Monte Reza, warga Bengkong Kolam, masih bersemangat mengayuh mesin jahit, padahal usianya sudah tua. Di ujung jalan Simpang Dam, Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau, ia bersama dengan lima orang rekannya penjahit terlihat sedang menunggu order. Kepada HMStimes.com, 8 September 2020, ia mengatakan masih sanggup menekuni pekerjaannya meskipun rambut di kepalanya sudah dipenuhi uban.
Ayah tiga anak ini merantau ke Batam tahun 1994 dari kampung halamannya di Padang, Sumatra Barat. Ia mengawali usaha menjahit di Jodoh, Batu Ampar. “Pertama sekali saya coba buka di Jodoh. Kalau di sini saya sudah dua puluh tahun,” kata Monte. Berkat kerja kerasnya, kini anaknya telah lulus dari Universitas Andalas, Padang, sedangkan anak bungsunya masih di bangku SMK.
Setiap hari ia memulai pekerjaannya dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 10.00 malam. Tiap hari ia berangkat dari Bengkong ke Muka Kuning dengan angkutan umum. Ia dan rekannya menyewa lapak di pertigaan Simpang Dam seharga Rp250 ribu per bulan.
Tak seperti dua puluh tahun yang lalu, saat ini penghasilannya menurun tajam, cuma rata-rata Rp60 ribu per hari. Terkadang ia tak mendapatkan order sampai dua hari.
Ia mengatakan penjahit di lapak itu sempat sebanyak lima belas orang, tetapi saat ini tinggal lima orang. Berkurangnya omzet, menurutnya, setelah perusahaan di Muka Kuning banyak yang tutup. Selama ini keuntungannya tergantung dari jumlah karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan di Muka Kuning, karena pelanggannya hampir semuanya karyawan perusahaan.
“Sewaktu karyawan di Muka Kuning masih tujuh puluh ribu, penghasilanku lumayan,” katanya. Bahkan, pada masa itu ia sempat menolak bantuan dana dari Pemerintah Kota Batam bagi pengusaha kecil menengah.
Sekarang sebaliknya. Karena order sepi, dia sudah mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat kepada pengusaha kecil di tengah pandemi Covid-19. Dua minggu yang lalu ia sudah mendaftar di Kelurahan Bengkong. “Tetapi belum saya terima. Mungkin nanti,” katanya.