Pandemi Covid-19 membuat sejumlah agenda masyarakat yang sudah terjadwal sejak lama, terpaksa ditunda atau diundur. Bilapun tetap berlangsung, acara-acara penting atau pagelaran adat harus dilaksanakan dalam waktu yang singkat, setelah adanya larangan pemerintah agar masyarakat tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak.
Hal itu terjadi pada Grace Sitorus (26). Pernikahannya dengan Aderyan Habeahan (28), yang rencananya digelar pada 4 April 2020 lalu, terpaksa ditunda dan baru dilaksanakan pada Sabtu, 8 Agustus 2020. Penundaan ini dilakukan setelah dikeluarkannya Maklumat Kapolri yang melarang diadakannya acara yang mengundang keramaian. “Terpaksa ditunda waktu itu, karena ada larangan akibat Covid-19 ini. Jadi kita tunggu sampai waktu yang tepat,” kata Risma Pardede (53), orang tua Grace, kepada HMStimes.com, Senin 10 Agustus 2020.
Risma, orang tua Grace, menjelaskan acara pemberkatan nikah putrinya itu baru dilaksanakan setelah penundaan selama lebih kurang empat bulan, di Gereja HKBP Resort Sumatra Barat, Jalan Gurun Dalam No. 3, Padang, Sumatra Barat. Acara itu hanya dihadiri keluarga inti karena keluarganya masih dihantui ketakutan virus corona Covid-19, meskipun sebelumnya ia telah mengundang sanak saudara yang berada di Balige, Kabupaten Toba, Medan dan Tebing Tinggi, Sumatra Utara (Sumut). Hingga akhirnya, pada 6 Agustus 2020 pagi hari, Risma, yang merupakan warga Tebing Tinggi itu berangkat ke Padang, dengan membawa keluarga yang tidak lebih dari satu mobil bus bermuatan tidak lebih dari 20 orang. Usai acara pemberkatan digelar, seperti lazimnya acara pernikahan Batak, acara adat dilanjutkan di aula gereja.
Acara yang dihadiri keluarga inti dan orang terdekat itu berlangsung dengan mengikuti protokol Covid-19. Undangan awalnya direncanakan 1.000 orang dari kedua belah pihak keluarga, namun dibatasi jadi 300 orang. Tamu undangan diharuskan menggunakan masker dan pelindung wajah (face shield). Selain itu, acara pun dipercepat, hanya sampai pukul 15.00, sesuai aturan Pemerintah Kota Padang, meskipun status kota zona hijau. Kendati demikian, tidak ada acara adat yang dihilangkan dan acara digelar dengan cara mempersingkat semua rangkaian.
“Semua perwakilan dari pihak keluarga hadir, namun ketika menyampaikan ulos dari pihak paman kedua belah mempelai, acaranya menjadi dipersingkat, cukup yang mewakili saja, tidak ada panjang lebar,” kata Risma yang dihubungi melalui sambungan telepon.
Budayawan Batak, Thompson Hutasoit, menjelaskan pernikahan merupakan salah satu acara budaya yang tidak lepas dari Batak. Tahapannya dimulai dari acara pertemuan kedua belah keluarga (marhusip), membicarakan mahar dan rencana (marhori hori dinding), acara pertunangan (martumpol), acara memanggil keluarga dan kerabat, serta acara adat pada saat pernikahan (adat nagok). Namun, pandemi virus corona tampaknya telah mengubah peradaban Batak yang kompleks itu.
Menurut Thomson, untuk adat pernikahan, tidak masalah acara dipersingkat, sepanjang tidak menghilangkan nilai-nilai yang ada. “Saya kira lebih gampang menyesuaikan, karena adat pernikahan bisa dilakukan berselang dengan waktu pemberkatan nikah pasangan. Proses pranikah juga sudah biasa disatukan jika ada dua-tiga tahap yang perlu diketahui dan diperhatikan,” kata Thompson yang dihubungi, Senin, 10 Agustus 2020.
Begitu juga untuk acara kematian, dapat menyesuaikan kondisi yang terjadi. Acara kematian dapat dipersingkat sesuai dengan kebutuhan, seperti pemberian ulos saput dan tujung. Pemberian ulos kepada keturunan dan kerabat yang mati disesuaikan urgensi dan teknisnya.
Untuk adat kematian bagi orang yang belum berkeluarga umumnya dilakukan singkat. Beda halnya dengan kematian yang sudah menikah, bahkan sudah sari matua, saur matua bahkan adat panakkokhon saring-saring (mangongkal holi, pahothon batu na pir/tambak), pelaksanaan ritual adat akan disesuaikan dengan tingkatan generasinya agar tingkat Dalihan Natolu dapat disesuaikan.
Menurut Thompson, sepanjang berpegang pada filosofi dulu Batak Dalihan Natolu, budaya bisa berubah, seperti pada pandemi. Dalam buku “Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaanya” (Penerbit Grafina, 1982), Nalom Siahaan menjabarkan filosofi Batak “Dalihan Natolu”, terdiri dari tiga elemen yang saling menghomati, yaitu Somba Marhula-hula (hormat kepada keluarga pemberi pengantin perempuan atau istri), Elek Marboru (bersikap membujuk kepada pihak penerima istri) dan Manat Madongan Tubu (saling menghormati kepada sesama satu marga).
Pada masa pandemi Covid-19, kata Thompson, adat untuk Saur Matua (acara adat kematian bagi orang yang sudah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan) dapat dilakukan sewaktu hidup, dan ketika meninggal dunia hanya pelaksanaan upacara sesuai religi atau agama yang dianut. “Sebab, substansi adat harus disadari juga untuk kebutuhan manusia yang masih hidup. Orang mati tidak mengetahui lagi kalau adat dilaksanakan atau tidak, waktu kematiannya,” kata Thompson, yang juga merupakan pendiri Pusat Pelatihan Opera Batak (PLOt) itu.
Sementara itu, menurut antropolog, Prof Dr Bungaran Antonius Simanjuntak, adanya pembatasan pada acara budaya Batak tentu akan memunculkan sisi negatif dan positif. “Sisi negatif, keakraban dan kekeluargaan (partondongon) akan berkurang. Tidak ada salam-salaman maupun berpelukan, yang selama ini sangat identik dalam setiap acara Batak, manortor (tarian Batak) pun harus dibatasi,” kata Prof Bungaran ketika dihubungi HMStimes.com, Senin, 10 Agustus 2020. Sedangkan sisi positifnya, adat Batak bisa dipersingkat dari sebelumnya yang digelar sangat lama. Acara pernikahan yang seyogyanya digelar hingga sore, bahkan malam hari, dapat dipercepat saat pandemi Covid-19, seperti saat ini. “Sepanjang unsur Dalihan Natolu sudah terwakilkan, sebenarnya adat Batak itu sudah sah. Kalau selama ini ada yang sangat lama, itu karena memang waktunya memungkinkan. Namun, pada kenyataanya, budaya bisa berubah. Dari dulu juga bisa berubah oleh faktor ekonomi dan kemajuan zaman, tapi sekarang karena virus corona,” katanya.
Sisi positif lainnya ialah gelaran satu acara Batak bisa digelar lebih ekonomis, karena undangan akan menjadi sedikit, yang biasanya mengundang 1.000 tamu, karena pembatasan, maka cukup sepertiga saja. “Ya cuma, ada pulalah nanti yang jadi sakit hati karena tidak diundang, padahal sebenarnya karena pembatasan. Sebab, sekarang kan hanya boleh sepertiga dari isi gedung. Misalnya, kalau gedung itu berkapasitas 1.000 orang, yang diundang cuma 300 orang,” katanya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Pelestari Budaya Batak, Prof Albiner Siagian, mengatakan pandemi Covid-19 belumlah berakhir dalam waktu dekat, sehingga nampaknya tiada pilihan manusia selain hidup berdampingan dengan virus corona tersebut. Dengan demikian, aktivitas adat dan budaya pun sudah dapat dilaksanakan, tetapi dengan mengikuti aturan pemerintah terkait dengan pengumpulan massa. “Saya pikir, pandemi Covid-19 harus kita jadikan sebagai momentum bagi pengembalian ritual adat, seperti adat pernikahan dan adat saridan saurmatua, ke hakikat (sintuhu) adat itu. Barangkali, kita sepakat bahwa tata cara ritual adat Batak akhir-akhir ini sudah jauh menyimpang dari hakikatnya. Walaupun perubahan, termasuk dalam hal ritual adat, adalah keniscayaan, akan tetapi perubahan itu tidaklah harus mengubah hakikat adat yang diwariskan oleh para pendahulu kita. Ambil saja contoh soal mangulosi dan pemberian panandaion. Itu sudah jauh menyimpang dari hakikat pemberian ulos dan panandaion. Kedua hal ini acapkali membuat acara adat berlama-lama,” katanya kepada HMStimes.com, Senin, 10 Agustus 2020 sore.
Karena itu, katanya, dia setuju jika ritual adat kembalikan ke hakikatnya, walaupun bukan berarti menyederhanakannya, seperti yang selama ini banyak disuarakan oleh tokoh adat. “Memberi uloslah yang patut memberikannya. Menerima uloslah pihak yang secara adat pantas menerimanya. Tambahan lagi, sampaikanlah panandaion kepada pihak yang patut dikenali pada acara adat itu. Dan, jangan dilupakan. Yang seharusnya mengenal (mananda) adalah pengantin pria (pangoli) itu, bukan parsinabun atau boru dari pihak pengantin pria (paranak),” katanya.