Seorang gadis belia berkebutuhan khusus [tidak dapat berbicara] berinisial JO (18), memilih kabur dari rumahnya di kawasan Tiban Koperasi, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu, 5 Agustus 2020. Dia lari dari kediamannya itu karena merasa ketakutan karena sering jadi sasaran kemarahan ayah kandung dan ibu tirinya yang kerap menganiaya.
JO kabur dari rumah pada sore hari itu saat ayahnya sedang bekerja. Tujuannya ke rumah salah seorang temannya satu sekolah, beralamat di Perumahan Tiban Diamond, Sekupang, Batam. Saat itu, setibanya JO di rumah temannya, anggota keluarga sahabatnya langsung mencoba menghubungi Fani, ibu kandung JO.
“Saya dihubungi sekitar pukul 4 sore, dan setelah mendapat kabar itu saya langsung bergegas menjemput anak saya untuk pulang ke rumah saya. Hari pertama dan kedua, saya tidak mau banyak bertanya apa yang dia alami. Pikir saya, waktu itu, mau biarkan dia tenang dulu, barulah bertanya,” kata Fani ketika ditemui HMS di rumahnya di bilangan Sekupang, Batam, Rabu, 12 Agustus 2020, sore.
Sembari menunggu anak tenang, Fani mencari informasi apakah si anak yang kabur tadi dicari oleh ayahnya atau tidak. Ternyata sampai pada hari ketiga, ia mendapati kalau keluarga mantan suaminya itu malah bersantai dan seolah sama sekali tidak memperdulikan JO yang pergi dari rumah mereka tanpa ada pamit dan kabar. Wajar saja mengetahui ini, Fani lantas merasa geram, lalu ia mulai mengajak JO untuk berbicara tentang apa saja yang dia alami selama ini.
“Ketika saya lihat kondisi anak sudah mulai tenang, maka saya tanyalah alasan dia kabur kenapa. Di situ anak saya baru bercerita. Kata dia, ada terjadi sedikit pemukulan dan ada kata-kata yang mengatakan kalau anak saya boleh pergi keluar rumah,” katanya.
Kata Fani, menurut pengakuan JO, tindak kekerasan dan pengusiran tersebut dilakukan oleh ibu tirinya bersama dengan ayah kandungnya berinisial, JS, merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Batam. Hal ini katanya sudah si anak alami dalam satu tahun belakangan, pasca keputusan hak asuh buah hatinya ini jatuh ke tangan mereka.
Tidak hanya sampai di situ, perlakuan tidak mengenakkan lainnya yang dialami JO, pun dirasakan saat dia hendak belajar dari rumah. Ponselnya disita, sambungan interntet diputus, stop kontak dicabut, dan bahkan lebih parahnya lagi yakni, hampir setiap hari, JO dibiarkan hanya menyantap mie yang itupun ia beli dari hasil penjualan sabun kerajinan tangannya.
“Setelah hak asuh jatuh pada ayahnya, saya sebagai ibu kandung tidak diberikan hak untuk berkomunikasi dengan anak. Kejadian ini baru saya tahu semenjak si anak kabur. Memang, papanya itu bertrempramen tinggi, tetapi saya tidak menyangka kejadiannya bakalan seperti ini,” kata dia.
Peristiwa ini pun pada, 10 Agustus 2020, langsung dilaporkan Fani melalui Kantor Kuasa Hukum Stevani ke Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daeah (KPPAD) Provinsi Kepri. Dia berharap ada kepastian tentang nasib buah hatinya, ke depan agar tidak mengalami kejadian yang sama seperti satu tahun belakangan.
“Saya harapkan hak asuh anak-anak balik lagi ke saya, karena selama saya menikah anak-anak itu tidak pernah lepas dari saya. Bahkan untuk bekerja pun saya masih bawa anak-anak. Tidak pernah menyangka kejadian ini bakal terjadi. Adik-adik JO umur 16 dan 11 tahun juga berada sama ayahnya, kondisinya seperti apa, saya tidak tahu. Intinya saya minta hak asuh kembali lagi ke ibunya,” kata dia.
Kuasa hukum Fani, Marulak J Simanjuntak, mengatakan, mengenai kasus ini pihaknya akan menempuh jalur mediasi terlebih dahulu. Dia membenarkan kalau laporan ke KPAAD sudah masuk dan berdasarkan anjuran sebelum jalur hukum maka harus melewati masa mediasi yang akan dilaksanakan beberapa waktu ke depan.
“Tadi korban sudah menjalani asesment psikologi. Dan untuk langkah selanjutnya, saya dengar KPPAD akan mengundang untuk mediasi, kalau mediasi tidak berhasil kita akan menempuh jalur hukum. Karena di sini kami menemukan ada berupa lebam di tangan, kakinya, dandi pipinya bekas tamparan,” kata Marulak kepada HMS.
Sementara itu, Ketua KPPAD Kepri, Erry Syahrial mengatakan, pihaknya telah selesai melakukan assement psikologis terhadap anak yang diduga menjadi korban kekerasan dari orangtuanya tersebut. Hasilnya, pihaknya mendapati masih ada rasa kekhawatiran dan ketakutan dari JO. Sementara untuk kondisi lebam di fisiknya dia katakan sudah hampir sembuh.
“Hasil pemeriksaan psikologis si anak masih ada rasa khawatir. Kemudian dari segi bakat dan potensi, si anak ini sebetulnya luar biasa. Meskipun si anak ini ada kebutuhan khusus tapi di sisi lain dia ada potensi yang harus kita lihat dan kita jaga, jangan sampai kasus ini mempengaruhi tumbuh kembang si anak,” kata Erry kepada HMS saat ditemui di bilangan Sekupang.
Kata Erry, pengecekan psikologis terhadap anak ini dilakukan oleh Komisioner KPPAD Provinsi Kepri. Hal ini berguna untuk pihaknya agar mendapat gambaran mengenai apa saja yang akan pihaknya lakukan untuk menyelesaikan konflik rumah tangga ini. Apakah tetap pada proses mediasi atau diambil ke jalur hukum.
“Karena memang kita koridornya adalah kepentingan terbaik bagi si anak. Yang dilaporkan dalam hal ini kan orang tua, jangan sampai hal ini berdampak buruk terhadap si anak ke depannya nanti,” kata dia.
Selain itu, Erry menerangkan, pihaknya juga akan memanggil ayah kandung JO selaku terlapor untuk dapat dimintai keterangan terhadap apa saja yang terjadi saat dalam pengasuhannya tersebut. Apakah benar terjadi tindak kekerasan dan pengusiran seperti yang dilaporkan oleh ibu kandungnya. Proses pemeriksaan ini nantinya yang akan menentukan bagaimana hak asuh terhadap anak ke depannya.
“Bisa saja nanti ini mengarah ke hak asuh. Karena meskipun hak asuh ini sudah selesai di pengadilan, tapi itu bisa digugat kembali melihat bagaimana pengasuhan selama ini, apakah sudah layak atau tidak,” kata dia.