Kecamatan Belakang Padang menjadi satu-satunya daerah di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, yang sampai kini masyarakatnya masih menggunakan becak sebagai moda transportasi. Meski kian tergerus oleh zaman, keberadaan becak dayung itu sempat menjadi primadona.
Sebelum becak hadir pada medio 1979-1980, masyarakat Belakang Padang mengandalkan sepeda untuk berbagai keperluan di seputaran pulau tersebut. Dengan luas wilayah yang hanya mencapai 68,4 kilometer persegi, sepeda dianggap cukup menjadi alat transportasi. Namun, oleh transmigran asal Jawa, pada tahun 1980 becak kali pertama hadir di Belakang Padang.
Mantan penarik becak di Belakang Padang, Jusuf (55), mengatakan becak mulanya dimiliki oleh warga lokal yang membelinya dari salah satu kapal pengangkut barang sebanyak empat buah. Keperluannya pun hanya sebagai alat angkut barang di pasar. Selang tiga tahun kemudian jumlahnya bertambah 10 buah dan menjadi 14 unit. “Jadi, mulai dari 1983 itu becak jadi transportasi umum di Belakang Padang, tak cuma jadi alat angkut barang saja. Penarik becak juga kebanyakan orang Jawa, sisanya ada orang Padang dan warga lokal,” katanya kepada HMStimes.com, 19 Agustus 2020.
Dua tahun kemudian ia diminta oleh warga Belakang Padang untuk membuat becak sebanyak 26 buah. Berbekal pengetahuannya selama remaja, yang sering bermain di bengkel sepeda, permintaan itu pun diamininya.
Tingginya minat masyarakat Belakang Padang yang bepergian menggunakan becak membuat kendaraan roda tiga itu dijadikan sebagai lumbung rupiah bagi sebagian warga. Tidak sedikit warga yang sebelumnya bekerja sebagai nelayan akhirnya ikut mengayuh becak setiap hari. “Pendapatannya lumayan. Kalau pegawai pemerintah gajinya Rp3 juta per bulan, penghasilan dari becak itu bisa sampai Rp6 juta,” katanya.
Sampai 1990-an, kata dia, jumlah becak di Belakang Padang mencapai 170 buah. Namun, keberadaannya makin lama makin berkurang.
Sebagai penarik becak di masa awal, Jusuf sempat dipercayai menjadi bendahara Ikatan Persatuan Becak (IPB). Komunitas itu dibentuk sebagai wadah komunikasi para penarik becak dan ruang berbagi antarsesama. Tapi sayang, komunitas itu akhirnya dibubarkan lantaran beberapa anggotanya enggan membayar iuran bulanan. “Padahal per bulannya cuma dimintai Rp1.000 saja. Gunanya iuran itu nanti dipakai buat sumbangan kalau ada anggota yang lagi kemalangan atau hajatan,” ujar Jusuf.
Saking banyaknya becak di Belakang Padang, setiap becak yang ada di sana memiliki surat dari kepolisian dan nomor pelat. Setiap tahunnya becak-becak yang terdaftar di kantor kepolisian wajib membayar biaya Rp25 ribu. Tiap tahun pula surat becak dan nomor pelat berganti baru. Hal itu berlangsung sejak tahun 1987 sampai 1998.
Selain menjadi salah satu penarik becak di masa awal, Jusuf juga dipercaya sebagai montir khusus becak dayung. Sampai kini ia menjadi satu-satunya pemilik bengkel becak di Belakang Padang. Tak hanya itu, kepiawaiannya dalam membuat, memodifikasi, dan menyervis becak terdengar sampai ke Kota Batam. Beberapa perusahaan swasta di Batam pernah memintanya membuat becak untuk berbagai keperluan. Bahkan, salah satu studio perfilman internasional di Nongsa, Batam, pernah menggunakan jasanya. “Waktu itu saya diminta bikin becak angkong. Mereka cuma menyodorkan gambar saja tanpa ada penjelasan detail. Setelah saya perhatikan sebentar, baru saya bilang oke, bisa dikerjakan,” katanya. Becak angkong yang kini terpajang di studio perfilman itu dikerjakannya dalam kurun waktu dua minggu. Seluruh desain dan rancangannya dibentuk berdasarkan gambarnya saja. “Dulu memang pernah kepikiran buat becak kayak gitu. Setelah ada permintaan, jadinya enggak susah,” katanya.
Pria asal Purbalingga, Jawa Tengah, ini mengatakan keputusannya menjadi penarik becak lantaran susahnya kehidupan di kampung halaman. Ijazah sekolah menengah atas yang dimilikinya tak cukup untuk dijadikan modal mencari kerja. Ia akhirnya merantau ke Batam dan ditawari bekerja sebagai kuli bangunan. “Di kampung, saya sempat kerja di bank selama lima tahun dengan gaji Rp21.400 per bulan. Karena tak cukup, akhirnya merantaulah ke Batam,” katanya.
Selama di Kota Batam ia menjadi kuli bangunan di sebuah proyek perumahan Otorita Batam (kini BP Batam) di Sei Harapan, Sekupang, Batam. Selama menjadi kuli bangunan, ia mendapat gaji Rp3.500 per harinya. Sekali waktu Jusuf pernah didatangi oleh beberapa orang dari Otorita Batam yang menawarkan pekerjaan di Otorita Batam dengan gaji Rp28 ribu per bulan plus 15 kilogram beras. “Tapi saya tolak. Beberapa minggu kemudian ada lagi yang datang dari Kantor Pos nawarin kerja juga. Gajinya Rp27 ribu, dapat motor, sama 15 kilo beras. Tapi saya tolak juga, gajinya kecil,” katanya sambil terkekeh.
Bagi Jusuf, becak memiliki peran besar dalam hidupnya. Dari becak pula ia dapat mendirikan sebuah rumah yang dijadikannya bengkel becak dan sepeda motor, serta warung kelontong. Penghasilannya sebagai penarik becak pun membuat Jusuf mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang kuliah.
“Tapi kalau sekarang, sudah pasti sulit keadaannya. Selain minat masyarakat yang kurang buat naik becak, harga motor juga sudah murah. Makanya kalau sekarang, becak sudah takbisa lagi dijadikan sebagai pekerjaan utama,” kata Jusuf.