Bunyi knalpot berderu-deru memecah malam di jalan raya yang sepi di Kota Batam, Kepulauan Riau. Sekumpulan pemuda berjejer rapi di tepi trotoar sambil duduk di atas motor, sementara beberapa orang lainnya bakal memacu kuda besinya mencapai kecepatan maksimum.
Itulah balap liar, yang sering dinarasikan mengganggu kenyamanan masyarakat. Namun, bagi pelaku balap liar, yang sering menjadi buruan polisi, aksi mereka didasari keinginan menyalurkan hobi yang terpendam.
HMStimes.com mencari tahu alasan para pemuda Batam ini memilih menjadi pembalap liar. Ditemui di dua lokasi berbeda, mereka angkat bicara mengenai hobi yang banyak mengundang sumpah serapah itu.
Menurut Agus (23), seorang pembalap liar, aksinya di atas aspal tidak sekadar menyalurkan hobi. Balap liar adalah panggung berekspresi. Hempasan angin saat kuda besinya mencapai kecepatan maksimum semakin memacu adrenalinnya, apalagi ketika motornya mampu mengalahkan motor lain.
“Ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri kalau kita bisa menang, padahal taruhan juga enggak,” katanya kepada HMS, Minggu dini hari, 11 Oktober 2020. “Kalau sudah populer, mencari pasangan bukan lagi hal yang sulit.”
Balapan liar, bagi Agus, tidak identik dengan aksi ugal-ugalan. Selain membutuhkan nyali yang besar, pembalap liar pun perlu keterampilan berkendara yang memadai. Karena itu, tidak heran kalau sering kali motor balap dengan mesin yang dimodifikasi habis-habisan kalah cepat dari motor termodifikasi biasa saja. “Joki itu nomor satu, motor nomor dua,” katanya.
Berkat keterampilan menunggang kuda besi itu, Agus mengaku belum pernah mengalami kecelakaan sejak suka balapan liar pada usia 18 tahun. Dia juga selalu memeriksa seluruh komponen motornya sebelum beraksi untuk meminimalkan kerusakan mesin saat dipacu.
Menurut Agus, balapan liar masih akan eksis meski berkali-kali dibubarkan polisi, apalagi karena minimnya sirkuit dan perlombaan balap di Batam.
Cerita lain diperoleh HMS dari Ilham (20), yang mulanya hanya menjadi penonton balap liar. Perlahan-lahan keinginannya untuk ikut menjajal aspal mulai terdorong karena di tongkrongannya ia melihat motor-motor yang penuh dengan modifikasi. “Balap liar ini kayak proses mencari identitas gitulah,” ujarnya.
Ilham memulai “karier” di dunia kebut-kebutan bermodalkan motor bermesin Jepang. Walaupun keputusannya ditentang orang tuanya, semangatnya tidak surut. Segala hal yang berkaitan dengan dunia balap dipelajarinya secara autodidaktik, karena sampai saat ini di Kota Batam belum ada sekolah khusus balap. “Selain pengalaman, di bengkel motor juga aku banyak belajar soal balap. Dunia balap liar cenderung welcome sama anak-anak baru,” ucapnya.
Ia mengaku tidak pernah mengalami kecelakaan saat berbalapan, tetapi pernah berurusan dengan polisi lantaran kedapatan nongkrong di salah satu lokasi favorit balap liar di Batam. Ilham berkisah, Sabtu malam itu ia dan beberapa temannya sedang asyik menonton motor yang lagi beradu cepat. Tiba-tiba delapan mobil polisi menyeruduk ke lokasi balapan sehingga Ilham dan empat temannya mati langkah. “Sebelum diangkut ke kantor, satu polisi menyuruh aku mendekat ke knalpot motorku. Terus polisi itu menarik gas pas di samping telingaku. Berdenginglah kepalaku dibuatnya,” kata Ilham.
Pengalaman itu tidak lantas membuatnya jera beraksi di jalanan. Baginya, balap liar adalah sebuah keharusan atas nama hobi, yang sulit ditinggalkan. “Aku balap liar maka aku ada,” katanya, lalu tertawa.
Balapan liar tak cuma soal aksi joki kuda besi. Ia sama halnya dengan pertandingan olahraga yang butuh penonton sebagai penyemarak. Untuk itu, Toriq (19) selalu hadir pada malam-malam berlangsungnya balap liar. Dia senang menyaksikan para pembalap memacu motornya dengan kecepatan tinggi. “Aku tidak berani kalau ikutan balap, jadinya nonton saja. Yang penting senangnya dapat,” katanya.
Berbeda dengan para joki balap liar yang berharap aksinya tidak terlihat polisi, Toriq justru merasa aksi kejar-kejaran dengan polisi sebagai ajang seru-seruan.
Toriq mengatakan kalangan geng motor atau penikmat balap liar di Batam sering menyebut polisi sebagai Tekek, karena kebiasaan polisi menjitak atau menekek kepala pembalap liar yang tertangkap basah. “Biasanya kalau ada Tekek, pasti ada yang teriak, ‘Tekek! Tekek!’ Barulah kami bubar semua,” katanya.
Toriq berkisah, pada satu malam ia dan enam temannya terlibat kejar-kejaran dengan polisi. Sial bagi mereka karena masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan yang akses jalannya terhalangi portal. Mereka terdesak dan dibawa ke Polresta Barelang. “Sebelum diangkut itu aku sempat ditodong pistol pelontar gas air mata. Polisinya bilang, ‘Jangan kabur kau!’ ‘Mau kabur gimana kalau udah kayak gini, Pak,’ kataku dalam hati,” ucapnya.
Menurut dia, penangkapan dan patroli yang dilakukan polisi tidak akan memberikan efek jera. Baik joki maupun penonton balap liar akan terus ada sebelum tersedia wadah dan sirkuit untuk mereka. “Mau dilarang juga, pasti kami-kami ini bakal nyari celah juga. Namanya hobi, kan,” katanya.