Sebagai provinsi yang salah satu pendapatan terbesarnya dari sektor perkebunan, Sumatra Utara (Sumut) tidak lepas dari peranan buruh. Berdasarkan data Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), sedikitnya ada 3 juta buruh yang bekerja di perkebunan di Sumut. Namun, hak-hak mereka sebagai buruh masih kerap diabaikan.
Menurut Sekjen DPP Serbundo, Lorent Aritonang, pekerja yang terdaftar sebagai anggota di serikat tersebut mencapai 15 ribu pekerja. Serikat ini berdiri untuk mendampingi buruh yang ditindas atau haknya diabaikan perusahaan.
“Baru-baru ini ada buruh yang kakinya putus saat bekerja, tapi perusahaan tidak mendaftarkan buruh tersebut ke BPJS Ketenagakerjaan. Setelah kita dampingi, barulah buruh tersebut mendapatkan haknya dan ditangani di rumah sakit,” kata Lorent Aritonang kepada HMStimes.com setelah menghadiri pertemuan dengan Gubernur Sumut untuk membahas penolakan masyarakat terhadap UU Omnibus Law, 15 Oktober 2020.
Masalah yang sering dihadapi buruh perkebunan, kata Lorent, adalah sistem pengupahan. Saat ini banyak perusahaan perkebunan yang menerapkan sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu. “Pengesahan UU ini akan berpotensi menurunkan pendapatan buruh, karena dalam UU Cipta Kerja, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk menentukan upah minimum sektor kabupaten. Hanya upah minimum provinsi yang tetap ada. Jadi, ada dua tingkatan upah yang berkurang, yaitu UMK dan UMSK,” katanya.
Dia mencontohkan, upah pekerja di perkebunan selevel pemanen dan penyemprot sekitar Rp3 juta sampai dengan Rp3,2 juta jika mereka bekerja dengan status harian tetap. Akan tetapi, ada sebagian pekerja yang berstatus buruh harian lepas, yang upahnya dihitung berdasarkan satuan waktu, khususnya perempuan yang bekerja di bagian perawatan. Mereka hanya bisa bekerja di bawah 20 hari kerja, bahkan 12 hari dalam sebulan.
“Standar hidupnya sebenarnya tidak terpenuhi, karena berdasarkan upah minimum kabupaten seharusnya Rp3 juta. Tapi hanya dipekerjakan 15 hari, hanya Rp1,5 juta. Jadi, sebelum ada Omnibus Law ini, kehidupan buruh sudah susah,” kata Lorent Aritonang.
Hamonangan Lumbantoruan, pengacara di bidang ketenagakerjaan di Sumut, mengatakan penolakan UU Omnibus Law tidak harus selalu ditempuh dengan cara demonstrasi. Penolakan terhadap pasal UU sebaiknya ditempuh melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Pahamilah UU Omnibus Law itu. Tidak bisa juga dikatakan semua salah. Dalam UU itu ada yang bagus juga,” kata Hamonangan kepada HMS.