Kucumbu Tubuh Indahku garapan Garin Nugroho. Pada Juli 2020 film Ramlie Oii Ramlie juga ditayangkan TVRI.
Saat ini Je sedang mengerjakan film keduanya berjudul Arumi, Night is Blue. Pada film ini ia merangkap penulis, sutradara, sekaligus produser. “Saya bekerja di satu perusahaan swasta. Jadi, saya memikirkan bagaimana membuat film yang tidak ganggu jam kerja saya,” katanya. Maka dari itu, ia mulai menulis konflik percintaan yang kejadiannya hanya satu malam.
Je menceritakan pengalaman menariknya dalam proses produksi film ini. Ia mengaku sempat kesulitan menemukan tokoh Arumi sebagai pemeran utama. Dari sekitar 54 orang yang ikut casting, tidak ada satu pun yang cocok dengan karakter Arumi seperti yang dibayangkannya ketika menulis cerita tersebut. “Pasang muka tembok akhirnya. Cari-cari di Instagram yang wajahnya mendekati, saya DM [direct message], ‘Mau enggak ikut casting?’ Dapat beberapa kandidat,” ujarnya.
Selain tokoh Arumi, tokoh Juna yang juga pemeran utama harus dicari penggantinya seminggu sebelum syuting. Pemeran yang sudah lolos casting memutuskan untuk mundur karena mendapatkan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Je lega, akhirnya menemukan pemeran yang cocok dan mampu mendalami karakter dengan baik. Je juga kagum dengan kepribadian para pemain yang humble dan tidak cengeng walaupun mereka pernah syuting dari pukul tiga sore sampai pukul delapan pagi untuk pengambilan adegan utama. Tidak ada pemeran ataupun kru yang mengeluh. Je pun pernah tidur hanya dua jam selama tiga hari berturut-turut karena syuting sampai subuh, sedangkan paginya harus bekerja. “Untungnya tidak drop, tapi sudah kayak orang gila. Saya disuruh istirahat sama kru. Kata mereka, ‘Daripada sutradaranya benar-benar gila,’” ujarnya.
Setelah melalui deretan pengalaman seru dan sedih dalam memproduksi film ini, Je berharap masyarakat Batam akan menerima karyanya. Menurutnya film ini sangat pantas ditonton meskipun dibuat dengan ongkos pas-pasan.
Masalah pembiayaan ini memang menjadi kendala utama para pembuat film di Batam dalam berkreasi. “Kalau sumber daya manusia, saya rasa sudah cukup mumpuni. Dalam film ini, misalnya, seratus persen kru dan pemeran anak Batam,” katanya.
Je juga mengungkapkan bahwa perfilman di Batam belum kondusif dan belum bisa disebut industri. “Yang namanya industri pasti ada kontinuitas, dan itu akan melibatkan beberapa orang yang bisa mendapatkan penghasilan yang paling tidak berkelanjutan,” ujarnya.
Cita-cita menjadikan perfilman Batam masuk ke dunia industri ternyata sudah pernah dirundingkan Je dengan sesama sineas di Batam. Ia optimistis bahwa dalam lima tahun ke depan industri perfilman di Batam akan maju seperti di Yogyakarta atau Jakarta kalau ada pelaku bisnis perfilman lain yang semangatnya sama.
“Saya pengin gerak, pengin ada eksistensi film di Batam,” kata Je Yatmoko.
Kalau dalam setahun setidaknya ada dua belas film diproduksi di Batam, menurutnya, pasti akan ada kesinambungan produksi yang membuat kru-kru yang terlibat mendapat penghasilan berkelanjutan. Untuk itu, ia berharap para pengusaha di Batam mau berinvestasi dalam bidang perfilman. (Donella Bangun, calon reporter HMS)