Rambut cepak Frengki Wijaya (57) sudah memutih sempurna. Gaya jalannya separuh bungkuk. Dari kehidupan mewah hingga kehidupan paling susah sudah pernah dia rasakan. Sekarang dia mengasuh orang-orang sakit jiwa, yang bernasib sama seperti dirinya dahulu.
Siang itu, 6 Oktober 2020, sesaat sebelum selesai berkeliling melihat bilik-bilik sempit nan pengap serupa penjara tempat sekelompok orang dengan gangguan jiwa [ODGJ] dirawat di Yayasan Muhammad Al-Fateh di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, langkah saya dan Frengki Wijaya tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya tidak lepas dari sebuah sel bernomor 11, yang masih dibiarkan kosong dan penuh dengan coretan di dinding. Dia tersenyum memandang sudut-sudut ruangan berukuran 1,5 x 2 meter itu. Kemudian, sebelum sempat saya tanyakan, dia sudah merawikan bahwa di dalam sel itulah dulunya kegilaannya menjadi-jadi. “Saya pernah di sini. Ini tempat saya dirawat dulu,” kata Frengki. Dia pernah menyandang status sebagai pasien ODGJ di pusat rehabilitasi, penjagaan, dan pembinaan orang sakit jiwa, difabel, dan orang telantar ini.
Kisahnya di yayasan ini dimulai ketika ia datang pertama kali untuk dirawat pada Februari 2017. Dia diantarkan oleh adik kandungnya, Lim Yian Tek. Waktu itu Frengki dianggap tidak waras karena sering berhalusinasi mendengar suara-suara aneh yang berbisik di kupingnya, yang kalau sedang kumat membuat dia lepas kendali, menjerit, dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya.
Karena keganjilan perilakunya, dia terpaksa dikurung dalam ruangan isolasi serupa penjara zaman penjajahan, tempat puluhan pasien ODGJ dirawat. Hampir genap dua tahun lamanya ia berada di sana, di dalam bilik sempit tanpa kakus dan lampu. Dia tidur beralaskan lantai tanpa selembar pun kain selimut. Dia harus menyingkir ke pojok sel apabila hujan turun, karena airnya masuk sampai ke dalam sel. Saban hari dia hanya memakan nasi putih dengan lauk pauk seadanya. “Makan dua kali sehari. Memang kadang ada tamu yang bawa nasi kotak, tetapi dalam situasi itu makan pun pasti takenak,” kata Frengki.
Semua yang terjadi semasa pengobatan untuk mengembalikan kewarasannya itu masih teringat jelas dalam benaknya, bahkan dia sadar apa saja yang dia lakukan. Memorinya merekam dengan terperinci seluruh ketakutan dan kesepian yang dia rasakan sewaktu dikurung seperti binatang. Anehnya, dulu dia enggan melawannya, dan dengan penuh keyakinan dia mengikuti semua penyimpangan yang berasal dari pikirannya sendiri.
“Ingat saya semuanya. Saya ngoceh sendiri. Saya selalu merasa kepanasan karena ruangan itu pengap. Bagaimana perlakuan penjaga, ada yang baik dan tidak baik mengurus saya, itu semua saya ingat,” kata Frengki.
Salah satu penyimpangan yang dia lakukan adalah memenuhi seluruh dinding kamarnya dengan kalimat tidak beraturan yang dia tulis menggunakan kotorannya sendiri. Ada beberapa kata yang dia tulis lebih banyak daripada kata lainnya, yakni “Tuhan Yesus”, “Roh Kudus”, dan “Mengikuti jalan Allah”. Sisanya tulisan berupa alamat, nama seseorang, atau nomor rekening bank. Ketika ditanyakan mengapa dia menulis itu, “Saya dulu datang ke sini pertama kali karena halusinasi itu, menceret-menceret, saya tulislah pakai itu. Pokoknya apa yang saya ingat saya tulis,” katanya.
Halusinasi yang dia dengar itu menyuruh Frengki untuk melakukan pembunuhan. Ketika suara itu muncul, emosinya sulit sekali terkendali. Ketika saya tanyakan apakah perintah untuk membunuh itu pernah diturutinya, dan apakah ada orang yang pernah menjadi korbannya, Frengki hanya tersenyum.
“Ada bisikan di telinga saya yang menyuruh saya membunuh semua orang. Suara itu terdengar seperti suara orang yang saya kenal. Dia berbahasa Mandarin, selalu muncul tiba-tiba,” katanya.
Pada masa itu yang paling dia takuti sekaligus senangi adalah kala langit berganti menjadi gulita. Kalau kondisi mentalnya sedang tidak parah, dia akan betah memandangi cahaya bulan dari balik sel yang berada di lorong-lorong tanpa atap itu. Sebaliknya, ketika sedang kambuh, dia akan berputar-putar mengelilingi sel, bertingkah gelisah, dan bernafsu membunuh.
Frengki menjadi tidak waras seperti itu setelah bertahun-tahun makan hati berulam jantung akibat orang dekatnya sendiri. Dia merasa terpinggirkan setelah semua usaha yang dibangunnya bangkrut dan anak-anaknya tidak lagi menaruh hormat kepadanya. Dia mengalami depresi. Dia murung dan merasakan kepedihan, dan tidak punya kawan bercerita.
Waktu itu ketiga anaknya, yang semuanya sudah berumur 30-an tahun, terlalu sibuk dengan kehidupannya masing-masing sehingga kondisi ayahnya yang sedang dalam kesulitan dan sebatang kara di Batam tidak pernah mereka ketahui. Istrinya berada di Medan dan sudah lama berpisah dengannya. “Tetapi itu masa lalu. Sekarang anak-anak sudah perhatian sama saya. Mereka tinggal di Jakarta,” katanya.
Pria kelahiran Tanjung Balai Asahan, Sumatra Utara, ini dulunya adalah seorang pengusaha yang cukup terkenal di zamannya. Dia memiliki sejumlah usaha kuliner yang tersebar di beberapa titik di Kota Batam. Karena ide ekspansi usahanya yang tak terkendali, akhirnya dia memiliki utang di mana-mana. Dia harus merelakan satu per satu aset usahanya dijual atau diambil alih oleh orang yang dia berutang. Akhirnya dia bangkrut total pada tahun 2016.
Frengki baru dinyatakan waras dan merdeka dari lorong penjara yang memiliki aroma aneh itu bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 2019. “Pertama kali keluar itu rasanya senanglah, tidur nyaman, tidak pengap. Udara di luar segar,” katanya.
Sekarang dia diberikan kesempatan oleh ketua yayasan untuk mengabdikan diri merawat para ODGJ. Semua itu dia lakukan secara cuma-cuma tanpa bayaran sepeser pun. “Sampai anak saya menjemput. Salah satu anak perempuan saya pernah datang menjenguk saya. Saya berharap anak saya cepat menjemput saya. Itu hal yang paling saya harapkan,” katanya.
Sebagai pengasuh ODGJ, Frengki mengakrabi semua pasien selayaknya keluarga. Tidak hanya mendampingi, dia juga memandikan dan memberi pasien makan dan minum. Setiap pagi dia menyapa pasien yang duduk melamun di lantai, dan mendengarkan ocehan mereka yang tanpa makna. Dia membersihkan bilik-bilik sel yang dipenuhi air kencing serta tahi, dan sering badannya menjadi kotor akibat keusilan pasien. “Saya waktu mau bersihkan mereka kadang dilemparin pakai tahi. Mereka bilangnya gini, ‘Eh, nyari tahi ya, ini.’ Mereka teriak sambil lempar saya, terus ketawa-ketawa mereka semua,” kata Frengki.
Pada waktu luangnya, Frengki senang mengobrol atau mendengarkan ceramah ustaz di yayasan ini meskipun agamanya bukan Islam. “Saya sendiri dalam KTP agama Kristen. Kepercayaan ikut orang tua, ya Buddha. Bukan Islam, tetapi diurus oleh orang Islam. Makanya saya netral,” katanya.
Menurut pengurus yayasan, Abdul Qodir Jaelani, kondisi kejiwaan Frengki sudah stabil dan karena itulah dia sekarang dipercaya membantu tugas-tugas pengurus. Beberapa mantan pasien lainnya yang sudah sembuh juga memilih tetap berada di yayasan karena tidak tahu harus pergi ke mana. “Mereka membantu saya memberikan makanan dan tugas-tugas lain. Dia [Frengki] sudah sehat, sudah dua tahunan lebih berada di sini,” kata Abdul Qodir Jaelani.