Senin, 20 Maret 2023
No Result
View All Result
  • Batam
  • Kepri
  • Nasional
  • Eksklusif
  • Feature
  • Kriminal
  • Politik
  • Sejarah
  • Olahraga
  • Entertainment
ilustrasi wartawan
Gambar ilustrasi wartawan. (Sumber: medium.com/@jenniwgritters)

Jurnalisme yang Baik dan Benar

24 Juli 2020

Prakata, 1.777 kata

hms hms
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsApp

Setelah saya menyambut tawaran jabatan selaku pemimpin redaksi baru HMStimes.com, yang pertama-tama saya pikirkan ialah moto baru HMS sebagai sulih slogan lama “What happened today?” Semboyan berbahasa Inggris itu sudah barang tentu takpadan, pikir saya, karena sepenuh warta berita dalam media siber ini ditulis dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris. Moto yang mengandung makna pertanyaan juga taktepat, karena produk akhir media pers ialah menyajikan jawaban lewat berita kepada khalayak pembaca, bukan malah mengajukan pertanyaan.

Kemudian saya mengingat-ingat aneka slogan media massa yang pernah saya dapati semenjak mengawali karier kewartawanan pada tahun 1994: “amanat hati nurani rakyat,” “terdepan dan tepercaya,” “media antikorupsi,” “tegas dan cerdas,” dsb. Semuanya bagus, bermakna agung lagi gagah berani. Lantas saya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Saya tidak percaya diri menganut semboyan muluk-muluk semacam itu, karena saya takyakin reporter dan redaktur HMS, termasuk diri saya, bakal mampu mengamalkannya. Janganlah sampai jajaran redaksi HMS bermuka dua.

Akhirnya saya memilih kata-kata yang lebih sederhana, lebih membumi: “baik dan benar,” atau, dalam konstruksi lengkap, “jurnalisme yang baik dan benar.” Kedua kata sifat ini, baik dan benar, akan menjadi tumpuan filosofis saya dalam mengendalikan redaksi, dan akan menjadi maujud pula dalam karya tulis gerombolan wartawan HMS yang saya pimpin.

Ada tiga prasyarat yang saya ajukan kepada pemilik perusahaan HMStimes.com, Benhauser Manik, sebelum saya meneken kontrak kerja. Pertama, saya harus punya independensi dan kebebasan mutlak sebagai pemimpin redaksi. Dia takboleh mengintervensi pemberitaan, bahkan tidak boleh memerintah reporter atau redaktur menulis atau jangan menulis suatu hal. Kedua, tugas saya dan staf redaksi hanya memproduksi karya jurnalistik orisinal. Kami takboleh dipaksa menjual iklan atau mencari penghasilan bagi perusahaan HMS. Ketiga, perusahaan harus menggaji reporter dan redaktur nonmagang sedikitnya setara dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah, dan harus menyediakan asuransi kesehatan serta asuransi ketenagakerjaan bagi semua wartawan kontrak. Saya mengatakan kepada Benhauser bahwa tuntutan saya itu selaras dengan yang tercantum dalam kode etik jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam KEJ, contohnya, tertulis bahwa wartawan harus independen “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.”

Berita Lain

Kode Perilaku Wartawan HMS

Ternyata Benhauser dapat memahaminya, dan kami bersetuju. Saya puas dan lega maka satu acungan jempol saya untuk dia, yang akan saya tambah menjadi dua jempol jikalau kelak dia konsisten.

“Mulai hari ini semua urusan keredaksian akan ditangani oleh pemred kita yang baru. Jadi, rekan-rekan agar bekerja sesuai dengan arahan Pemred,” kata Benhauser lewat panggilan ponsel dari Jakarta, yang didengarkan oleh semua wartawan HMS di kantor redaksi di Batam, pada hari perdana saya memimpin rapat proyeksi sekitar dua minggu lalu.

Beberapa menit kemudian “kesewenang-wenangan” saya pun bermula. Saya langsung menyampaikan sejumlah ihwal yang haram dan halal dilakukan wartawan HMS, yang merupakan terapan dari moto “baik dan benar.” Akan tetapi, pada hari itu dan hingga beberapa jam sebelum saya menerbitkan kolom sekapur sirih ini dalam desain baru HMStimes.com, belum ada seorang pun di kantor kami yang tahu bahwa frasa tuntunan baru HMS ialah “jurnalisme yang baik dan benar.” Saya sengaja merahasiakannya agar saya lebih gampang menyaring mana wartawan yang baik dan benar serta mana wartawan yang takbaik dan takbenar.

Dalam rapat itu saya menyuruh wartawan HMS yang merangkap wartawan media lain untuk memilih mengundurkan diri dari HMS atau berhenti menulis untuk media lain, karena staf redaksi media ini tidak boleh menyambi.

Saya melarang wartawan HMS yang sudah ataupun akan meneken kontrak dan mendapat gaji bulanan, baik reporter daerah, reporter kota, redaktur, redaktur pelaksana, maupun diri saya sendiri sebagai pemimpin redaksi, bekerja merangkap pemborong, aktivis LSM, pengurus partai politik, atau tim sukses dalam pemilihan kepala daerah. Independensi media, seperti yang diharuskan dalam Undang-Undang Pers, mustahil terlaksana apabila wartawan sibuk berpolitik atau terlibat mendemo jawatan pemerintah.

Saya pun mewajibkan setiap jurnalis HMS memasang dan membaca aplikasi kitab Kamus Besar Bahasa Indonesia pada ponsel masing-masing. Saya tidak ingin melihat staf saya salah eja dalam penulisan kata, seperti motto, karir, himbauan, mensukseskan, dsb. Saya juga mengajarkan sintaksis selangkah demi selangkah kepada mereka, terlebih-lebih redaktur, supaya nantinya mereka tidak ikut-ikutan menulis judul berita yang salah kaprah kayak “Pencuri Berhasil Ditangkap Polisi,” terkecuali memang si pencuri sendiri berusaha keras agar dirinya dijebloskan ke dalam penjara. Penguasaan ilmu tata bahasa ini amat penting bagi wartawan karena bahasalah yang dipakai wartawan dalam bekerja, mulai melakukan wawancara di lapangan sampai menyiarkan liputannya lewat surat kabar, majalah, radio, televisi, atau internet.

Seturut kata-kata Dewan Pers, wartawan adalah “profesi khusus penghasil karya intelektual,” maka sedari dulu saya sering mengecam sesama jurnalis, termasuk wartawan media besar di Jakarta sana: “Kalian seharusnya malu menyebut diri wartawan profesional kalau masih salah memaknai kata, atau takpaham menggunakan tanda baca koma.” Seorang kawan wartawan di Tanah Batak pernah menanya soal itu, dan saya mencontohkan kalimat yang sederhana: Ayo kita makan, Tante (dengan koma) adalah kalimat seruan yang baik dan benar. Sebaliknya, Ayo kita makan Tante (tanpa koma) adalah bahasa yang takbaik dan takbenar, bahkan penulisnya bisa terancam hukum pidana karena dia seorang kanibal, atau karena dia mengajak orang lain untuk merogol si tante.

Pendek kata, kata saya kepada si handai, jangan nekat menjadi wartawan kalau tidak menguasai atau tidak sudi mempelajari ilmu gramatika.

Selain mencintai bahasa, wartawan juga harus berkelakuan jujur. “Kesalahan wartawan yang tidak bisa diterima oleh pemred kita ialah berbohong,” kata redaktur pelaksana HMS, Hayun Gultom, yang sudah berkonco dengan saya sejak sepuluh tahun lalu, kepada staf di kantor sebelum saya datang ke Batam. Kala itu ada laporan reporter yang isinya sengaja diperelok si reporter dengan melebih-lebihkan ucapan narasumber beritanya. Saya menyuruh Hayun jangan lagi memublikasikan liputan-liputan si reporter untuk sementara waktu, dan agar Hayun menasihatinya bahwa mengimbuh satu kata saja pada ujaran orang tergolong dosa besar dalam dunia jurnalistik. Sekadar contoh, kalimat deklaratif “Saya melihat polisi itu menampar tersangka” tidak bisa ditulis menjadi “Saya melihat polisi itu menyiksa tersangka.”

Dalam jurnalisme, kejujuran dan akurasi pemilihan kata adalah keniscayaan. Karena itulah, menurut peraturan Dewan Pers, sertifikat dan kartu kompetensi wartawan akan dicabut kalau pemiliknya terbukti membuat berita dusta atau menjiplak berita.

Aturan sejenis itu pun saya terapkan pada redaksi HMS. Saya akan menskors wartawan yang melakukan plagiat, bahkan walaupun hanya menjiplak beberapa kalimat atau selembar foto dari media lain. Nama wartawan HMS juga takboleh tercantum sebagai fotografer atau penulis berita yang materinya cuma salinan dari siaran pers organisasi kehumasan. Penulisan kredit sumber foto “ist” atau “istimewa” dan “int” atau “internet” pun saya larang karena melanggar hak cipta.

Mengenai judul berita, wartawan HMS dilarang menulis ala jurnalisme kuning dengan diksi “Inilah,” “Lagi Viral,” dan “Wow, Enggak Nyangka,” karena saya tidak tega mengibuli pembaca dengan judul-judul jebakan klik takbermutu. Bagi saya, kualitas berita media siber dinilai bukan berdasarkan jumlah klik, melainkan seberapa banyak orang yang tercerahkan setelah membaca suatu laporan jurnalistik.

Di laman HMS juga takkan muncul berita kaleng-kaleng tentang penjual rujak cantik yang mirip artis Syahrini, atau pegawai negeri yang viral di media sosial lantaran ketampanan wajahnya, yang isinya hanya sependek dua ratus kata tetapi dipecah ke dalam empat laman web. Kami takingin mencekoki pembaca dengan berita sampah yang nirguna sejenis itu.

Seturut data Dewan Pers yang diwartakan kompas.com pada 29 Juli 2016, dari total jenderal 46.000 media pers di Indonesia terdapat 43.500 media siber, dan dari keseluruhan media daring itu hanya sedikit yang dikelola secara profesional. Kemudian pada 7 Januari 2017 kompas.com merilis berita berjudul “Kemenkominfo Sebut Ada 43.000 Media Abal-Abal.” Frasa media abal-abal yang dimaksud dalam laporan tersebut ialah media siber.

Bertalian dengan memerosotnya mutu pers itu, sejak bertahun-tahun lalu Dewan Pers menerbitkan sertifikat verifikasi untuk perusahaan pers dan sertifikat kompetensi untuk wartawan. Perusahaan media yang pantas mendapat sertifikat, menurut Dewan Pers, adalah yang sudah memenuhi sejumlah kriteria, antara lain gaji wartawannya minimal sebesar upah minimum provinsi. Wartawan yang layak beroleh sertifikat dan kartu dari Dewan Pers—ada tiga jenjang: wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama—adalah jurnalis yang sudah lulus uji kompetensi wartawan (UKW).

Meskipun begitu, tidak sedikit wartawan di pelbagai daerah di Indonesia yang mengecam verifikasi media dan sertifikasi wartawan. Ada yang menyebutnya ancaman kebebasan pers. Ada pula yang mencela kartu wartawan dari Dewan Pers bukan jaminan mutu wartawan profesional.

Saya sendiri, yang memiliki kartu wartawan utama dari Dewan Pers, dapat memaklumi kecaman itu, karena kenyataannya memang ada wartawan yang sudah besertifikasi tetapi takcakap menulis berita. Bahkan, jangankan kohesi antarklausa dan koherensi antarkalimat, penggunaan huruf kapital pun dia takpaham. “Contohnya dia,” Hayun Gultom menyebut nama seorang pemimpin redaksi, “sudah wartawan utama tapi tidak paham apa itu berita, apa itu 5W + 1H. Wartawan muda pun dia tidak layak menurutku.”

Verifikasi media juga setali tiga uang. Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, ada beberapa surat kabar dan media siber yang sudah terverifikasi administrasi dan faktual meskipun para reporter daerahnya tidak digaji sama sekali dan tidak diberi honorarium serimis buta pun. Namun, aneh bin munafik, pemilik atau pemimpin redaksinya tanpa merasa berdosa menyuruh wartawannya meliput demonstrasi buruh pabrik, dan dengan bangganya menerbitkan berita keluhan kaum buruh soal rendahnya gaji mereka sekaligus kecaman terhadap para tauke perusahaan.

Akidah bahwa jurnalisme mesti dikerjakan dengan metode yang baik dan benar bukan hanya harus terwujud dalam karya tulis wartawan, melainkan juga dalam proses wawancara dan pengumpulan bahan berita. Berdasarkan prinsip “baik dan benar” ini, saya melarang wartawan HMS menginterviu dengan cara-cara yang tidak etis, seperti memaksa narasumber mengakui sesuatu, mengajukan pertanyaan sembari menghardik, dan mengutip ujaran orang lain tanpa seizin orangnya. Sekali-kali jangan memojokkan narasumber ketika berwawancara, kata saya kepada wartawan HMS, “Dan jangan tiru gaya wawancara Mata Najwa.” Jangan mengotot. Jangan berlagak galak kayak penyidik. Bahkan, ketika mewawancarai terpidana korupsi atau pembunuh pun, wartawan harus tetap menggunakan bahasa santun dan tidak berkesan memvonis. Jangan pakai muslihat “pinjam mulut”, mengarahkan narasumber agar mengucapkan sesuatu sesuai dengan keinginan pewawancara. Wartawan bukanlah polisi atau aparatur Komisi Pemberantasan Korupsi yang atas nama hukum bisa menginterogasi siapa pun dengan cara apa pun, menggeledah properti orang, dan menyadap percakapan.

“Dan kalau nanti ada wartawan HMS yang memeras narasumber terkait dengan pemberitaan,” kata saya, “dia akan dipecat dan tidak akan saya bela.” Saya tidak akan menoleransi staf redaksi HMS yang menyelewengkan profesinya untuk mencari amplop atau proyek atau keuntungan pribadi, karena hal itu bersalahan dengan kode etik jurnalistik.

Kewajiban pertama wartawan adalah mencari dan menyiarkan kebenaran. Kesetiaan pertama wartawan adalah kepada publik, rakyat, bukan kepada pejabat pemerintah, bukan pemasang iklan, dan bukan pula pemilik media. Begitu kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism.

Begitu pun, saya tidak melarang wartawan HMStimes.com berteman dekat dengan narasumbernya, baik penguasa maupun pengusaha, asalkan bisa menjaga objektivitas dan tidak sampai menghambai mereka. Begitu pula dalam konteks pemilihan kepala daerah, saya dan seluruh jajaran redaksi HMS takkan berbuat favoritisme. Sikap politik kami dalam pemberitaan pemilu sudah tandas: netral.

Berselang 24 jam setelah kolom saya ini terbit, Anda, pembaca yang baik, akan mulai dapat membaca liputan-liputan khas yang sudah kami siapkan dan akan kami terbitkan hari demi hari. Selamat membaca.


Sejak tanggal 1 Desember 2020, saya, Jarar F. Siahaan, tidak lagi menjabat pemimpin redaksi HMStimes.com. Kini saya hanya sebagai penanggung jawab redaksi.

Mulai 13 Februari 2021 saya bukan lagi penanggung jawab redaksi dan bukan lagi karyawan HMStimes.com.

Berita Lain

Wartawan Medan

Wartawan Harus Mengundurkan Diri kalau Menjadi Tim Sukses Pilkada

25 September 2020
HMS Times Batam media online

Kode Perilaku Wartawan HMS

17 September 2020

IKLAN

Kalau Anda wartawan, tulislah sesuatu yang bernilai untuk dibaca. Kalau Anda bukan wartawan, kerjakanlah sesuatu yang bernilai untuk ditulis.

  • Tentang HMS
  • Redaksi
  • Perusahaan
  • Alamat
  • Pedoman

© 2020 HMStimes.com - Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman HMS

No Result
View All Result
  • Batam
  • Kepri
  • Sumatra Utara
  • Feature
  • Eksklusif
  • Lowongan Wartawan
  • Kode Perilaku HMS

© 2020 HMStimes.com - Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman HMS