Di balik kemegahan sebuah kota tersimpan kisah tentang orang yang terus bertahan dengan profesi sederhana meskipun mesti melawan kerasnya kehidupan. Mereka bukanlah orang yang kalah, dan bukan pula orang yang menang.
Senin sore, 5 Oktober 2020, di pojok ruko di pinggir kawasan Lucky Plaza, Nagoya, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Masril sedang sibuk dengan mesin jahitnya. Dengan cekatan jemarinya mengikuti irama mesin jahit yang telah puluhan tahun menghasilkan uang untuk keluarganya. Di tengah pandemi Covid-19 ini Masril tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagaimana yang dia sebutkan “agar tidak tewas.”
“Ya beginilah. Pemasukan pasti berkurang, namun apa lantas kita harus berhenti bekerja lalu di rumah saja? Kebutuhan hidup tidak bisa diajak kompromi,” ucap Masril kepada HMStimes.com.
Pria berusia 44 tahun ini telah 22 tahun membuka usaha menjahit di pinggir ruko dekat kawasan Lucky Plaza walaupun mulanya pekerjaannya bukanlah penjahit. Beberapa tahun sebelum krisis moneter tahun 1998, dia adalah penjaga toko buku. “Tahun 1995 saya datang ke Batam, dan saya bekerja di toko buku bekas di sebuah taman bacaan di kawasan Tanjung Pantun, Kecamatan Sei Jodoh. Saat senggang atau selesai kerja, saya belajar menjahit bersama abang ipar saya,” katanya. “Awalnya tidak ada niat buka usaha menjahit seperti ini. Saat itu toko buku tempat saya bekerja tutup, terdampak krisis moneter.”
Setelah tidak lagi bekerja di toko buku, berbekal kepandaian menjahit yang diwariskan oleh almarhum abang iparnya, Masril pun melanjutkan usaha menjahit di tempat yang sama. “Waktu itu di sini dekat dengan Matahari. Saat itu banyak yang menggunakan jasa saya, terutama orang-orang yang beli celana di Matahari dan ingin memermaknya agar pas dengan selera mereka,” katanya.
Dalam sehari, saat usahanya lancar, rata-rata Masril menghasilkan Rp250 ribu hingga Rp300 ribu. Namun, ketika kini pandemi Covid-19 terjadi, pendapatannya menurun drastis. “Sekarang Rp150 ribu saja sudah alhamdulillah. Namanya usaha tentu kita serahkan saja masalah rezeki kepada Tuhan,” ucapnya.
Pernah dia mencoba membuka usaha menjahit ini di rumahnya di kawasan Segulung Baru, Kecamatan Sagulung, Kota Batam. Akan tetapi, pelanggannya tidak seramai saat bekerja di kawasan Lucky Plaza. “Jadinya setiap hari saya bolak-balik Sagulung Nagoya. Buka pukul 10.00 pagi, tutup pukul 18.00,” katanya.
Meski setiap hari menguras tenaga dengan jarak tempuh yang jauh, Masril tetap berbangga hati. Dari hasil menjahit, dia dapat mendirikan rumah sederhana untuk anak istrinya, dan bisa menyekolahkan anaknya. “Pada 2006 saya bisa beli kaveling di Sagulung Baru seharga Rp4 juta. Itu semua hasil tabungan selama menjahit,” ujarnya.
Dalam usaha menjahit, dia tidak pernah mematok harga mahal kepada pelanggan. Ongkos untuk jasanya hanya Rp15 ribu hingga Rp30 ribu. Baginya, selain untuk mencari nafkah, usaha menjahit juga untuk saling membantu. Karena itulah, sering ada orang yang datang memermak pakaian tetapi tidak memiliki uang, dan Masril mengerjakannya secara cuma-cuma. “Karena memang mereka juga orang susah. Saya mikir kerja ini sekalian nyari amal,” ujarnya.
Masril adalah orang yang giat bekerja kendati kehidupan membawanya ke bibir jurang penantian. Sebagai manusia dia ada, dia berusaha, dan menemukan jalannya dengan menjahit harapan di pinggir Nagoya, Batam. (Hendra Mahyudi, calon reporter HMS)