Kerasnya kehidupan memaksa Rusmianti Nainggolan (44) harus bekerja sendirian untuk menghidupi keluarganya setelah suaminya meninggal empat tahun lalu. Janda beranak satu itu menjalani kehidupan dengan menjual lappet atau lepat, makanan khas Batak yang terbuat dari tepung beras dan gula merah.
Minggu pagi, 13 September 2020, HMStimes.com menemuinya ketika sedang berjualan lappet di persimpangan di kawasan Pajak Melati di Jalan Flamboyan, Medan, Sumatra Utara. Dia sibuk melayani pembelinya. Ada yang membeli Rp5.000, bahkan Rp35.000. Harga satu biji lappet Rp1.250, dan biasanya orang membeli minimal Rp5.000. Bila sedang ramai pembeli, lappet yang dia siapkan antara 70 sampai dengan 100. “Kadang kalau lagi sepi, tidak habis, terpaksa kujual ke tetangga dan aku makan sendiri sambil minum kopi di rumah,” katanya.
Dulu dia bekerja di pabrik sarung tangan di kawasan Tanjung Morawa selama 18 tahun. Namun, ketika suaminya sakit lima tahun lalu, dia meninggalkan pekerjaannya itu agar bisa merawat suaminya, bermarga Sinaga, yang bekerja sebagai sopir truk. Kesehatan suaminya sempat membaik, dan saat itu mereka mencoba peruntungan baru dengan mengelola ladang milik keluarga Rusmianti di Perdagangan, Pematangsiantar, tetapi tidak berlangsung lama.
Mereka pun kembali ke Medan, dan kesehatan suaminya kembali turun, dan akhirnya meninggal dunia. Rusmianti sangat terpukul dengan kepergian suaminya tercinta itu. Apalagi, ada anak yang harus disekolahkan. Pekerjaan lama sudah ditinggalkannya, dan dia harus mencari usaha agar bisa menyambung hidup.
Bermodalkan sisa tabungan yang jumlahnya sangat sedikit, dia memulai usaha jualan lappet. Kata Rusmianti, dia dulu suka membuat lappet kalau ada acara di rumahnya. Dari situ dia kepikiran kenapa tidak menjual makanan kecil itu saja. Dia pun memulai usahanya. Awalnya dengan menjajakannya dengan berkeliling.
Terasa berat, tetapi Rusmianti berprinsip tidak mau menyusahkan siapa-siapa, tidak mau meminta-minta kepada orang tua, apalagi sampai mengemis. “Sebagai perempuan Batak, aku harus berjuang hidup. Tak mau meminta-minta, apalagi menyusahkan orang. Sepanjang yang kulakukan halal, kenapa harus malu,” katanya.
Pada awalnya, usaha Rusmianti tidak berjalan mulus. Beberapa orang mengatakan lappetnya masih kurang enak dan perlu diperbaiki cara membuatnya. Rusmianti tidak mau menyerah. Dia mau belajar agar jualannya laku. “Belajar, belajar terus, karena memang tidak mudah membuat lappet yang benar-benar enak rasanya. Kalau kuhitung-hitung, sudah ada satu karung beras yang terbuang karena berulang kali aku coba buat lappet biar enak dan disukai pembeli,” katanya.
Setiap hari, ketika anaknya masih tidur pulas, dia sudah mulai bekerja pukul 03.00–04.00 pagi untuk mempersiapkan jualannya. Setelah itu, dia pergi ke Pajak Melati dan mulai berjualan. Biasanya, sebelum pandemi Covid-19, dia masih sempat mengantarkan anaknya ke sekolah. Namun, selama pandemi, anaknya di rumah sendirian dan bermain dengan tetangga. Sehabis berjualan pada siang hari, dia mengajari anaknya mengerjakan tugas-tugas yang dikirim guru lewat internet. “Sering terlambat kirim tugas, karena biasanya tugasnya dikerjakan setelah pulang jualan dulu,” katanya.
Rusmianti mengakui hidup sendiri dengan penghasilan pas-pasan terasa berat. Namun, dia tetap berprinsip sebagai perempuan Batak bahwa anak adalah harta terbesar baginya. Dia ingin berjuang menyekolahkan anak perempuannya yang kini masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. “Suatu saat aku ingin anakku sekolah tinggi supaya tidak susah seperti aku,” katanya.
Dalam sehari penghasilan bersih Rusmianti Nainggolan memang terbilang kecil, rata-rata Rp30 ribu atau Rp40 ribu. Dulu sebelum masa Covid-19 dia masih sering mendapat pesanan lappet untuk acara-acara di rumah, seperti acara ibadah di rumah warga, arisan, maupun acara-acara orang Batak.
Pada saat puncak pandemi Covid-19 beberapa kali Rusmianti menangis karena tidak ada order lappet, dan orang pun takut membeli. Dia sempat bingung bagaimana membayar uang sekolah anaknya, biaya hidup sehari-hari, dan biaya kontrakan rumah. Belakangan pembeli berangsur-angsur mulai datang. Dia mulai lega meski pesanan lappet untuk acara-acara di rumah masih sepi.
Dia mengatakan ingin menjalankan usaha jualan pakaian melalui internet. Sayangnya, dia belum punya cukup modal. Dia berharap Covid-19 segera berlalu agar penghasilan mulai stabil, dan bisa mengumpulkan modal untuk menambah usaha sampingan jualan pakaian. “Kalau sekarang, bertahan saja dulu. Di masa-masa sulit ini harus bijaksana, jangan keluarkan uang untuk yang tidak perlu,” kata perempuan lulusan SMA itu.
Rusmianti Nainggolan bekerja dengan tekun supaya suatu hari nanti anaknya bisa bersekolah tinggi dan berhasil. “Anakku adalah kekayaan terbesarku,” katanya.