Masyarakat petani di Desa (Nagori) Marihat Mayang dan Nagori Jawa Baru, Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatra Utara, mempertanyakan penerbitan sertifikat hak milik yang dikantongi salah satu perusahaan di lahan hutan Register 18 Simalungun. Padahal, lahan itu berstatus hutan rakyat, sudah didiami dan dikelola masyarakat selama lebih dari 60 tahun.
Menurut Anggiat Martua Simorangkir, salah satu anak dari warga yang tinggal di lahan hutan Register 18, sejak tahun 1940-an orang tua mereka sudah tinggal di kawasan itu hingga tahun 1980-an keluar surat keterangan tanah dari Desa Huta Bayu Raja. “Waktu itu datanglah perusahaan melakukan perjanjian tumpang sari dan ditanami sawit. Waktu pada masa sewa habis, ditekan ini rakyat,” katanya saat ditemui HMStimes.com setelah rapat dengar pendapat (RDP) Komisi B DPRD Sumut, 5 Oktober 2020.
Pada tahun 1990-an perusahaan itu mulai panen dan menguasai lahan dengan lebih luas. “Yang dituntut bapak-bapak kami dari dulu cuma satu. Kalau mereka [perusahaan] bisa mengurus [sertifikat hak milik atau SHM], kenapa kami tidak bisa mengurus?” kata Anggiat.
Sejak saat itu, katanya, mulai terjadi konflik sosial. Masyarakat diintimidasi dan ditangkap polisi. Ada lima orang warga yang sudah ditahan dengan tuduhan pencurian di lahan yang diklaim perusahaan sebagai asetnya. Bahkan, pada tahun 2012, ada anak kecil berumur dua tahun yang ikut dipenjara. “Kami minta hak-hak kami diberikan. Kami mau hidup dengan secuil tanah yang diusahakan orang tua kami,” katanya.
Menanggapi aspirasi masyarakat dari Kabupaten Simalungun itu, Ketua Komisi B DPRD Sumut, Victor Silaen, dan Wakil Ketua DPRD Sumut, Rahmansyah Sibarani, meminta agar Kapolda Sumut memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, BPN Simalungun, dan Dinas Kehutanan Simalungun.
“Register 18 ini kawasan hutan, tapi ada perusahaan yang menguasai lahan sehingga terjadi sengketa di lahan Tuhan,” kata Victor Silaen. Dia meminta Dinas Kehutanan mengembalikan lahan tersebut ke Register 18.