Malam itu langit tenang. Takada tanda-tanda akan datang hujan atau angin kencang. Padahal, pada malam sebelumnya amukan angin mengacaukan persiapan acara ulang tahun pertama komunitas seni Lintas Suara itu. Satu per satu tamu undangan dan tamu dadakan berdatangan dengan gaya nyentrik ala anak indie, anak punk, gadis “chibi-chibi”, dan “ukhti-ukhti”.
Salah satu yang mencuri perhatian HMS pada Minggu malam, 18 Oktober 2020, itu adalah kehadiran Rohaizat, anggota DPRD Kota Batam, Kepulauan Riau. “Saya berani hadir di sini karena saya dari Fraksi PKS yang menolak Omnibus Law,” katanya, lalu tertawa. Sesekali ia merekam penampilan seniman dengan kamera telepon genggamnya. Ekspresinya tak terlihat karena ia mengenakan masker. Namun, gesturnya tampak santai meski beberapa seniman menampilkan puisi, teater, dan lagu yang mengkritik kaum pejabat.
Penampilan “Dua Wajah yang Berbeda” oleh Yuan Pamungkas (24), misalnya, yang dimulai dengan tarian mirip jurus silat. Yuan bermonolog dengan properti topeng, selendang merah, dan kain batik. Ia memerankan tokoh bertopeng sebagai penguasa negeri, dan wajahnya sendiri mewakili rakyat kecil. Ia menyoroti kasus beton, kasus penghancuran lahan, dan penindasan rakyat kecil, dengan diiringi musik latar belakang berjudul “Bebal” yang liriknya “jika bumi adalah ibu, kita manusia memerkosa ibunya.”
Rekan seperjuangan Yuan, Ganesha Aryadi (20), juga sudah mempersiapkan puisi berjudul “Renungan Alam” yang juga menyoroti isu lingkungan. Sayangnya, keterbatasan waktu membuatnya tak sempat tampil malam itu.
Pertunjukan teater satire yang belum berjudul, dibawakan Dwi Alfah (23) dan Irwanda (23), juga tak kalah menarik. Penonton dikejutkan dengan teriakan melengking dan adegan kekerasan seksual secara simbolis oleh kedua seniman dari Mahasiswa Pencinta Alam Politeknik Negeri Batam itu. Mereka memerankan perempuan korban pemerkosaan, pelaku, dan penegak hukum di Indonesia. Tokoh perempuan tampak menderita karena justru disalahkan, padahal ia adalah korban. “Bukan salahku. Siapa suruh kau jalan di tempat yang sepi, sendiri, tengah malam lagi. Oh, satu-satunya salahku, mungkin kau takpuas malam itu. Tapi tenang, masih ada malam lain, bukan?” kata tokoh laki-laki sambil merokok dengan santainya. Perempuan itu putus asa, bunuh diri, dan menghantui tokoh laki-laki yang akhirnya juga mati dengan cara yang sama. “Hukum yang sebenarnya adalah hukum rasa bersalah. Hukum di Indonesia tidak bisa mengakomodir kasus seperti itu,” kata Irwanda kepada HMStimes.com.
Teater Sandyakala yang ditulis Aditya Ardiyansyah (22) dari Lintas Suara menjadi salah satu sajian utama dari tuan rumah untuk tamu yang hadir di lantai dua kedai kopi berukuran 30 kali 10 meter itu. Lakon dimulai dengan dialog seorang janda dan anaknya yang mengikuti jejak ayahnya sebagai seniman, tetapi dilarang ibunya karena menurutnya seniman tak punya uang. Pengekangan orang tua terhadap anaknya disimbolkan dengan mengikat leher sang anak dengan tali, padahal bahasanya penuh dengan kasih sayang. Selanjutnya ada dialog seorang pejabat dengan mahasiswa idealis yang menurutnya tidak realistis. “Menjadi pemimpin di kota ini tidaklah sulit asal punya duit dan tidak pelit,” kata pemeran itu dengan angkuhnya. Ia menghasut pemeran mahasiswa dengan memberinya jabatan dan uang agar tidak menjadi pengacau dalam “tupoksinya” mengibuli masyarakat. Adegan selanjutnya adalah pemeran tokoh adat dan anak muda desa yang terinspirasi dari keresahan seniman Lintas Suara yang tinggal di Tanjung Uma. Menurut Aditya, pergerakan anak muda Tanjung Uma yang ingin berubah menjadi lebih baik mendapat hambatan dari orang-orang di lingkungannya sendiri. “Terutama tetua-tetua di sana. Mungkin karena hal baru, jadi mereka agak risih,” katanya.
Dari bidang musik, Muchamad Fauzar (22) membawakan lagu “Investor Bukan Tuhan” yang ia tulis sendiri. Berikut ini kutipan liriknya:
“Pemerintah tutup mata saat rakyat dapat duka // janji dalam janji jadi kelam dalam luka // aparat pasang dada saat rakyat mulai murka // bungkam mulut rakyat, ditembak gas air mata // tanah air bangsa jadi tanah air mata // wakil rakyat mendurhaka, lupa pernah ucap sumpah // berpayungkan kitab suci, langgar janji pada Tuhan // sembah sujud pada uang, investor mereka tuhankan.”
Ada juga Yuda Putra Jayadi, yang berani membacakan puisi seolah-olah Soeharto yang menyombongkan boroknya sendiri. Ada Taufan Iskandar dengan puisi karyanya “Menjadi Orang Bodoh yang Berpendidikan” dan puisi karya Morgue Vanguard yang tak jadi dibacakan Taufan dalam aksi demo menolak UU Omnibus Law beberapa waktu lalu di Batam (baca laporan HMS “Puisi Bisa Melindungi Diri: Bicara A, Maknanya B”).
Masih banyak penampilan menarik dari seniman lain dalam acara ulang tahun komunitas seni Lintas Suara, Batam, ini. Antara lain, penampilan Danurdara dengan lagu “Arah” karya mereka, Tiga Rupa dengan musikalisasi puisi dan penari khasnya, serta Muhammad Syifa Ramazhani dengan monolog “Bumi” karya Budiman Rachman. Seniman lain yang tampil adalah Nostalgia, Arken, Roni, Layana, Rumah Pohon Institut, Loka Suara, Jerry Hendrawan, Batam Green Initiative, Bilik Sudut, Baff, Budak Puake, dan Nyala Aksara.
Rohaizat, anggota DPRD Kota Batam, mengatakan kagum melihat semangat para seniman Batam tersebut. “Orang yang menyampaikan aspirasinya lewat teater dan puisi sebenarnya itu lebih menusuk banget,” ujarnya kepada HMS. Ia mengaku mendukung kegiatan seni, dan akan menyambut anak muda Batam yang mau datang ke kantornya untuk berdiskusi atau menyampaikan aspirasi. (Donella Bangun, calon reporter HMS)