Anak-anak Utian boru Simatupang melakukan protes ketika ibu mereka akan diusir paksa dari rumah yang telah lama ditempatinya di Desa Siraja Hutagalung, Kecamatan Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, 9 September 2020. Rekaman video penolakan keluarga Utian terhadap eksekusi rumah oleh petugas Pengadilan Negeri Tarutung itu tersebar di media sosial.
Meski ada perlawanan dari keluarga Utian dan kuasa hukumnya, Poltak Silitonga, eksekusi rumah tetap dilaksanakan dan dikawal polisi. Anak dan menantu Utian Simatupang menangis histeris ketika bangunan bertingkat dua itu dipreteli satu per satu. Saking kecewanya, mereka menyiram juru sita PN Tarutung sembari meneriaki, menghalau, dan mendorong petugas ketika rumah Utian dibongkar.
Saat ini Utian Simatupang tinggal sementara di rumah yang disediakan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. “Kita membantu semampu kita, menunggu mereka ada tempat tinggal menetap,” kata Nikson Nababan, Bupati Tapanuli Utara, via pesan instan kepada HMStimes.com, Minggu, 13 September 2020.
Poltak Silitonga, pengacara Utian, mengatakan Bupati Nikson Nababan turut prihatin melihat kondisi Utian dan keluarganya. Bahkan, Bupati berpesan kepada Poltak supaya terus membantu keluarga Utian lewat jalur hukum.
Menurut Poltak Silitonga, pihak PN Tarutung terlalu dini mengeksekusi rumah Utian Simatupang, karena menurut undang-undang, pengadilan tidak memiliki ranah untuk membatalkan surat sertifikat rumah Utian yang dikeluarkan Pengadilan Tata Usaha Negara Negara (PTUN) tahun 2008 silam. Berikut penuturan Poltak Silitonga lewat telepon kepada HMStimes.com, Sabtu, 12 September 2020.
Tanah Utian Simatupang adalah bagian dari tanah suaminya, Mula Sahat Hutagalung, yang diperoleh dari mertuanya, Cyrus Hutagalung. Mertuanya memiliki dua saudara, Helder Hutagalung dan Perekenius Hutagalung. Cyrus Hutagalung, Helder Hutagalung, dan Perekenius Hutagalung adalah anak dari Ombricius Hutagalung.
Dulunya mereka bertiga masing-masing mendapat bagian tanah yang sama, yakni 7 x 7 meter untuk Helder, 7 x 7 meter untuk Perekenius, dan 7 x 7 meter untuk Cyrus. Seiring berjalannya waktu, keturunan Perekenius menetap di luar Tarutung, sedangkan keturunan Cyrus menetap di kampung halamannya itu. Karena tinggal di kampung, Mula Sahat Hutagalung membangun rumah di tanah bagian bapaknya dan menyertifikatkannya.
Tahun 2012, keturunan Perekenius datang ke Tarutung dan menguasai tanah miliknya, termasuk tanah bagian Mula Sahat Hutagalung. Mulailah timbul masalah di antara keluarga Cyrus dan keluarga Prekenius. Tanah Mula Sahat digugat oleh anak Perekenius yang bernama Baldwin Hutagalung dengan alasan tanah itu adalah harta bersama. Di pengadilan tingkat pertama Mula Sahat kalah. Ia pun naik banding. “Tidak kalah, tidak menang orang itu di pengadilan tinggi,” kata Poltak. Lalu, Baldwin Hutagalung mengajukan kasasi, tetapi ditolak oleh Mahkamah Agung. “Menanglah Utian Simatupang, istri Mula Sahat,” kata Poltak.
Tahun 2017, Baldwin meninggal. Saudara-saudara Baldwin yang lain pun meninggal. Sebelumnya, saudara-saudara Baldwin telah memberikan surat kuasa kepada Baldwin untuk menangani tanah yang mereka klaim sebagai tanah mereka. Setelah Baldwin meninggal, lalu istrinya, Sondang Togatorop, kembali menggugat Utian Simatupang dengan menggunakan surat kuasa almarhum suaminya. “Seharusnya tidak boleh menggunakan surat kuasa orang meninggal,” kata Poltak. Tahun 2018, Sondang menang di pengadilan negeri. Putusan pengadilan menjadi inkrah setelah masa 14 hari tidak ada upaya banding dari Utian.
Kemudian pada November 2019, Utian menerima surat pemberitahuan eksekusi dari PN Tarutung. “Datanglah keluarga Utian meminta tolong kepada saya untuk menangani perkara ini,” kata Poltak.
Pada Januari 2020, Poltak menyusun berkas untuk membela hak Utian dan mendaftarkan perkaranya di PN Tarutung. Keluarga Utian mengatakan kepada Poltak, “Tolonglah, Pak Silitonga, kami tidak mau dieksekusi.”
Poltak pun memasukkan surat permohonan ke PN Tarutung agar PN menunda eksekusi dengan alasan adanya kekeliruan bahwa PN Tarutung membatalkan sertifikat tanah Utian, padahal yang berhak membatalkan sertifikat adalah PTUN. “Saya meminta kepada PN Tarutung untuk menunda eksekusi sampai keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap,” katanya. Sembari mengikuti proses-proses sidang, Poltak mengaku berulang kali memasukkan surat permohonan kepada PN Tarutung untuk menunda eksekusi, tetapi sia-sia, karena kemudian kliennya mendapat surat pemberitahuan eksekusi yang diantar oleh seorang perempuan yang mengaku dari PN Tarutung.
Akhirnya Poltak meminta perlindungan hukum kepada pihak kepolisian, karena proses sidang masih berjalan, dan Utian yang sudah lanjut usia masih tinggal di rumah yang akan dieksekusi itu.
Di lokasi eksekusi, Poltak Silitonga sempat mengatakan apabila nanti Utian Simatupang menang di pengadilan, lantas siapa yang bertanggung jawab untuk mengganti bangunan yang telah dirobohkan itu? “Kalau ada yang berani, tanda tangani sekarang, silakan robohkan,” kata Poltak. “Tetapi semuanya terdiam, takada yang berani menjawab,” katanya kepada HMS.