Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyayangkan masih terjadinya dugaan praktik-praktik penyiksaan yang kerap dilakukan oleh oknum anggota kepolisian, dalam proses penegakan hukum. Berdasarkan catatan KontraS dalam lima bulan terakhir, terhitung sejak April hingga Agustus 2020, terdapat tiga belas orang yang menjadi korban, dari lima peristiwa kasus yang diselidiki polisi.
Dalam siaran pers yang disiarkan melalui Zoom Meeting, Staf hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menjabarkan lima kasus tersebut ialah, dugaan praktik penyiksaan dalam kasus penangkapan di Tanggerang, di mana pada 9 April 2020, sekitar 10 orang polisi dari Polres Tangerang yang tidak menggunakan seragam, datang menemui Muhammad Riski Riyanto (21) dan Rio Imanuel Adolof (23). Saat diminta menunjukan surat penangkapan dan surat tugas, anggota kepolisian hanya menunjukan surat tugas bulanan, sedangkan korban diintimidasi dengan senjata laras panjang. Selain itu, kepala korban juga dipukul menggunakan helm, sebanyak dua kali dan koran yang dibawa oleh oknum polisi itu dipukul, ditendang, diborgol pakai kabel tie, hingga darah membeku dan tangan membengkak. Takhanya itu, kedua korban dipukul dengan besi, di beberapa bagian tubuh, dan kepala kedua korban dibungkus dengan plastik, hingga tidak dapat sadarkan diri. Kejadian tersebut telah dilaporkan, namun belum memperoleh perkembangan apapun.
Selain itu, Andi juga menyebutkan kasus lainnya, yakni penangkapan terhadap sembilan orang pemuda Desa Batu Cermin, Manggarai Barat, NTT, pada 11 April 2020. Sembilan pemuda itu didatangi oleh sejumlah anggota Polres Manggarai Barat, yang sedang berpatroli dan membubarkan mereka, meskipun para pemuda itu telah menyampaikan alasan mereka tidak dapat pulang ke rumah masing-masing. “Tapi, pihak kepolisian justru langsung mengangkut sembilan pemuda itu ke Polres Manggarai Barat, kemudian dianiaya oleh beberapa orang anggota polisi, sampai luka-luka. Setelah itu, sembilan pemuda tadi pun dikembalikan ke pendopo desa,” katanya.
Kasus lainnya, kata Andi, menimpa anak di bawah umur, berinisial EF, pada 26 April 2020. Kejadian bermula saat terjadi peristiwa pengeroyokan terhadap salah seorang anggota polisi, empat hari sebelum ditangkapnya EF. EF ditangkap dan diperiksa serta diduga mengalami praktik penyiksaan agar ia mengakui tindakan pengeroyokan tersebut. Belakangan diketahui, EF bukanlah pelaku pengeroyokan itu, dan pihak keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian. Namun, hingga saat ini, belum ada perkembangan yang berarti, meskipun kasus pengeroyokan telah masuk pada proses persidangan.
Pada kasus keempat, kata Andi, praktik penyiksaan oleh polisi menimpa Sarpan (57), seorang saksi peristiwa pembunuhan. Sarpan ditangkap oleh anggota Polsek Percut Sei Tuan, Medan, Sumatera Utara, terkait tuduhan tindak pidana pembunuhan terhadap DS. Sarpan ditahan selama empat hari, sejak 02 Juli hingga 05 Juli 2020. KontraS menduga, selama proses penyidikan dan penahanan tersebut, Sarpan mengalami praktik-praktik penyiksaan, berupa pemukulan dan intimidasi agar mengakui tindak pidana yang disangkakan. Hasilnya, Sarpan pun mengalami luka-luka pada bagian wajah dan sekujur tubuhnya.
“Lalu pada kasus terakhir, terjadi di Belakang Padang, Batam, 8 Agustus 2020 lalu. Korban bernama Hendri Alfreed Bakari (38), seorang terduga pelaku kasus narkoba, yang meninggal setelah dua hari diperiksa oleh Satres Narkoba Polresta Barelang,” katanya.
Andi menuturkan, berdasarkan fakta-fakta yang KontraS temukan terhadap lima kasus itu, pihaknya mencatat bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan praktik-praktik penyiksaan masih terjadi di Indonesia. KontraS berpendapat, praktik-praktik penyiksaan masih kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman atau balas dendam terhadap para tersangka.
Selain itu, menurutnya, salah faktor lainnya ialah polisi yang terindikasi melakukan penyiksaan, minim diberi sanksi tegas, dan sering kali proses pemberian hukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya berhenti pada proses disiplin atau etik. Ia pun menilai bahwa, tindakan anggota Polri yang kerap melakukan penyiksaan, merupakan sebuah bentuk pelanggaran, baik pelanggaran terhadap aturan internal di kepolisian, maupun sejumlah peraturan perundang-undangan, yang antara lain Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
“Dengan rentetan kasus tadi, KontraS pun mendesak Kapolri, selaku pimpinan tertinggi untuk menyelesaikan problem praktik penyiksaan di tubuh kepolisian secara serius, dengan menindak anggotanya yang melakukan tindakan penyiksaan. Penindakan terhadap anggota yang melakukan penyiksaan tidak boleh berhenti pada proses etik atau disiplin, tetapi juga harus berlanjut pada proses pertanggungjawaban pidananya. Kapolri harus memastikan seluruh jajarannya membuka akses dan menindaklanjuti laporan korban dan keluarga korban penyiksaan. Bahwa proses ini tidak menutup kewajiban dari penyidik, untuk aktif melakukan penyelidikan atau penyidikan, atas dugaan penyiksaan, sebab penyiksaan merupakan bukan delik aduan,” kata Andy.
Ia juga meminta lembaga-lembaga yang tergabung dalam NPM, (Komnas HAM, Ombudsman, Komnas Perempuan, LPSK, dan KPAI), untuk lebih berperan aktif, guna melakukan pencegahan dan pengawasan terkait dengan masih adanya praktik-praktik penyiksaan dalam proses penegakan hukum, serta menjalankan fungsi dan kewenangannya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan masing-masing lembaga. Selain itu, menurut Andy, lembaga pengawas kepolisian, baik internal, seperti Itwasum, Itwasda, serta Propam dan eksternal, seperti Komisi Kepolisian Nasional, untuk lebih proaktif melakukan proses pengawasan dan pemantuan, terkait dengan kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. KontraS juga mendesak Presiden Republik Indonesia, dalam hal ini, Menteri Luar Negeri meratifikasi Optional Protocol Convention Against Tortutre (OPCAT), serta mendorong dibentuknya UU tentang Penyiksaan.