Dalam pilkada serentak 9 Desember 2020 yang sebentar lagi terlaksana agar masyarakat tegas menolak dan tidak lagi terkecoh menerima uang, sembako, atau sejenisnya. Uang yang akan diberikan untuk mencoblos salah satu paslon tersebut adalah permulaan kejahatan yang dapat dipidana dan akan merugikan masyarakat ke depannya.
Pemimpin cenderung korup dan merusak nilai-nilai tatanan masyarakat dalam menempatkan fungsi pemimpinnya.
Saya menyebutnya, jika praktik ini terus dilakukan, sama artinya “penipu kena tipu”. Rakyat menipu pasangan calon pilkada. Paslon pun, karena merasa sudah “diperas”, akan menipu dengan cara membeli suara pemilih ditukar dengan uang atau paket lainnya sehingga akan menipu (mencurangi) janji pada rakyat dalam program kerjanya ke depan.
Dengan penerimaan uang, sembako, atau jenis lainnya guna menukar suara, ini merupakan rangkaian perbuatan “perilaku penipu kena tipu”. Nantinya jika terpilih, paslon cenderung mudah lupa dengan pemilihnya karena merasa suara pemilih sudah ditebus dengan sembako atau uang. Jadi, sudah putus kontrak dengan rakyat, yang pada akhirnya sarana kepentingan rakyatlah yang dirugikan.
Maka demi peradaban, meluruskan demokrasi ke depan, saatnya pemilih membangun kesadaran cerdas politik untuk menolak semua pemberian sembako ataupun uang guna memilih paslon pilkada. Pilihlah yang punya integritas, kualitas, dan amanah. Ini yang paling penting dalam menentukan pimpinan daerah dalam ajang pilkada guna pembangunan daerah.
Azmi Syahputra adalah dosen hukum pidana Universitas Bung Karno