Kuatnya gempuran pengaruh budaya modern menjadikan radio kurang memberi ruang pada siaran seni dan budaya lokal. Bila ini berlangsung lama, dikhawatirkan radio sebagai media edukasi seni dan budaya akan kehilangan fungsinya. Dampak yang paling dicemaskan, generasi mendatang akan lebih mengenal budaya asing daripada budayanya sendiri.
Triwahjuono Harijadi, seniman pengasuh sanggar Jawa Deli, Medan, mengatakan bahwa sekitar tahun 1990-an, radio berbasis komunitas masih hidup di Kota Medan dan dapat menjadi media untuk menyiarkan acara seni dan budaya. Namun, belakangan terjadi perubahan dari awalnya radio komunitas menjadi radio komersial, dan iklan menjadi prioritas untuk menyokong keberlangsungan radio. Akibatnya, siaran seni dan budaya, yang tadinya menjadi ciri khas, mulai digeser untuk kepentingan komersial.
“Itu terjadi ketika saya dulu menjadi pengisi acara di salah satu radio komunitas di Medan. Siaran terkait seni tradisi itu bisa dikatakan hanya 10 persen saja. Jam siarannya pun digeser, dari awalnya prime time ke jam lain,” kata seniman tradisi yang akrab disapa Mas Yono itu ketika menjadi salah satu narasumber webinar bertopik “Radio-Radio Siaran Seni dan Budaya di Sumut” pada 27 Agustus 2020.
Yono tidak menampik bahwa salah satu penyebab sulitnya membangkitkan kembali siaran seni dan budaya di radio dikarenakan kuatnya arus siaran dari luar dan gempuran musik Barat. Namun, katanya, radio siaran seni dan budaya tidak akan mati total.
Jones Gultom, pembicara yang juga dihadirkan dalam webinar itu, mengatakan gempuran arus globalisasi itu sebenarnya bisa disiasati dengan membentuk komunitas seni yang solid tanpa harus mengikuti arus utama. “Kalau bicara iklan, nanti bisa dari komunitas itu, misalnya komunitas Batak. Masalah lain ialah tidak banyak orang yang mau berkecimpung dan mau terjun serius ke dalam,” kata Jones, yang juga berprofesi sebagai jurnalis.
Bahkan, kata Jones Gultom, melalui komunitas yang kuat akan muncul talenta baru. Akan tetapi, harus ada pengusaha radio yang tidak hanya memikirkan sisi bisnis, tapi juga punya kecintaan pada seni dan budaya tradisional.
Sementara itu, Kiki Koswara dari RRI mengatakan bahwa RRI masih menyiarkan seni dan tradisi Nusantara. Sebagai radio milik negara, RRI memang memiliki tugas edukasi, tidak seperti radio swasta yang berorientasi komersial. Pun begitu, kata Kiki, RRI juga memiliki tantangan untuk menjaga agar siaran itu tetap eksis. Misalnya, membayar honor pengisi acara, seperti artis tradisional, karena keterbatasan anggaran.
Webinar yang dimoderatori penggiat seni dan budaya Thompson Hutasoit itu berlangsung tiga jam dan diikuti empat puluhan peserta. Beberapa pihak yang turut mendukung antara lain BPNB Aceh, PLOt, Komunitas Jede, Litecary Coffee, dan Gentra Parahyangan Medan.