Komisi I DPRD Kota Batam menggelar rapat dengar pendapat (RDP) terkait dengan penahanan ijazah karyawan oleh PT Racer Technology Batam dan tiga perusahaan lainnya dengan mengundang Polresta Barelang, Dinas Ketenagakerjaan Kota Batam, UPT Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau, perwakilan karyawan, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (YLBHN) di ruang rapat Komisi I, 5 November 2020. Pada RDP tersebut Epi Elpilarosa, mantan karyawan PT Racer Technology Batam yang disuruh mengundurkan diri dan ijazahnya ditahan, tidak bisa hadir, karena dia melahirkan, sehingga dia diwakili oleh YLBHN.
Menurut anggota YLBHN, Religius Sarumaha, “Epi hamil pada 13 Mei 2020. Epi disuruh membuat surat pengunduran diri, karena sudah melanggar peraturan perusahaan. Sementara ijazah Epi masih ditahan, pihak perusahaan beralasan akan mengembalikan pada bulan Desember 2020, karena kontrak Epi selesai pada bulan itu. Hak-hak normatifnya juga tidak diberikan.”
Liangelina Sabina, manajer HR PT Racer Technology Batam, mengakui ada aturan lisan bahwa pekerja wanita di perusahaan itu dilarang hamil. “Ada penahanan ijazah, dan akan dikembalikan setelah habis kontrak. Saudari Epi itu mengundurkan diri, bukan PHK, cuma ada hak-haknya yang memang kita tahan. Kita sudah menempuh tiga kali bipartit, dua kali mediasi. Hasilnya, dianjurkan agar kontraknya dikembalikan [bayar sisa kontrak] dan ijazahnya juga dikembalikan,” katanya.
Menurut Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepri, Aldy Admirel, “Secara filosofi ini tidak dibenarkan, apalagi berpotensi melanggar UU Dasar Pasal 28. Kami sangat tidak menganjurkan perusahaan melakukan penahanan ijazah. Ada sistem di perusahaan yang harus diperbaiki, bukan justru membebankan kepada pekerja.”
Ketua Komisi I DPRD Batam, Budi Mardianto, mengatakan, “Perusahaan jangan hanya bicara masalah untung, tapi harus profesional terkait hak dan kewajiban.”
Utusan Sarumaha, anggota Komisi I DPRD Batam, kaget mendengar PT Racer Technology Batam yang sudah beroperasi belasan tahun di Batam tetapi belum memiliki peraturan perusahaan. “Alasan mengundurkan diri karena hamil itu sudah keterlaluan. Itu melanggar hak asasi manusia yang dilindungi undang-undang. Kami [Komisi I] bersama PTSP [Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu] akan maju sidak bersama. Kami akan cek perizinannya. Ini serius!” kata Utusan.
Aldrien Steven Pati, direktur YLBHN, mengatakan kepada HMStimes.com, “Apresiasi saya kepada DPRD Provinsi Jawa Timur dan Pemda Provinsi Jawa Tengah karena dengan tegas mengeluarkan perda dan surat edaran sebagai landasan yuridis terkait larangan penahanan ijazah di wilayah masing-masing. Kami dari YLBHN siap bersinergi dengan DPRD Kota Batam apabila mengalami kesulitan menyusun naskah akademik terkait ranperda yang mengatur ketenagakerjaan yang memuat pelarangan penahanan ijazah oleh pengusaha di Kota Batam.”