Kehidupan penjaga menara suar amat jauh dari keramaian, lebih-lebih bagi yang bertugas di pulau terpencil. Mereka terbiasa dengan kesepian, kerinduan akan keluarga, dan kesulitan memperoleh sarapan, makan siang, dan makan malam.
“Sudah jadi makanan sehari-hari kalau itu. Kalau kangen keluarga, menghubunginya pakai stasiun radio pantai. Zaman dulu, kan, telepon belum terjangkau,” kata Suwinto, penjaga menara suar di Pulau Putri, Batam, baru-baru ini.
Pulau Putri adalah salah satu pulau terluar yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Menara suar di pulau ini memiliki tinggi 45 meter, yang dibangun pada 1996 oleh Kementerian Perhubungan.
Suwinto memulai pekerjaannya tahun 1993 di Pulau Takong Besar, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, setelah tiga tahun sebelumnya bertugas di atas kapal, salah satu sarana bantu navigasi pelayaran selain menara suar. Di atas besi apung itulah ia dan beberapa rekannya belajar tentang navigasi.
“Di masa awal menjaga menara suar itu, waktunya singkat semua. Hanya enam bulan dan langsung pindah ke menara suar lainnya. Dari Pulau Takong Besar pindah ke Tanjung Jang di Daik Lingga, lalu ke Pulau Merapas dan ke Berakit di Bintan,” katanya.
Suwinto mengenang pengalaman paling sedih yang ia alami adalah saat bertugas di Pulau Mangkai, Kabupaten Natuna, karena untuk menuju ke lokasi menara suar, ia harus mendaki jalan bebatuan. Di sana pula dia acap kali bersinggungan dengan makhluk halus. Pintu dan atap rumah dinasnya hampir setiap malam digedor atau dilempari sesuatu. Namun, saat ia keluar untuk melihat, tidak satu pun benda atau makhluk yang tampak sejauh mata memandang.
Di Pulau Sugi, Batam, ia pernah melihat langsung sebuah pohon yang ujung dahannya berayun sampai menyentuh tanah, padahal tidak ada monyet atau binatang lain yang menggelantung dan menggoyangkan dahan tersebut. Tidak hanya itu, setiap pukul 11.00 malam sampai pukul 01.00 pagi, di belakang rumah dinasnya selalu terdengar suara keramaian, suara orang tertawa.
“Mulanya pasti takutlah, tapi makin ke sini semakin biasa. Kalau kebetulan berjumpa, ya dihadapi saja. Mau lari ke mana juga. Lah, kita tinggal di pulau kecil kok,” kata pria yang lahir di Tegal tahun 1966 itu.
Selain pengalaman mistis, Suwinto juga sering mengalami masa sulit dalam urusan perut. Memang para penjaga menara suar dibekali bahan makanan setiap bulannya. Namun, keterbatasan kapal pengantar dan kendala cuaca sering kali menghambat pengiriman. Karena itu, saat bertugas di Tanjung Jang, Daik Lingga, dia harus mengonsumsi biji sagu lantaran stok makanannya mulai menipis.
Cerita lain datang dari Urai Sunandra, teknisi menara suar Pulau Putri. Baginya, menjadi penjaga menara suar adalah seni bertahan hidup. Pria kelahiran Sengkawang, 1967, itu sama sekali tidak dibekali ilmu kelautan seperti menjaring atau memancing ikan. Akan tetapi, dua hal itu harus ia kuasai demi bertahan hidup lantaran pengiriman stok makanan yang sering kali terlambat. “Mulanya melihat warga lokal dulu bagaimana cara menjaring ikan atau membuat bubu. Setelah itu baru beli alatnya satu per satu,” katanya.
Menurut Urai, memancing adalah salah satu cara membunuh sepi selama bertugas di pulau-pulau terluar. Selain itu, beberapa petugas menara suar juga berkebun atau membuat perkakas, seperti meja dan kursi.
Pada awal bertugas, gaji pokok Urai hanya Rp45 ribu plus 10 kilogram beras dan sembako lainnya. Memang tidak ada kendala soal kebutuhan pokok, tetapi sering kali dia tidak memiliki uang lebih yang bisa dikirim kepada keluarganya di rumah. Karena itu, ia pernah menghasilkan 200 kilogram pisang dari hasil berkebun saat bertugas di Pulau Merapas, Bintan. Ia juga menanam cabai rawit dan menjualnya kepada penduduk sekitar.
Aktivitas dia sehari-hari, katanya, “Bersih-bersih kemudian buat laporan harian soal cuaca, bahan bakar, kecepatan angin, dan tinggi gelombang. Walaupun sebenarnya pekerjaan kami harus siaga 24 jam, tapi bisa pakai sistem gantian siapa jaga di jam berapa.”
Saking terbiasa membuat laporan itu, para penjaga menara suar dapat mengetahui kecepatan angin dan tinggi gelombang laut tanpa perlu alat ukur. “Kalau kayak sekarang paling kecepatan anginnya lima sampai sepuluh knot per jam. tinggi gelombang sekitar nol sampai satu meter,” kata Urai sambil mengangkat tangan ke udara kemudian menunjuk ke arah laut.
Di masa awal bertugas, Urai sempat membawa istri dan anak pertamanya ke rumah dinasnya. Dengan membawa keluarga, jatah sembakonya dari kantor akan bertambah. “Jadi, kalau anaknya banyak, banyak juga jatah sembakonya, karena dihitung per kepala. Bahkan, pernah ada kejadian rumah dinas penjaga menara suar itu sudah seperti toko sembako karena anak-anaknya banyak,” katanya.
Saat anak pertamanya memasuki usia sekolah, Urai harus merelakan istri dan anaknya pindah ke Tanjung Pinang sementara ia menetap di Pulau Merapas. “Risikonya memang begitu kalau ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada sekolah. Kami punya rekan yang memiliki 10 anak dan semuanya tidak ada yang sekolah karena bapaknya tugas di pulau kecil,” ujarnya.
Baik Suwinto maupun Urai tidak ingin mewariskan pekerjaan yang sama kepada anak-anaknya. Keduanya bertekad agar anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik.