Ditetapkannya Kaldera Toba sebagai taman bumi (geopark) oleh UNESCO, 7 Juli 2020, jangan hanya menjadi euforia bagi pelaku pariwisata, seni, dan budaya di Provinsi Sumatra Utara, tetapi harus bisa memberikan manfaat kepada masyarakat lokal di kawasan Danau Toba.
Dalam satu sesi webinar yang digelar pekan lalu, peneliti budaya dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. Robert Sibarani mengatakan peristiwa geologi 74.000 tahun lalu ketika terjadinya erupsi Gunung Toba merupakan fenomena alam yang saat ini menjadi berkat bagi masyarakat di kawasan Danau Toba. Karena itu, Sibarani mengusulkan harus ada wadah pendidikan bagi komunitas lokal dan pemerintah daerah yang ada di tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba sebagai upaya pelestarian dan perlindungan Danau Toba. Selain itu, yang tidak kalah penting ialah pemberdayaan ekonomi lokal sehingga terasa manfaatnya bagi penduduk di sana.
“Ini tanggung jawab semua, bukan hanya pemerintah daerah. Harus ada sinergi antara tujuh kabupaten, komunitas lokal, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat,” kata Sibarani.
Sibarani berpendapat, manfaat yang didapatkan masyarakat di sekitar Danau Toba antara lain dengan pengembangan geowisata, yaitu wisata dunia yang berhubungan dengan peristiwa geologi. “Sehingga peristiwa Kaldera Toba akan memikat orang datang ke Danau Toba,” katanya.
Dia mengingatkan pentingnya pemberdayaan masyarakat di Danau Toba melalui pengembangan sektor UKM berbasis tradisi lokal, seperti kuliner dan kerajinan yang lebih menunjukkan ciri khas daerah. “Budaya bisa menjadi daya pikat. Kawasan Danau Toba ada beberapa etnik, Simalungun, Toba, Angkola Mandailing, Pakpak Dairi, Karo. Supaya bermanfaat untuk geotourism, harus digali tradisi lisan, kesenian, tradisi budaya,” katanya.
Menurut Prof. Dr. Robert Sibarani, 16 geosite di kawasan Danau Toba bisa dijadikan destinasi wisata. Untuk mendatangkan wisatawan, konsep pariwisata yang ditawarkan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain atraksi, aksesibilitas (infrastruktur), amenitas (penginapan, restoran, toko cendera mata, kesehatan, dan fasilitas umum seperti sarana ibadah), keamanan, fasilitas tambahan, dan rasa nyaman.
Untuk memperkaya unsur destinasi wisata, Sibarani menyarankan agar mite, dongeng tentang 16 geosite di Danau Toba, dikembangkan sehingga ada cerita yang ditawarkan. “Wisatawan akan menghabiskan waktunya dan dia paham. Ada performance, misalnya siklus kehidupan orang Batak, siklus mata pencaharian. Ada ritualnya, kegiatan komunitas lokal, misalnya penggantian raja bius. Itu sangat menarik,” katanya.
Menurut praktisi sekaligus akademisi seni dan budaya dari USU Dr. Mauli Purba, Danau Toba sebagai salah satu superprioritas pembangunan pariwisata Tanah Air sangat dapat diandalkan dalam rangka menambah devisa negara melalui ekonomi kreatif lokal. Sebagai contoh, gondang sabangunan dan gondang hasapi, yang sangat unik dan merupakan salah satu kekayaan budaya, seharusnya selalu dibawakan dalam setiap acara yang berkaitan dengan pariwisata.
Yang jadi kendala, katanya, banyak kesenian yang seharusnya bisa menarik wisatawan dan sudah banyak dilakukan tetapi miskin konsep, bahkan lokasi pertunjukannya memprihatinkan. Dia mencontohkan pertunjukan tarian sigalegale yang hanya diiringi rekaman musik, atau rekonstruksi mangalahat horbo yang sangat monoton sejak 1980. Dia pun menyayangkan pemutaran musik asing di sekitar Danau Toba.
“Memang ada ribuan wisatawan ke Danau Toba, tapi apakah mereka datang karena keindahan alam saja, atau ingin melihat kekayaan tradisi budaya yang sangat bernilai itu?” kata Dr. Mauli Purba. Sebenarnya, kata etnomusikolog itu, wisatawan tak hanya ingin melihat keindahan alam, tapi juga ingin mengenali kearifan lokal orang Batak di kawasan Danau Toba.
Praktisi pariwisata Dearman Damanik berharap serupa agar penetapan Geopark Caldera Toba oleh UNESCO tidak hanya sekadar euforia sesaat. “Apa pun ceritanya, ini harus ada dampaknya kepada pariwisata, terutama masyarakat di sekitar Danau Toba, secara ekonomi. Penetapan ini menjadi PR besar bagi semua elemen, baik pemerintah, stakeholder, dan masyarakat untuk bersinergi,” katanya kepada HMStimes.com, Selasa, 25 Agustus 2020.
Dalam penetapan Geopark Caldera Toba oleh UNESCO terdapat 16 geosite yang berada di tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba, yakni Samosir, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, Simalungun, Dairi, dan Karo. Adapun ke-16 geosite itu yaitu Sipisopiso-Tongging (Kabupaten Karo), Silalahi-Sabungan (Kabupaten Dairi), Haranggaol (Kabupaten Simalungun), Sibaganding (Kabupaten Simalungun), Taman Eden (Kabupaten Toba), Batu Basiha-TB Silalahi Balige (Kabupaten Toba), Situmurun (Kabupaten Toba), Hutaginjang (Kabupaten Tapanuli Utara), Muara Sibandang (Kabupaten Tapanuli Utara), Sipinsur (Kabupaten Humbang Hasundutan), Bakara-Tipang (Kabupaten Humbang Hasundutan), Tele (Kabupaten Samosir), Pusuk Buhit (Kabupaten Samosir), Hutatinggi Sidihoni (Kabupaten Samosir), Ambarita-Tuktuk-Tomok (Kabupaten Samosir), dan Geosite Danau (pemersatu seluruh kabupaten sekawasan).