Kasus kesalahan pemberian obat disidangkan di Pengadilan Negeri Medan pada 21 Oktober 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan tiga saksi, yakni dr. Tengku Abraham; pemilik apotek Istana 1 Medan, Etika Surbakti; dan apoteker Darwin Pardede.
Kasus ini bermula saat saksi korban Yusmaniar menderita penyakit dalam dan pergi berobat ke dokter spesialis penyakit dalam dr. Tengku Abraham, yang kemudian menuliskan resep obat Methylprednisolone untuk dibelikan di apotek pada 6 November 2018. Pada 13 November 2018 pihak keluarga kembali membeli obat yang hampir sesuai dengan resep yang sama ke Apotek Istana 1 di Jalan Iskandar Muda, Medan, dan saat itu diterima dua pekerja apotek, yaitu Oktarina Sari dan Sukma Rizkiyanti Hasibuan.
Kesalahan terjadi pada saat itu. Dua pekerja apotek tersebut memberikan obat antidiabetes Amaryl M2. Obat itu pun diberikan kepada Yusmaniar. Namun, tiga hari kemudian kondisi kesehatannya bukannya membaik, tetapi dia menjadi kejang-kejang, tidak sadar diri, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pada 21 Desember 2018, putri Yusmaniar, Fitri Octavia Pulungan Noya, melaporkan pihak apotek Istana 1 ke Polrestabes Medan. Kasus ini sempat mengendap selama hampir dua tahun. Namun, pihak keluarga terus melakukan upaya hukum hingga kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam kesaksiannya dr. Tengku Abraham mengatakan resep yang dia tuliskan jelas. “Dari ilmu yang saya tahu, kalau dia [pasien] bukan penyakit diabetes kemudian diberi obat antidiabetes maka akan terjadi penurunan gula darah, berbahaya karena itu bisa mengakibatkan koma,” katanya dalam sidang yang digelar di Gedung Cakra II, Pengadilan Negeri Medan, menjawab pertanyaan anggota majelis hakim Sri Wahyuni.
Majelis hakim mempertanyakan soal prosedur pemberian obat resep dokter. Menurut apoteker Darwin Pardede, secara umum dialah yang sebenarnya bertanggung jawab, tetapi pada saat itu kedua pekerja apotek tidak berkoordinasi kepadanya sebelum memberikan obat Amaryl M2. Hakim juga mempertanyakan kepada pemilik apotek kenapa masih mempekerjakan apoteker yang sudah tua dan kondisi kesehatannya sudah tidak lagi baik.
Kuasa hukum kedua terdakwa, Maswan Tambak dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab Etika Surbakti sebagai pemilik apotek Istana 1. “Kita tidak menyebutkan mereka [kedua kliennya] sebagai asisten apoteker. Memang diterima di situ bekerja, tapi tidak ada [bukti] yang menyebutkan bahwa keduanya asisten apoteker,” katanya setelah persidangan.
Fitri Octavia Pulungan Noya juga kecewa mengapa justru dua pekerja apotek yang menjadi terdakwa. Yang harus bertanggung jawab dalam kasus yang menimpa ibu kandungnya itu, menurutnya, ialah pemilik apotek.