Ramlan Sebayang (63), penempah peti mati dan pengantar jenazah di Medan, Sumatera Utara, memiliki banyak pengalaman selama menjalani profesinya. Mengantar jenazah dari kota sampai ke pedesaan. Takjarang, pria bertitel sarjana hukum ini bertemu makhluk tak kasat mata saat perjalanan pulang setelah mengantarkan jenazah dengan mobil ambulansnya.
Belum hilang dari ingatan ayah tiga anak dan kakek enam cucu ini, satu peristiwa yang menyentuh rasa kemanusiaannya. Kejadian itu terjadi pada pertengahan tahun 2002, sekitar pukul 02.00 dini hari. Ramlan yang masih menonton televisi di rumahnya dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Seorang laki-laki paruh baya mengatakan istrinya baru saja meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pemerintah (RUSP) H. Adam Malik, Medan. Dia ingin memesan peti mati sekaligus mobil ambulans untuk mengantar jenazah sang istri ke rumahnya, di Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Saat itu, pihak rumah sakit mematok tarif Rp2,5 juta. Merasa taksanggup, ia pun berkeliling, mencari penyedia jasa dengan tarif lebih murah.
Dini hari itu, dia pun melihat lampu rumah Ramlan masih menyala, dan ia memanggilnya dari luar. Dengan penuh harap, laki-laki itu minta tolong agar disiapkan peti mati dan mengantarkan jenazah istrinya saat itu juga. Mirisnya, tak ada uang di kantongnya. “Dia bilang, istrinya sudah lama dirawat di rumah sakit itu. Dan uangnya sudah tidak ada. Pekerjaannya hanya tukang bersih sekolah,” kata Ramlan bercerita kepada HMStimes.com ketika ditemui di tempat usahanya, Talenta, di Jalan Jamin Ginting No 781, Padang Bulan, Medan, Kamis, 13 Agustus 2020.
Mendengar permohonan itu, akhirnya Ramlan memenuhi permintaan laki-laki itu, meskipun sudah dini hari. Ia memberikan tarif sebesar Rp1,4 juta untuk harga peti mati dan jasa pengantaran jenazah, dari rumah sakit ke rumah duka. Ramlan juga memberi keringanan pembayaran yang dapat dilakukan setelah jenazah tiba di rumah duka dan dimakamkan. Ia pun mengantarkan jenazah ke sebuah ruangan di salah satu sekolah setelah mendapatkan izin dari kepala sekolah, untuk digunakan sementara waktu.
Setelah acara penguburan selesai, Ramlan didatangi laki-laki yang baru saja kehilangan istrinya tersebut, dan mengatakan bahwa ia belum punya uang. Tak lama kemudian, dia menawarkan kambing peliharaanya sebagai bayaran, atau mengizinkan Ramlan untuk membawa anak perempuannya, guna dijadikan pembantu di rumah Ramlan. Ramlan menolak tawaran itu, dan mengatakan pembayaran dapat dilakukan bila laki-laki tersebut telah memiliki uang. Kalau tak salah, kata Ramlan, sekitar sembilan hari kemudian, laki-laki itu datang ke rumah bersama anaknya, membawa uang bayaran peti mati dan sewa ambulans. Dia juga membawa dua ekor ayam beserta sayur-sayuran sebagai tanda terimakasih.
“Saya kira waktu itu, dia sudah tidak akan datang lagi. Makanya aku terkejut juga, hanya beberapa hari, dia langsung datang. Mungkin, uang itupun baru dipinjamnya,” kata Ramlan. Ramlan pun memberikan uang sebesar Rp200 ribu untuk ongkos pulang laki-laki paruh baya itu dan anaknya.
Takhanya sekali, Ramlan juga pernah mengalami hal serupa, sebelumnya. Namun, sisa pembayaran tidak pernah diterimanya. Walau begitu, dia tetap berpikiran positif dan berprasangka baik. “Kadang enggak sampai hati juga, karena saya lihat memang orang susah. Tapi, saya yakin, kalau nanti sudah ada uangnya, diantarnya itu. Mana mungkin lupa, karena inikan menyangkut orang mati,” katanya.
Baru-baru ini, Ramlan juga membantu orang yang takmampu membayar peti mati dan ambulans ke Padangsidimpuan, dari salah satu rumah sakit di Medan. Saat itu, mereka diminta biaya Rp4,5 juta oleh pihak rumah sakit, tetapi karena taksanggup, mereka mencari penyedia jasa yang lebih murah dan mendatangi usaha Ramlan. Ramlan memberikan tarif yang lebih murah. Namun, setelah semua pekerjaan selesai, Ramlan tidak menerima pembayaran, hingga saat ini.
Selain kejadian yang menguras rasa kemanusiaan, Ramlan juga punya pengalaman mistis, yang membuat bulu kuduk merinding, saat mengantarkan jenazah. Suatu waktu, Ramlan mengantar jenazah ke daerah Pusuk Buhit, Samosir. Sepulang mengantar jenazah, di tengah perjalanan, seseorang meminta rokok dari cabin belakang ambulans menggunakan bahasa Batak. Namun, saat menoleh ke belakang, Ramlan takmelihat siapapun di sana.
Pernah juga, selepas mengantar jenazah dari Sigotom, Tapanuli Utara, dia melihat seorang laki-laki agak tua, memegang tongkat di pinggir jalan dan memintanya berhenti. “Cocoklah ini, ada kawan ngobrol-ngobrol sampai Siborong-borong. Mobil pun kuberhentikan dan kasih dia naik. Setelah naik dan maju sebentar, kulihat ke sebelah kiri, laki-laki bertongkat itu sudah taknampak lagi. Kukira terjatuh ke luar. Sempat aku berhenti lagi, dan turun untuk melihat ke belakang, takada. Ah, gawat ini, langsunglah aku tancap gas,” katanya seraya tertawa.
Hal yang sama juga pernah dia alami ketika pulang dari Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Tiba-tiba, Ramlan melihat seseorang duduk di sebelah kirinya. Tapi, taklama kemudian, sosok yang dilihatnya itu, sudah hilang. Menurut Ramlan, pengalaman-pengalaman seperti itu, lama-lama membuatnya tidak takut. Bahkan, dia menganggap itu sebagai ‘bumbu’ pekerjaannya. Kata Ramlan, menjalankan usaha yang berkaitan dengan orang-orang mati, mungkin sudah menjadi jalan hidupnya. Karena itulah, dia menamai usahanya Talenta.
Ramlah juga mengatakan, ketika masih lajang, dia suka membantu membuatkan peti mati untuk orang susah. Semuanya bermula ketika tetangganya meninggal dunia dan keluarga takmampu membeli peti mati. “Lalu, saya buatkan seadanya saja, dari triplek. Lama-lama, saya belajar menempah peti mati, dan bisa. Dari situ mulanya ini, kubikinlah usaha namanya Talenta,” katanya.
Ramlan yang merupakan lulusan dari salah satu universitas swasta di Medan, dengan gelar sarjana hukum ini sempat bekerja di salahsatu biro bantuan hukum. Namun, dia mengaku tak cocok menjalani pekerjaan itu. Bahkan, ia pernah nyaris dibacok seseorang karena menangani kasus tanah masyarakat. “Waktu itu kami berhadapan dengan hukum adat, nyaris kami dibunuh oleh masyarakat. Ah, tak benar ini,” katanya.
Setelah itu, ia pun mencoba peruntungan lain dengan membangun usaha penempahan peti mati. Dulu, pada tahun 1991, usaha ini dibangunnya dengan modal pinjaman dari bank sebesar Rp3 juta. Setelah lima tahun berjalan, Ramlan mengembangkannya dengan membeli mobil ambulans bekas, setelah banyaknya permintaan dari pemesan peti mati. Usahanya pun sudah berjalan selama 29 tahun, hingga saat ini.