Pemerintah Kota (Pemko) Batam, Kepulauan Riau (Kepri), akan mengkaji ulang pemberlakuan belajar tatap muka di sekolah yang direncanakan dimulai pada pertengahan Agustus 2020 mendatang. Pengkajian ulang diperlukan mengingat kasus positif Covid-19 di Batam terus melonjak.
Wakil Wali Kota Batam, yang juga Ketua Gugus Tugas Covid-19 Kota Batam, Amsakar Achmad, mengaku tengah membuat kajian teknis dan telaah mengenai hal itu. Kajian itu nantinya akan dibahas bersama Dinas Pendidikan Kota Batam, Dewan Pendidikan, dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah. “Kita telaah dulu untuk melihat risiko dan konsekuensi. Kalau sekolah itu kita mulai seperti apa, atau sekolah itu kita batasi, itu seperti apa? Tunggu dulu hasil kajian itu,” ujarnya kepada HMStimes.com, Selasa, 4 Agustus 2020.
Menurut Amsakar, anak-anak adalah hal yang paling terpenting bagi setiap orang tua siswa. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan risiko bagi anak-anak sehingga pemerintah sendiri belum bisa menetapkan waktu yang pas untuk anak-anak mulai bisa belajar di sekolah. “Kita lihat nanti hasil kajian teknisnya, bisa jadi diberlakukan [belajar di sekolah], bisa jadi tidak diberlakukan. Dinas Pendidikan saat ini tengah merumuskan plus minus pemberlakuan itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Pemko Batam mewacanakan akan kembali mengaktifkan anak-anak untuk belajar di sekolah pada pertengahan Agustus mendatang. Pengaktifan sistem belajar di sekolah ini dilaksanakan dengan membatasi jumlah siswa per kelas. Sebelumnya jumlah maksimal siswa per kelas mencapai 40 orang, tetapi jumlah tersebut direncanakan akan dikurangi menjadi 20 orang saja. Selain itu, konsekuensinya adalah jadwal sekolah dibagi menjadi dua waktu, yakni pagi dan siang.
Rencana tersebut mendapat respons positif dari masyarakat, salah satunya Rina, warga Genta I, Batuaji. Menurutnya, wacana Pemko Batam mengaktifkan kembali proses belajar di sekolah merupakan kabar yang menggembirakan. “Sebagai orang tua, itu kabar gembira buat saya. Tapi, kalau bisa, jangan semua murid di dalam kelas itu, dibagi jadi tiga bagian jam belajar. Misal, kalau jumlah murid satu kelas tiga puluh orang, dibagi lagi jadi tiga bagian. Jadi, sekolahnya juga enggak usah ada istirahat, meminimalisir perkumpulan anak-anak, dan [anak-anak] enggak usah jajan, bawa bekal masing-masing,” ujarnya kepada HMStimes.com, Rabu, 5 Agustus 2020.
Menurut Rina, tidak semua anak memiliki nasib beruntung di mana orang tua mampu memenuhi fasilitas ponsel untuk anaknya dalam belajar secara daring. Selain itu, tidak semua orang tua memiliki kemampuan serta berpendidikan tinggi untuk dapat mengajari anaknya di rumah. “Kalau Bapak Menteri tidak menyarankan sekolah diaktifkan, fasilitas apa yang dikasih buat siswa di rumah?” ujarnya.
Kendati demikian, Rina mengaku dirinya tidak terlalu kesulitan dalam mengajari anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD. Menurutnya, madrasah pertama bagi anak adalah sang ibu. Rina mengaku senang dapat mengajari anak di rumah meskipun ada beberapa mata pelajaran yang tidak dipahami Rina. Namun, dia jauh lebih suka anaknya belajar di sekolah, karena sang anak dapat bersosialisasi, berkomunikasi dengan guru, teman, dan tentunya mendapatkan ilmu yang lebih baik.